Senin, 18 Agustus 2014

Pendidikan dalam Keluarga

B.     Pendidikan di Lingkungan Keluarga
1.       Pengertian Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang pengertian pendidikan di lingkungan keluarga, terlebih dahulu akan dikaji secara parsial pengertian pendidikan dan pengertian lingkungan keluarga. Kemudian setelah dijelaskan makna kata- tersebut akan dilakukan pemaduan sehingga menjadi konsep yang utuh tentang pendidikan di lingkungan keluarga.
a.  Pendidikan
Kata  "pendidikan"  semakna  dengan  "rabba" atau "ta'dib"  dalam bahasa  Arab.  Pendidikan secara  sederhana  berarti usaha  manusia untuk  membina kepribadian yang sesuai dengan  nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[1]
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam  Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan perkataan ta'dib. Adapun pengertian ta'dib mengacu  kepada pengertian  yang  lebih tinggi dan  mencakup semua unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta'lim), dan  pengasuhan yang  baik  (tarbiyah).  Meskipun ketiga istilah itu dapat digunakan dengan pengertian yang sama, ada beberapa ahli pndidikan yang berpendapat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna yang khusus (tersendiri). Syed Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat sebagai berikut:
Ta'lim hanya berarti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan. Adapun tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan tambahan, membesarkan, memproduksi, dan menjinakan; bukan suatu istilah yang tepat untuk menyatakan pendidikan bagi manusia, karena pendidikan dalam Islam harus khusus hanya untuk menusia.[2]

Menurutnya, yang tepat untuk istilah pendidikan dalam bahasa Islami ialah ta'dib. Ia menjelaskan sebagai berikut: Pendidikan, termasuk pula proses pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang temat-tempat Allah yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Jadi menurut pendapat Al-Attas, ta'dib lebih tepat menunjukkan pengertian pendidikan dalam Islam, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak pula meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta'dib sudah meliputi kata tarbiyah dan ta'lim.
Pendidikan  itu sendiri mempunyai  makna  pengalihan nilai-nilai. Hal ini sejalan dengan pernyataan  Hasan  Langgulung[3] bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berlanjut. Atau denan kata lain berarti penyaluran nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut terpelihara. Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan mengandung arti pengembangan potensi individu." Bila pernyataan  itu diterima,  maka  mengandung konsekuensi  bahwa  pendidikan tidak sekedar "transfer of knowledge", tetapi juga "transper  of  values". Jadi pendidikan itu  harus  sampai  pada memindahkan  nilai-nilai yang dianut, tidak berhenti  pada penyampaian pengetahuan saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan dalam perspektif Islam adalah suatu proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim kepada orang lain agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tpat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
b.  Lingkungan Keluarga
Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan memiliki empat pengertian, yaitu (1) daerah (kawasan dsb) yang termasuk di dalamnya; (2) bagian wilayah di kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan atau kalangan; (4) semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia.[4].
Adapun secara istilah, belum ditemukan pengertian yang baku mengenai lingkungan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini definisi lingkungan, didasarkan kepada pengertian leksikal, yakni kawasan atau lebih cenderung kepada makna yang keempat, yaitu semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia..
Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”keluarga” digunakan dalam pengertian hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam arti hubungan darah,  keluarga dibedakan pada dua istilah, yakni keluarga besar dan keluarga inti.Keluarga besar memasukan kerabat dan orang-orang yang terhubung dengan perkawinan sebagai keluara. Jadi di samping ayah, ibu dan anak-anak, ada pula kakek, nenek, paman, bibi, cucu, ponakan, mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun keluarga inti atau keluarga dalam arti sempit adalah suami istri dan anak-anak yang lahir darinya.
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan; sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya[5]. Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa: ”dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear  family), yakni kelompok sosial terkecil yang  terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum  menikah.[6]
Keluarga batih lazim juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini. Kenyataan demikian diakui oleh William J. Goode yang menyatakan sebagai berikut.
Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu  ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi kuat.[7]

Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih  (ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga  merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar. Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran  sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[8]
Keluarga  itu dapat diartikan pula sebagai  kelompok pertalian  nasab (keturunan) yang dapat  dijadikan  tempat untuk  membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan  kebutuhan hidup  lainnya.[9] Suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila terdiri dari ayah, ibu  dan anak-anak. Apabila salah satunya tidak  ada  maka dikatakan keluarga tidak lengkap. 
Dengan memperhatikan beberapa definisi keluarga sebagaimana dinyatakan  di atas, maka dalam  tulisan  ini keluarga  diartikan secara sempit, yakni  kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak. Dengan  kata lain keluarga adalah orang-orang  yang  hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam), sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama  untuk  mencapai  kesejahteraan  semua   anggota keluarganya itu. Jadi lingkungan keluarga adalah wilayah kewenangan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dalam satu rumah tangga.
c. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan pengertian pendidikan dan lingkungan keluarga sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan di lingkungan keluarga adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim (orang tua) kepada anaknya agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Proses tersebut terjadi di kawasan yang sempit, yakni kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak.

2.       Tujuan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya, tujuan pendidikan di lingkungan keluarga secara umum tidak berbeda dengan tujuan pendidikan di lembaga pendidikan formal maupun non formal, yakni sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[10]


Dalam sebuah keluarga, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan, diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada aspek tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tempat individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[11].
Dalam hal ini Al-Toumy membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu tujuan-tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Dilihat dari pembagian ini selanjutnya Al-Toumy menjelaskan sebagai berikut.
a.       Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu, anakan dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
c.       Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[12]


Tujuan berbeda dengan keinginan. Perbedaannya nampak dalam rencana dan bertindak secara sistematis dalam proses intelektual yang kompleks memerlukan kemahiran dan kecerdasan, perencanaan dan metode, dan bertindak mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga mejadi suatu konsep tujuan yang harus dicapai dalam sebuah proses.
Hasan Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam kepada tiga tinggat, yaitu tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan pendidikan khusus. Tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan khalifah, yang hanya dapat dicapai setelah melalui tahap tujuan khusus dan tujuan umum. Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau perubahan yang dihekendaki, diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat kepada tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus.
Pendidiakan Islam merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem (pendidikan) di dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsur yang sama, itu disebabkan karena pendidikan Islam bersifat terbuka selama tidak bertentengan dengan jiwa Islam.[13]  Mengingat hal tersebut, maka pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu yang dapat dianalisis dari segi sistematik atau pendekatan sistem. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka pelaksanaan pendidikan. Komponen komponen yang dimaksudkan adalah (1) tujuan pendidikan Islam, (2) pendidikan dalam pendidikan Islam, (3) Anak didik, (4) Materi pendidikan Islam, (5) Metode pemikiran Islam, (6) Kegiatan pendidikan Islam. Dari keseluruhan Komponen tersebut yang sangat urgen adalah tujuan pendidikan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan diuraikan mengenai tujuan pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung[14] tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan hanya lah suatu alat yang dipergunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutkan hidupnya sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Ahmad Tafsir[15] menjelaskan sebagai berikut; tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurana, atau manusia yang taqwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah. Muslim yang sempurna adalah manusia yang memiliki:(1) Jasmani yang sehat dan kuat, (2) akal yang cerdas serta pandai, ( 3) hatinya taqwa kepada Allah.
Konfrensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 yang berlangsung di Mekkah telah memberikan rekomondasi tentang tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua asfek ini kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia[16].

Adapaun menurut pendapat Al-Attas[17] bahwa "tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya ialah untuk menjadi seorang manusia yang baik". Abdurrahman An-Nahlawi[18] menyatakan bahwa "tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat." Hasan Langgulung[19] menyatakan, "menurut pandangan Islam perkembangan fitrah adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan Islam." Perkembangan fitrah mencakup aspek perkembangan diri (self actualization), perkembangan spiritual (ruh) dan akal, disamping jasmani dan mental.  Adapun Athiyah Al-Abrasy[20] menyatakan sebagai berikut :
Pendidikan budi pekerti jiwa adalah jiwa pendidikan  Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adaah sebenarnya dari pendidikan, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani, akal, ilmu, atau segi - segi praktis lainnya, tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya.

Pernyataan Athiyah tersebut menekankan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna, dengan tidak mengabaikan aspek-aspek lain pada diri manusia. Ini sejalan dengan pendapat Zakiyah[21] yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam  yaitu menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa dan meyakini (Islam) sebagai suatu kebenaran tersebut melalui akal, rasa feeling di dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.
Jika kita perhatikan, semua tujuan yang telah disebutkan  itu dinyatakan sebagai tujuan umum atau diistilahkan pula dengan tujuan akhir. Adapun untuk merealisasikan tujuan umum tersebut diperlukan tujuan sementara atau terminal-terminal tujuan yang secara umum biasa disebut dengan (1) tujuan institusional, (2) tujuan kurikuler, (3) tujuan instruksional atau tujuan operasional umum dan khusus pada lembaga pendidikan formal.
Demikian tujuan pendidikan Islam yang umum yang dapat dijabarkan kepada bentuk-bentuk tujuan yang lebih khusus. Ini dapat terjadi karena, pendidikan dalam Islam merupakan kegiatan atau proses yang melalui tahap demi tahap dan tingkatan demi tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan dalam Islam tidak statis tetapi merupakan suatu keseluruhan yang bergerak maju seiring dengan perkembangan zamannya. Tahapan dan tingkatan dalam pendidikan dan dalam tujuannya berdasar kepada salah satu ayat dalam al-Quran antara lain yang menyebutkan bahwa manusia itu hidup melalui tingkat demi tingkat. Ayat dimaksud adalah Q.S . Al- Insiqoq  ayat 19,  lafadznya sebagai berikut:

Artinya:Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (Q.S. 84:19) (depag RI, 1984:1041).
Dari penjelasan ini atas, nampak ahli pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan sehingga menimbulkan kesan tujuan pendidikan Islam begitu banyak dan berbeda-beda. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya persepsi yang berbeda mengenai prototype manusia ideal yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan.

3.       Sifat Umum dan Fungsi Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pendidikan keluarga, merupakan pendidikan yang pasti dialami seseorang sejak ia dilahirkan, dan biasanya dilaksanakan sendiri oleh orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian pendidikan keluarga memiliki sifat umum, fungsi dan sifat khusus.
a.     Sifat-sifat umum pendidikan keluarga
Sifat-sifat umum yang dimaksud adalah sifat keluarga sebagai lembaga pendidikan yang ikut bertanggungjawab dalam proses pendidikan. Sifat-sifat umum ini meliputi keluarga sebagai lembaga pendidikan tertua, informal, pertama dan utama, dan bersifat kodrati. Untuk lebih jelasnya mengenai ciri umum pendidikan keluarga ini disajikan pernyataan Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso[22] sebagai berikut.
1)      Lembaga pendidikan tertua
Ditinjau sejarah perkembangan pendidikan maka “Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang tertua”. Lembaga pendidikan lahir “sejak adanya manusia di mana orang tua yaitu ayah serta ibu sebagai pendidiknya dan anak sebagai si terdidiknya”.
2)      lembaga pendidikan informal
Dengan lembaga informal yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang tidak terorganisir, tidak mengenal penjenjangan kronologi atas dasar usia maupun pengetahuan/keterampilan. Atau dengan kata lain lembaga pendidikan ini “tidak kita jumpai adanya kurikulum dan daftar jam anakan yang tertulis secara resmi dalam bentuk (form)  yang tertentu dan jelas.
3)      lembaga pendidikan pertama dan utama
Dalam keluargalah, pertama anak memperoleh pendidikan sejak ia dilahirkan dan pendidikan keluarga pula merupakan pembentuk dasar kepribadian anak. Sebagaimana dinyatakan oleh KI HAJAR DEWANTORO :Alam keluarga adalah pusat pendidikan pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti tiap-tiap manusia”.

4)      bersifat kodrat
Pendidikan keluarga bersifat kodrat karena “terdapatnya hubungan darah anatara pendidik dan anak didiknya. Karena sifat ini maka wewenang pendidik (Dalam hal ini orang tua) akhirnya bersifat kodrat dan wajar sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun kecuali dalam hal-hal tertentu. Disamping itu dalam pendidikan keluarga ”hubungan antara anak didik dan pendidik sangat erat pula”.
b.     Fungsi pendidikan keluarga
Fungsi pendidikan keluarga yang terpenting adalah merupakan pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moralm, sosial, dan agama:
1)    Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Dalam pendidikan keluarga, anak memperoleh “pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak” selanjutnya. Dari penyeliddikan para ahli, pengalaman pada masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan individu dalam hidupnya.
2)    Menjamin kehidupan emosional anak
Dalam pendidikan keluarga maka kehidupan emosional atau kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat terjamin dengan baik. Hal ini disebabkan  “karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena oerang tua hanya menghadapi sedikit anak dan karena hubungan tadi atas rasa cinta kasih yang murni. Terjaminnya kehidupan emosionil anak pada waktu kecil berarti menjamin pembentukan pribadi selanjutnya.
3)    Menanamkan dasar pendidikan moril
Dalam pendidikan keluarga berlangsung peniruan tingkah laku yang bersifat moralitas, sehingga pendidikan ini menyentuh pendidikan moril anak-anak “di dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidik moral yang diperoleh melalui contoh-contoh yang konkrit dala perbuatan hidup sehari-hari.
4)    Memberikan dasar pendidikan kesosialan
Dalam kehidupan keluarga sering anak-anak harus membantu (menolong) anggota keluarga yang lain seperti menolong saudaranya sakit, bersama-sama menjaga ketertiban keluarga dan sebagainya. Kesemuanya memberi pendidikan pada anak, terutama memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak.”[23]
5)    Memberi dasar pendidikan agama
Pendidikan keluarga dapat pula “merupakan lembaga pendidikan penting untuk meletakkan dasar pendidikan agama bagi anak.” Seperti tampak adanya anak-anak yang belajar mengaji pada orang tuanya atau tetangganya.
c.     Sifat khusus pendidikan keluarga
Sifat khusus dalam pendidikan keluarga dimaksud adalah beberapa hal khusus yang berhubungan dengan si terdidik dalam lembaga pendidikan keluarga, seperti sifat menggantungkan diri, anak didik kodrat, dan kedudukan anak.
1)      Sifat mengantungkan diri
Anak yang baru lahir memiliki sifat serta tergantung pada orang tuanya. Sehingga tanpa pertolongan orang tua, anak tidak akan bisa berkembang dalam hidupnya atau tidak dapat melanjutkan hidupnya.
2)      Anak didik kodrat
Terbentuknya keluarga karena pernikahan antara ayah danm ibu, maka keluarga merupakan lembaga pendidikan yang mengikat anak secara takdir menjadi anak didik dalam pendidikan tersebut. Kecuali dalam keadaan tertentu, yang menyebabkan anak dipelihara orang lain, maka nilai anal didik kodrat menjadi hilang.
3)      Kedudukan anak dalam keluarga dan kesukaran pendidikan
Kedudukan anak dalam susunan keluarga, sering menimbulkan problema  pendidikan, seperti:Anak tunggal, Anak sulung, Anak bungsu, Anak laki-laki tinggal diantara saudara-saudara perempuannya. Anak perempuan tinggal diantara saudara-saudaralaki-lakinya.




[1] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Lingkungan Keluarga (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hal. 3.
[2] Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
[3] Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
[4] Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
[5] Djudju Sudjana. Sosiologi. (Bandung: Pustaka Satya, 2001), hlm. 4.
[6] Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
[7] William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
[8] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
[9] M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
[10] Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
[11] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
[12] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), 399
[13] Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
[14] Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
[15] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hal. 64.
[16] Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), hal. 107.
[17] Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), hal 84.
[18] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (bandung: Dipanegoro, 1992), hal. 162.
[19] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm, 59.
[20] Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
[21] Zakiyah Daradzat. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 137.
[22] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
[23] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar