B.
Pendidikan di Lingkungan Keluarga
1. Pengertian Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Untuk memperoleh gambaran yang
lengkap tentang pengertian pendidikan di lingkungan keluarga, terlebih dahulu
akan dikaji secara parsial pengertian pendidikan dan pengertian lingkungan
keluarga. Kemudian setelah dijelaskan makna kata- tersebut akan dilakukan pemaduan
sehingga menjadi konsep yang utuh tentang pendidikan di lingkungan keluarga.
a. Pendidikan
Kata "pendidikan" semakna
dengan "rabba" atau "ta'dib" dalam bahasa
Arab. Pendidikan secara sederhana
berarti usaha manusia untuk membina kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan.[1]
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan
perkataan ta'dib. Adapun pengertian ta'dib mengacu kepada pengertian yang
lebih tinggi dan mencakup semua
unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik
(tarbiyah). Meskipun ketiga
istilah itu dapat digunakan dengan pengertian yang sama, ada beberapa ahli
pndidikan yang berpendapat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna yang khusus
(tersendiri). Syed Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat sebagai berikut:
Ta'lim hanya berarti pengajaran yang merupakan
bagian dari pendidikan. Adapun tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi
makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan tambahan, membesarkan,
memproduksi, dan menjinakan; bukan suatu istilah yang tepat untuk menyatakan
pendidikan bagi manusia, karena pendidikan dalam Islam harus khusus hanya untuk
menusia.[2]
Menurutnya, yang tepat untuk istilah pendidikan dalam bahasa Islami ialah
ta'dib. Ia menjelaskan sebagai berikut: Pendidikan, termasuk pula proses
pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam manusia tentang temat-tempat Allah yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian.
Jadi menurut pendapat Al-Attas, ta'dib lebih tepat menunjukkan pengertian
pendidikan dalam Islam, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan
tidak pula meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta'dib sudah
meliputi kata tarbiyah dan ta'lim.
Pendidikan itu sendiri
mempunyai makna pengalihan nilai-nilai. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Hasan Langgulung[3]
bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua
dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti
pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat tetap berlanjut. Atau denan kata lain berarti penyaluran nilai-nilai
budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas
masyarakat tersebut terpelihara. Dilihat dari sudut pandang individu,
pendidikan mengandung arti pengembangan potensi individu." Bila pernyataan itu diterima,
maka mengandung konsekuensi bahwa
pendidikan tidak sekedar "transfer
of knowledge", tetapi juga
"transper of
values". Jadi pendidikan itu
harus sampai pada memindahkan nilai-nilai yang dianut, tidak berhenti pada penyampaian pengetahuan saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
pendidikan dalam perspektif Islam adalah suatu proses bantuan yang diberikan
oleh orang dewasa muslim kepada orang lain agar mencapai kedewasaan melalui
pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tpat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian.
b.
Lingkungan Keluarga
Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, lingkungan memiliki empat pengertian, yaitu (1) daerah (kawasan dsb)
yang termasuk di dalamnya; (2) bagian wilayah di kelurahan yang merupakan
lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan atau kalangan; (4)
semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia.[4].
Adapun secara istilah, belum ditemukan pengertian
yang baku mengenai lingkungan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini definisi
lingkungan, didasarkan kepada pengertian leksikal, yakni kawasan atau lebih
cenderung kepada makna yang keempat, yaitu semua yang mempengaruhi pertumbuhan
manusia..
Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”keluarga”
digunakan dalam pengertian hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam arti
hubungan darah, keluarga dibedakan pada
dua istilah, yakni keluarga besar dan keluarga inti.Keluarga besar memasukan
kerabat dan orang-orang yang terhubung dengan perkawinan sebagai keluara. Jadi
di samping ayah, ibu dan anak-anak, ada pula kakek, nenek, paman, bibi, cucu,
ponakan, mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun keluarga inti atau keluarga dalam
arti sempit adalah suami istri dan anak-anak yang lahir darinya.
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti
luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan;
sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya[5].
Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa: ”dalam
setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear family), yakni kelompok sosial terkecil
yang terdiri dari suami, istri beserta
anak-anaknya yang belum menikah.[6]”
Keluarga batih lazim juga
disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai
wadah dan proses pergaulan hidup. Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial
yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini.
Kenyataan demikian diakui oleh William J. Goode yang menyatakan sebagai
berikut.
Keluarga adalah satu-satunya
lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua
masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering
sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan
demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian
bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana
yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi
kuat.[7]
Dapat pula dikatakan bahwa
keluarga atau rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada
suatu batih (ayah-ibu), ditambah dengan
beberapa warga lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga
adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana
hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[8]
Keluarga itu dapat diartikan pula sebagai kelompok pertalian nasab (keturunan) yang dapat dijadikan
tempat untuk membimbing anak-anak
dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.[9]
Suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Apabila salah satunya
tidak ada maka dikatakan keluarga tidak lengkap.
Dengan memperhatikan beberapa
definisi keluarga sebagaimana dinyatakan
di atas, maka dalam tulisan ini keluarga
diartikan secara sempit, yakni
kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak. Dengan kata lain keluarga adalah orang-orang yang
hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam),
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama untuk
mencapai kesejahteraan semua
anggota keluarganya itu. Jadi lingkungan keluarga adalah wilayah
kewenangan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak dalam satu rumah tangga.
c. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan pengertian pendidikan dan lingkungan
keluarga sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan
di lingkungan keluarga adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh orang
dewasa muslim (orang tua) kepada anaknya agar mencapai kedewasaan melalui
pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian. Proses tersebut terjadi di kawasan yang sempit,
yakni kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak.
2. Tujuan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya, tujuan pendidikan di lingkungan
keluarga secara umum tidak berbeda dengan tujuan pendidikan di lembaga
pendidikan formal maupun non formal, yakni sebagaimana dijelaskan dalam
Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang
menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai berikut.
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[10]
Dalam sebuah keluarga, tujuan pendidikan adalah
perubahan yang diinginkan, diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha
pendidikan untuk mencapainya, baik pada aspek tingkah laku individu dan pada
kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar
tempat individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses
pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara
profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[11].
Dalam hal ini Al-Toumy
membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu tujuan-tujuan individual,
tujuan sosial, dan tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran. Dilihat dari pembagian ini selanjutnya Al-Toumy menjelaskan sebagai
berikut.
a.
Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan
individu, anakan dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan
individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas
dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka,
dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat.
b.
Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan
dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini,
dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
c. Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi,
dan sebagai aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[12]
Tujuan berbeda dengan keinginan. Perbedaannya
nampak dalam rencana dan bertindak secara sistematis dalam proses intelektual
yang kompleks memerlukan kemahiran dan kecerdasan, perencanaan dan metode, dan
bertindak mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga mejadi suatu konsep tujuan
yang harus dicapai dalam sebuah proses.
Hasan Langgulung membagi
tujuan pendidikan Islam kepada tiga tinggat, yaitu tujuan tertinggi, tujuan
umum dan tujuan pendidikan khusus. Tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah
pembentukan khalifah, yang hanya dapat dicapai setelah melalui tahap tujuan
khusus dan tujuan umum. Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau
perubahan yang dihekendaki, diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya.
Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat kepada tujuan tertinggi,
tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus.
Pendidiakan Islam
merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem (pendidikan) di dunia
ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsur yang sama, itu disebabkan karena
pendidikan Islam bersifat terbuka selama tidak bertentengan dengan jiwa Islam.[13] Mengingat
hal tersebut, maka pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu yang dapat
dianalisis dari segi sistematik atau pendekatan sistem. Dari segi ini,
pendidikan Islam dipandang sebagai proses melalui sistem yang terdiri dari
sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka
pelaksanaan pendidikan. Komponen komponen yang dimaksudkan adalah (1) tujuan
pendidikan Islam, (2) pendidikan dalam pendidikan Islam, (3) Anak didik, (4)
Materi pendidikan Islam, (5) Metode pemikiran Islam, (6) Kegiatan pendidikan
Islam. Dari keseluruhan Komponen tersebut yang sangat urgen adalah tujuan
pendidikan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan diuraikan mengenai tujuan
pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung[14]
tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia.
Sebab, pendidikan hanya lah suatu alat yang dipergunakan oleh manusia untuk
memelihara kelanjutkan hidupnya sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Ahmad Tafsir[15]
menjelaskan sebagai berikut; tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang
sempurana, atau manusia yang taqwa, atau manusia beriman, atau manusia yang
beribadah kepada Allah. Muslim yang sempurna adalah manusia yang memiliki:(1)
Jasmani yang sehat dan kuat, (2) akal yang cerdas serta pandai, ( 3) hatinya
taqwa kepada Allah.
Konfrensi pendidikan Islam
yang pertama tahun 1977 yang berlangsung di Mekkah telah memberikan rekomondasi
tentang tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri
manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif,
fisik, ilmiah, bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua
asfek ini kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim
terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara
pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia[16].
Adapaun menurut pendapat Al-Attas[17]
bahwa "tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya ialah untuk menjadi
seorang manusia yang baik". Abdurrahman An-Nahlawi[18]
menyatakan bahwa "tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan
ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun
masyarakat." Hasan Langgulung[19] menyatakan, "menurut pandangan Islam
perkembangan fitrah adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan
Islam." Perkembangan fitrah mencakup aspek perkembangan diri (self actualization), perkembangan
spiritual (ruh) dan akal, disamping
jasmani dan mental. Adapun Athiyah
Al-Abrasy[20] menyatakan sebagai berikut :
Pendidikan budi pekerti jiwa
adalah jiwa pendidikan Islam dan Islam
telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak jiwa pendidikan
Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adaah sebenarnya dari pendidikan,
tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani,
akal, ilmu, atau segi - segi praktis lainnya, tetapi artinya ialah bahwa kita
memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya.
Pernyataan Athiyah tersebut menekankan bahwa tujuan utama dari pendidikan
Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna, dengan tidak mengabaikan
aspek-aspek lain pada diri manusia. Ini sejalan dengan pendapat Zakiyah[21]
yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam
yaitu menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa dan
meyakini (Islam) sebagai suatu kebenaran tersebut melalui akal, rasa feeling di
dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.
Jika kita perhatikan, semua tujuan yang telah disebutkan itu dinyatakan sebagai tujuan umum atau
diistilahkan pula dengan tujuan akhir. Adapun untuk merealisasikan tujuan umum tersebut diperlukan tujuan
sementara atau terminal-terminal tujuan yang secara umum biasa disebut dengan
(1) tujuan institusional, (2) tujuan kurikuler, (3) tujuan instruksional atau
tujuan operasional umum dan khusus pada lembaga pendidikan formal.
Demikian tujuan pendidikan Islam yang umum yang dapat dijabarkan kepada
bentuk-bentuk tujuan yang lebih khusus. Ini dapat terjadi karena, pendidikan
dalam Islam merupakan kegiatan atau proses yang melalui tahap demi tahap dan
tingkatan demi tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan dalam Islam
tidak statis tetapi merupakan suatu keseluruhan yang bergerak maju seiring
dengan perkembangan zamannya. Tahapan dan tingkatan dalam pendidikan dan dalam
tujuannya berdasar kepada salah satu ayat dalam al-Quran antara lain yang menyebutkan
bahwa manusia itu hidup melalui tingkat demi tingkat. Ayat dimaksud adalah Q.S
. Al- Insiqoq ayat 19, lafadznya sebagai berikut:
Artinya:Sesungguhnya kamu melalui
tingkat demi tingkat (Q.S. 84:19) (depag RI, 1984:1041).
Dari penjelasan ini atas,
nampak ahli pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan sehingga menimbulkan
kesan tujuan pendidikan Islam begitu banyak dan berbeda-beda. Perbedaan ini
dilatarbelakangi adanya persepsi yang berbeda mengenai prototype manusia ideal
yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan.
3. Sifat Umum dan Fungsi Pendidikan di
Lingkungan Keluarga
Pendidikan keluarga, merupakan
pendidikan yang pasti dialami seseorang sejak ia dilahirkan, dan biasanya
dilaksanakan sendiri oleh orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian
pendidikan keluarga memiliki sifat umum, fungsi dan sifat khusus.
a.
Sifat-sifat umum pendidikan keluarga
Sifat-sifat umum yang dimaksud adalah sifat keluarga sebagai lembaga
pendidikan yang ikut bertanggungjawab dalam proses pendidikan. Sifat-sifat umum ini meliputi keluarga sebagai
lembaga pendidikan tertua, informal, pertama dan utama, dan bersifat kodrati.
Untuk lebih jelasnya mengenai ciri umum pendidikan keluarga ini disajikan
pernyataan Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso[22]
sebagai berikut.
1)
Lembaga pendidikan tertua
Ditinjau sejarah perkembangan pendidikan maka “Keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang tertua”. Lembaga pendidikan lahir “sejak adanya manusia di mana
orang tua yaitu ayah serta ibu sebagai pendidiknya dan anak sebagai si
terdidiknya”.
2)
lembaga pendidikan informal
Dengan lembaga informal yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang
tidak terorganisir, tidak mengenal penjenjangan kronologi atas dasar usia
maupun pengetahuan/keterampilan. Atau dengan kata lain lembaga pendidikan ini
“tidak kita jumpai adanya kurikulum dan daftar jam anakan yang tertulis secara
resmi dalam bentuk (form) yang tertentu dan jelas.
3)
lembaga pendidikan pertama dan utama
Dalam keluargalah, pertama anak memperoleh pendidikan sejak ia dilahirkan
dan pendidikan keluarga pula merupakan pembentuk dasar kepribadian anak.
Sebagaimana dinyatakan oleh KI HAJAR DEWANTORO :Alam keluarga adalah pusat
pendidikan pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adat
kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya
budi pekerti tiap-tiap manusia”.
4)
bersifat kodrat
Pendidikan keluarga bersifat
kodrat karena “terdapatnya hubungan darah anatara pendidik dan anak didiknya.
Karena sifat ini maka wewenang pendidik (Dalam hal ini orang tua) akhirnya
bersifat kodrat dan wajar sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun
kecuali dalam hal-hal tertentu. Disamping itu dalam pendidikan keluarga ”hubungan
antara anak didik dan pendidik sangat erat pula”.
b.
Fungsi pendidikan keluarga
Fungsi pendidikan keluarga yang terpenting adalah merupakan pengalaman
pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar
pendidikan moralm, sosial, dan agama:
1) Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Dalam pendidikan keluarga, anak memperoleh “pengalaman pertama yang
merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak” selanjutnya. Dari penyeliddikan para ahli, pengalaman
pada masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan individu dalam hidupnya.
2)
Menjamin kehidupan emosional anak
Dalam pendidikan keluarga maka
kehidupan emosional atau kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat terjamin dengan
baik. Hal ini disebabkan “karena adanya
hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena oerang tua hanya
menghadapi sedikit anak dan karena hubungan tadi atas rasa cinta kasih yang
murni. Terjaminnya kehidupan emosionil anak pada waktu kecil berarti menjamin
pembentukan pribadi selanjutnya.
3)
Menanamkan dasar pendidikan moril
Dalam pendidikan keluarga berlangsung peniruan tingkah laku yang bersifat
moralitas, sehingga pendidikan ini menyentuh pendidikan moril anak-anak “di
dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidik moral yang diperoleh
melalui contoh-contoh yang konkrit dala perbuatan hidup sehari-hari.
4)
Memberikan dasar pendidikan kesosialan
Dalam kehidupan keluarga sering anak-anak harus membantu (menolong)
anggota keluarga yang lain seperti menolong saudaranya sakit, bersama-sama
menjaga ketertiban keluarga dan sebagainya. Kesemuanya memberi pendidikan pada
anak, terutama memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak.”[23]
5)
Memberi dasar pendidikan agama
Pendidikan keluarga dapat pula
“merupakan lembaga pendidikan penting untuk meletakkan dasar pendidikan agama
bagi anak.” Seperti tampak adanya anak-anak yang belajar mengaji pada orang
tuanya atau tetangganya.
c.
Sifat khusus pendidikan keluarga
Sifat khusus dalam pendidikan keluarga dimaksud adalah beberapa hal
khusus yang berhubungan dengan si terdidik dalam lembaga pendidikan keluarga,
seperti sifat menggantungkan diri, anak didik kodrat, dan kedudukan anak.
1)
Sifat mengantungkan diri
Anak yang baru lahir memiliki
sifat serta tergantung pada orang tuanya. Sehingga tanpa pertolongan orang tua,
anak tidak akan bisa berkembang dalam hidupnya atau tidak dapat melanjutkan
hidupnya.
2)
Anak didik kodrat
Terbentuknya keluarga karena pernikahan antara ayah danm ibu, maka
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang mengikat anak secara takdir menjadi
anak didik dalam pendidikan tersebut. Kecuali dalam keadaan tertentu, yang
menyebabkan anak dipelihara orang lain, maka nilai anal didik kodrat menjadi
hilang.
3) Kedudukan anak dalam keluarga dan
kesukaran pendidikan
Kedudukan anak dalam susunan keluarga, sering menimbulkan problema pendidikan, seperti:Anak tunggal, Anak
sulung, Anak bungsu, Anak laki-laki tinggal diantara saudara-saudara
perempuannya. Anak perempuan tinggal diantara saudara-saudaralaki-lakinya.
[1] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Lingkungan Keluarga (Jakarta: Kalam Mulia,
1990), hal. 3.
[2] Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan,
Bandung, 1984), hal. 51.
[3] Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm.
3
[4] Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.
675.
[5] Djudju Sudjana. Sosiologi. (Bandung: Pustaka Satya, 2001), hlm. 4.
[6] Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak.
(Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
[7] William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
[8] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987),
hlm. 346.
[9] M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
[10] Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
[11] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
[12] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), 399
[13] Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam
(Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
[14] Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal.
55.
[15] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hal. 64.
[16] Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), hal. 107.
[17] Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan,
1984), hal 84.
[18] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip
dan Metode Pendidikan Islam (bandung: Dipanegoro, 1992), hal. 162.
[20] Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
hal. 1
[21] Zakiyah Daradzat. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), 137.
[22] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 46.
[23] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar