Minggu, 29 April 2012

Balanced scorcard dalam pendidikan


By. Rusman Faoz
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam lembaga pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan untuk  mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya.
Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi  orang-orang yang bekerja itu yang akan menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan  akan mampu meningkatkan mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan mutu.
            Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset yang paling berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di  dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi dan kemam-puan bekerjasama  yang mereka miliki.
              Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan – dosen, teknisi, pegawai administrasi, dan sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan – mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah – pemberdayaan adalah suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi yang mendam-bakan  kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan sulit untuk bisa memenangkan persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara internasional. Tanpa pemberda-yaan suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan berbagai sumberdaya juga meng-haruskan setiap lembaga pendidikan melaksanakan pemberdayaan organisasinya.
            Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang enak karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan tanggung-jawabnya.
            Dalam situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian, mengem-bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan mutu yang lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan harus terus berusaha agar organisasinya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.
            Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah diberdaya-kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran, dsb) merasa bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi juga tentang keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan lembaga pendidikan akan terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan, dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
            Dinamika suatu organisasi – lembaga pendidikan – terletak pada kreativitas dan inisiatif orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang yang ada meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang-orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian  kerjanya, memberi kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja lembaga pendidikan yang lebih bermutu. Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
            Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti teknisi, laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat, petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan profesional – bagi semua jenis dan tingkatan pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas yang  diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang dipelajarinya.  Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya   dan berani berinisiatif untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya  kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan  adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu merupakan kebijakan yang mutlak.
            Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup. Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu  ibarat motor penggerak yang mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kemauan ini sama atau berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan mutu kinerja yang lebih  baik diperlukan motivasi. Sumber motivasi seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu.  Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi.  Untuk meme-nuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan salah satu atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Menurut Abraham Maslow kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan bawah mungkin kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka merasa harga dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya untuk memenuhi kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan kemauan orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok  orang. Perlu sekali lagi ditekankan di sini bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam bentuk uang atau materi. Pengakuan dan pujian di hadapan umum bisa memotivasi orang untuk berbuat baik lebih lanjut.
            Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang itu perlu mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa ajakan dari pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk  berpartisipasi, tersedia-nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk kewenangan untuk berpartisipasi. Memberi kewenangan kepada semua orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing adalah penting untuk munculnya partisipasi dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
            Pemberdayaan lembaga pendidikan berawal dari adanya sifat hubungan baru di antara orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan lembaga pendidikannya. Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak hanya merasa bertanggung-jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga merasa ikut memiliki organisasi secara keseluruhan. Para pekerja itu perlu dibuat merasa sebagai pengambil keputusan, tidak sekedar sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau bawahan. Selain itu mereka juga merasa bangga atau kecewa terhadap keberhasilan lembaga pendidikannya secara keseluruhan, dan bukan hanya merasa bangga atau kecewa terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.

Partisipasi
           
                                                     O   
           
                                                                                   
PEMBERDAYAAN
 
Kemampuan
Kesempatan
                                                                                     O                               
                                                O
                                                           
Kemauan
                                                                        O



            Diagram di atas memperjelas bagaimana partisipasi bisa muncul dalam organisasi, yaitu bila ditopang oleh adanya faktor-faktor kemampuan, kemauan, dan  kesempatan. Dalam berupaya memberdayakan lembaga pendidikan perlu selalu diupayakan bagaimana menumbuhkan ketiga faktor itu pada setiap orang yang bekerja di lembaga pendidikan yang bersangkutan. Usaha pemberdayaan yang berhasil akan mengubah suasana kerja, semangat kerja, dan semangat kerjasama, dan akhirnya akan menghasilkan kinerja yang lebih bermutu.
          Sejak kelahirannya sampai sekarang lembaga pendidikan di Indonesia cenderung menerapkan  organisasi yang berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas dan jarang melibatkan pemikiran dari bawah.  Organisasi tradisional itu biasanya berbentuk piramida dengan pimpinan tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam ini ditandai dengan adanya pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang jelas, uraian tugas yang terbatas dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini orang-orang yang berada di puncak berfikir dan merencanakan, sedangkan orang-orang yang berada di bawah  melaksanakannya.
Ciri-ciri  organisasi  piramidal  :
1)      Keputusan diambil oleh pimpinan puncak.
2)      Setiap orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
3)      Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang  dari  puncak.
4)      Umpan balik dan komunikasi dari atas ke bawah.
5)      Interaksi dan komunikasi antar bagian sangat minimal.
6)      Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya.
7)      Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa yang harus dihasilkan.
8)      Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan dikendalikan secara ketat.
Sampai sekarang sebagian besar lembaga pendidikan masih beroperasi  kurang lebih semacam itu. Bentuk baru organisasi disebut sirkel atau  jaringan, karena beroperasinya merupakan serangkai-an kelompok  atau tim yang saling berkoordinasi, yang dihubungkan dari tengah bukan dari atas.
Piramida (Hirarkhis)                                                           Sirkel ( Jaringan)
 






Ciri-ciri Organisasi Sirkel :

¨      Berfokus pada pelanggan.
¨      Orang bekerjasama satu dengan lainnya mengerjakan segala apa yang diperlukan.
¨      Orang-orang berbagi tanggung-jawab, keterampilan, wewenang dan pengawasan.
¨      Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi yang dilakukan secara terus-menerus dan  melalui banyak keputusan.
¨      Perubahan kadang-kadang terjadi secara cepat, karena tantangan-tantangan baru muncul.
¨      Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan pimpinan adalah kemampuan bekerjasama dengan orang-orang lain.
¨      Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya sedikit tingkatan (eselon).
¨      Kekuatan (kekuasaan) seseorang bersumber dari kemampuannya mempengaruhi dan mem-beri inspirasi kepada yang lain, dan bukan dari jabatannya.
¨      Individu-individu diharapkan mengendalikan dirinya sendiri dan bertanggung-jawab kepada semuanya; perhatian lebih ditujukan kepada para pelanggan.
¨      Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung dan pemberdaya bagi orang-orang yang ada dalam berbagai tim yang ada dalam organisasi.

Bentuk Tradisional Piramidal
Bentuk Transisional
Bentuk Sirkel
 


                                                                                                                                   







Proses Peribahan dari Bentuk Piramidal ke Bentuk Sirkel (Jaringan melalui
                                     Bentuk Transisional).         

Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi bentuk organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan membayangkan dimana organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan pada posisi mana kita harapkan setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan dapat menggerakan perubahan dalam organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih berdaya.
Untuk bergeser dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan yang mudah. Kenyataannya  berada dalam organisasi yang sedang bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang lain terasa sangat tidak tenang, penuh dengan perasaan ketidak pastian. Perubahan terjadi dimana-mana dan kadang-kadang sukar mengerti alasan mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu memerlukan perubahan, dan perubahan selalu menimbulkan goncangan, besar ataupun kecil. Tidak perlu khawatir akan adanya guncangan-guncangan itu, asal kita selalu sadar kemana organisasi itu bergerak.
            Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah  upaya pemberdayaan lembaga pendidikan.
1)      Inertia = kelembaman  : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai melakukan perubahan. Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
2)      Self-doubt = ragu-ragu sendiri :  tidak yakin akan benar-benar bisa menciptakan tempat kerja yang lebih berdaya.
3)      Anger = marah :  menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
4)      Chaos = kacau-balau :  Terlihat begitu banyak jalan di depan sehingga merasa kehilangan arah.
Kalau mengalami salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas. Tetaplah  pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan organisasi lembaga pendidikan.





BAB II
PEMBERDAYAAN ORGANISASI
BERDASARKAN PENDEKATAN BALANCED SCORCARD

A.    Pengertian dan Sejarah Balanced Scorcard
Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang diukur secara berimbang dari dua sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal, sedangkan pengertian kartu skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengertian sederhana dari balanced scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal.
Sejarah Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di USA oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”. Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness. BSC generasi pertama mendefinisikan empat persepktif dalam perusahaan yang harus diukur kinerjanya. Pertama, perspektif keuangan ( Financial Perspective). Balanced scorecard memakai perspektif keuangan sebagai perspektif yang terjadi akibat dari perspektif yang lain (customer, proses bisnis internal dan pembelajaran & pertumbuhan), perspektif ini secara otomatis akan terwujud dari baik buruknya kinerja tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi perusahaan, penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada peningkatan yang mendasar atau tidak. Oleh karena itu persepektif keuangan tidak memiliki initiative stratetegik untuk mencapai sasaran strategic. Sasaran strategic dari perspektif keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on Investment), pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi. Kedua, perspektif kustomer (Costumer Perspective). Pada perspektif ini, perusahaan mengidentifikasikan dan mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya. Perspektif ini memiliki beberapa pengukuran utama dari outcome yang sukses dengan formulasi dan penerapan strategi yang baik. Sasaran strategic dari perspektif customer ini adalah Firm equity diantaranya adalah meningkatnya kepercayaan customer atas produk dan jasa yang ditawarkan perusahaan, kecepatan layanan yang diberikan dan kualitas hubungan perusahaan dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses bisnis /internal ( Internal Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah proses internal dari manajemen perusahaan yang harus dilakukan, yaitu proses yang berhubungan dengan penciptaan barang dan jasa sehingga dapat  menarik dan mempertahankan pelanggan di pasar, yang akhirnya dapat memuaskan ekspektasi pemegang saham.
Adalah Kaplan dan Norton dalam makalahnya yang menggagas   pentingnya konsep BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang menghubungakan sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. Untuk itu  diperjelas juga bahwa indikator yang digunakan harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan organisasi beroperasi. Ucapannya yang mengatakan “What you measure is what you get” menjadi premis dalam penyusunan ukuran hasil yang diharapkan.  Kaplan dan Norton melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan  secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi. Oleh karena itu dibutuhkan alasan  untuk menggunakan konsep scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen yang utuh, kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi, memperbaiki kualitas terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan mengelola untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard menjadi  pedoman untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan.
Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton bahkan oleh  penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC untuk pendidikan; Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. (2007) di bidang Kesehatan.
Pada awal tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mempublikasikan tulisan mereka yang berjudul “The Balanced Scorecard : Measures that Drive Performance” pada majalah Harvard Business Review edisi awal tahun tersebut. Bisa dikatakan, inilah pemunculan metode balanced scorecard yang pertama untuk konsumsi publik. Ide apa yang diusung oleh kedua penulis ? Ada dua ide utama, yaitu pengukuran indikator kinerja bisnis serta empat perspektif untuk melakukan pengukuran tersebut. Banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi pertama” untuk tulisan ini.
Metode balanced scorecard versi lengkap pertama kali muncul dalam bentuk buku pada tahun 1996, berjudul “The Balanced Scorecard : Translating Strategy into Action” ditulis oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Pada buku ini sudah diulas secara lengkap hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships), penyusunan insiatif stratejik (strategic initiatives), customer value proposition, serta konsep lead dan lag. Lagi, banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi kedua” untuk buku ini.
Sekarang, setelah 14 tahun sejak pemunculannya yang pertama, bagaimana perkembangan metode balanced scorecard ? Ulang tahun ke-14 ini ditandai dengan pemunculan buku Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang terbaru, yang berjudul “Alignment : Using the Balanced Scorecard to Create the Corporate Synergies”. Ini adalah buku mereka yang keempat.
Buku kedua dan ketiga masing-masing adalah “Strategy-Focused Organization” (2001), serta “Strategy Maps”, (2004). Setiap buku tersebut selalu mengulas perkembangan terbaru tentang metode balanced scorecard. Khusus untuk buku ketiga yaitu “Strategy Maps”, banyak pengamat memberikan label “balanced scorecard generasi ketiga”, dengan memberikan penekanan kepada evaluasi kesiapan (readiness assessment) serta membangun keselarasan (alignment) antara strategi dengan aset tak berwujud (intangible assets), yaitu human capital, information capital, serta organization capital.
Ternyata, metode balanced scorecard ini mendapatkan banyak sambutan, baik di kalangan praktisi, maupun akademisi bisnis dan manajemen. Pada perjalanannya, berbagai akademisi dan praktisi mengembangkan balanced scorecard sehingga menjadi lebih kaya. Bisa dikatakan, balanced scorecard mengalami perkembangan pesat, baik secara vertikal maupun horizontal.
Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat, sampai dengan tingkat individu (personal scorecard). Salah satu tokoh yang giat mengembangkan hal ini adalah Hubert K. Rampersad yang mengusung konsep total performance scorecard, yaitu merupakan perpaduan yang cantik antara balanced scorecard tingkat korporat dan organisasi, balanced scorecard tingkat individu, manajemen berbasis kompetensi, serta total quality management.
Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang fungsional manajemen, bahkan sangat spesifik. Perkembangan yang pesat ditunjukkan oleh bidang fungsional manajemen SDM, mulai sejak tahun 2001. Saat itu diterbitkan buku “The human Rresources Scorecard : Linking People, Strategy, and Performance”, yang ditulis oleh Brian E. Becker, Mark. A. Huselid, serta Dave Ulrich. Belakangan mereka membedakan antara balanced scorecard untuk sumber daya manusia organisasi (workforce scorecard) dengan balanced scorecard untuk departemen SDM (HR scorecard). Ini diulas secara mendalam dalam buku mereka “The Workforce Scorecard : Managing Human Capital to Execute Strategy”, (2005).
Bidang fungsional lain yang juga mengadopsi balanced scorecard adalah teknologi informasi. Kerja ini dimulai oleh Ronald Saull yang mempublikasikan artikel “The IT Balanced Scorecard” pada Information Systems Control Journal, tahun 2000. Setahun kemudian, bersama Win Van Grembergen, Ronald Saull memperkenalkan istilah penyelarasan (alignment) antara strategi organisasi dengan teknologi informasi dengan menggunakan balanced scorecard. Buku yang mengulas hal ini secara lengkap ditulis oleh Jessica Keyes yang berjudul “Implementing IT Balanced Scorecard” (2005).
Dalam bidang pendidikan, studi oleh Beard (2009) yang mengidentifikasi penerapan BSC kepada  dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige National Quality Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima penghargaan  lebih memperoleh alasan yang sesuai dengan visi dan misi  organisasi setelah menerapkan BSC. Penghargaan Malcolm lebih  fokus kepada  keberhasilan mencapai sebalas sasaran, akan tetapi penerapan BSC memberikan posisi yang lebih jelas bagi perusahaan. Karena penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi capaian dengan visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan oleh organisasi. Sifat BSC kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya memampukan organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi dan menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan yang  jelas dan sesuai dengan misi dan nilai inti organisasi.
Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen. Dari awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai diputuskan bahwa empat perspektif itu memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang,  Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama dengan sejumlah perusahaan untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja keuangan sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan (customer, proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga muncul perusahaan ataupun konsultan yang membuat program kepada sekumpulan perusahaan untuk mengikuti programnya. Dari hasil pengamatan diakui bahwa perusahaan–perusahaan yang berada di dalamnya mengalami kemajuan karena setiap pengmbilan kebijakan tetap mempertimbangkan perspektif  tersebut.  
Perkembangan  implementasi BSC semakin lama semakin marak, karena kemudian dilanjuti dengan bagaimana kemajuan misalnya seperti penentuan pengupahan dengan sistem BSC. Bahkan para pengguna BSC menyiapkan perangkat lunak (Software) untuk menentukan bagaimana satu bisnis dapat berhasil. Dari perkembangan awal dapat digarisbawahi bahwa peran BSC adalah sebagai alat ukur hasil, dimaksudkan untuk evaluasi, jauh dari  posisi strategis. Akan tetapi dari seri buku-buku dan riset yang ditawarkan oleh Kaplan dan Norton akhirnya diakui bahwa permasalahan BSC bukan pada level evaluasi semata, akan tetapi  harus dimulai dari penyusunan strategi. Karena  dalam series  buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan dan Norton, permasalahan BSC harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak dari awal.
BSC menjadi populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran hasil dan penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan mengapa BSC digunakan dalam organisasi.
1)     BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya, dan kesenjangan kinerja.
2)     BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal  intangible dan inlektual dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3)     BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis yang fokus kepada upaya-upaya non finansial.
4)     BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam operasi perusahaan  hari ke hari.
5)     BSC  memafsilitasi umpan balik  riviu kinerja  dari  waktu ke waktu.
Kontribusi lain adalah dari sisi metode penyusunan balanced scorecard. Banyak pihak yang berkontribusi mengenai hal ini, antara lain Paul Niven, Nills-Goran Olve, Mark Graham Brown, dan sebagainya. Kembangan lain dari balanced scorecard juga muncul untuk bidang internal audit (Mark L. Fringo, 2002), manajemen proyek (Jack Phillips), institusi pemerintahan dan LSM (Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya untuk menggabungkan dengan alat manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen Gupta, 2003).
Kemudian juga bermunculan perangkat lunak komputer (software) untuk balanced scorecard, mulai dari yang murah meriah seperti Strategy Dialog buatan India, sampai dengan yang mahal seperti QPR buatan Finlandia. Kabar terakhir mengatakan bahwa dua pemain aplikasi ERP terbesar yaitu SAP dan Oracle juga sedang mengembangkan modul khusus balanced scorecard untuk melengkapi modul aplikasi ERP mereka saat ini.
Ringkas cerita, balanced scorecard adalah sebuah metode manajemen yang fenomenal. Mengapa balanced scorecard menjadi begitu fenomenal ? Ada beberapa alasan. Pertama, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada indikator kinerja (key performance indicator atau KPI) yang harus didefinisikan secara kuantitatif. Ini mengubah pola pikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir secara umum dan tidak operasional, atau sangat filosofis menjadi kuantitatif dan operasional.
Kedua, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara sistematik, karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships) yang harus dibangun untuk setiap strategi dan program kerja organisasi. Hal ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang tidak berkait, tidak bisa melihat dampak dari sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemik dan integratif.
Ketiga, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara komprehensif, karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif sudut pandang, tidak hanya satu sudut pandang. Ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang parsial, hanya satu atau dua perspektif, menjadi lebih komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh.
Keempat, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat simpel dan mudah untuk dipahami. Metode ini tidak rumit dan membutuhkan suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami metode ini, bahkan menjadi pengguna metode ini. Karena simpel, maka metode ini bisa dipahami oleh berbagai lapisan di dalam organisasi, dengan demikian manajemen strategi organisasi menjadi sangat baik, karena strategi dipahami oleh semua lapisan.
Kelima, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk organisasi bisnis komersial maka tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi, tetapi untuk organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, hal ini tentu tidak tepat. Maka, kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
Keenam, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dapat diintegrasikan atau digabungkan dengan berbagai metode manajemen lainnya, seperti SWOT, six sigma, manajemen risiko, dan sebagainya. Menurut penciptanya, metode balanced scorecard dikembangkan tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada, melainkan melengkapinya, dan bahkan juga dimaksudkan untuk perangkai (integrator) dari metode-metode manajemen yang sudah ada saat ini.
Sekarang, pada usia yang ke-14, sudah sampai di mana perkembangan balanced scorecard ? Pada buku terbarunya Robert S. Kaplan dan David P. Norton mengupas hal-hal baru berkaitan dengan balanced scorecard. Pertama, berkaitan dengan penyelasaran strategi tingkat korporat, business unit, dan strategi fungsional di dalam organisasi, dengan menggunakan balanced scorecard. Kedua, mereka memperkenalkan enterprise value proposition, versi lebih lengkap dari customer value proposition yang telah ada saat ini. Ketiga, penggunaan balanced scorecard untuk menyelaraskan hubungan berupa peran dan fungsi dengan pihak eksternal organisasi. Keempat, mereka membungkus ketiga hal sebelumnya dengan kerangka total strategic alignment model.
Akankah hal ini akan diberi label “balanced scorecard generasi keempat” oleh para pengamat ? Mungkin saja, Sah-sah saja kan ? Jangan-jangan Kaplan dan Norton pun tidak peduli dengan label itu.

B.     Balanced Scorecard sebagai Strategi
Strategi korporasi diturunkan dari Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga  kalau tujuan  korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006) menjelaskan berbagai hal  penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1) komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal menerima umpan balik dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian sumberdaya tidak konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai  pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal yang paling mudah diketahui,  karena masing-masing perspektif yang kemudian diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi, bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing perspektif dengan strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1. berikut.
 












Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts strategy – not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya  struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai – merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum BSC dikenalkan telah banyak dikenal  berbagai program pengukuran yang mengarah kepada perbaikan:  integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi  yang membedakan BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami, setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”. Dimana bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi “mesin” penggerak semua kegiatan.
Terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus:  keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana perusahaan  mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara  posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa  posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang akan digunakan. 
Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo (2002) melaporkan korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial Service, dan Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis maupun kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi. Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang  kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan  alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja  dengan kinerja perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1) Pemahaman  manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3) Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan
Perbedaan fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard terlihat antara lain pada pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan meningkatkan proses bisnis yang telah ada. Sementara pendekatan Balanced scorecard akan selalu mengindentifikasi keseluruhan proses yang baru, dimana perusahaan harus memenuhi tujuan keuangan dan pelanggannya. Sasaran strategic dari perspektif proses bisnis ini adalah organizational capital seperti meningkatnya kualitas proses layanan kepada customer, komputerisasi proses layanan kepada customer, dan penerapan insfrastruktur teknologi yang memudahkan pelayanan kepada customer. Keempat, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ( learning and Growth perspective). Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang harus dibangun perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital. Sebagai contoh  peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff perusahaan.
Gambaran mengenai empat perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam diagram yang dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat. Dalam diagram tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam perspektif yang berbeda. Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara eksplisit hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara pengukuran outcome dan pemicu kinerja dari outcome tersebut.
 









Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan energi yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian visi dan misi perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome measure) dan pemicu kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan dengan setiap unit bisnis dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance scorecard secara manual mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam konsistensi dan komunikasi antara top, middle, lower management.
Ditinjau dari sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua tahapan penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard awalnya berada pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif bagi para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen. Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem. Dalam kajian manajemen strategik, pengukuran hasil (performace) memegang peran sangat penting, karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan akan tetapi menjadi ukuran apakah strategi berhasil atau tidak.  Artinya hasil akan dijadikan ukuran apakah strategi berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka diagnosa pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung berbagai kelemahan.
Kelemahan ini memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif yang dapat digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National Quality yang setiap tahunnya memberikan  penghargaan melalui acara yang sangat bergengsi. Bagaimanapun program seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis. Selama ini program tersebut diyakini telah  meningkatkan daya saing  bisnis Amerika  di pasar global, karena programnya telah meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif bisnis yang dikembangkan dalam program ini adalah fokus kepada hasil pelanggan, hasil barang dan jasa, hasil keuangan dan pasar, hasil sumberdaya manusia, ketertarikan hasil organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan dan tatakelola serta tanggungjawab sosial. Dari keenam fokus yang ada di atas, selanjutnya Program ini mendeskripsikan sebelas komponen yang harus ditunjukkan agar perusahaan  dapat memberikan nilai.
Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan,  kedua penulis ini tidak henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian tujuan. Oleh karena itu  perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang menjelaskan bahwa:
Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi. Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari awal.  Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan  organisasi menerapkan BSC.

Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi  bahwa masing-masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan  Kaplan bahwa  BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh.
Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan  serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan  dapat menentukan.
Hendrick (2004) menunjukkan  kendala penerapan BSC (1)  sedikit  pemeriksaan tentang faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan  (2)  masih dibutuhkan keyakinan bahwa dengan pengadopsian  BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan. Selanjutnya ia melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan kepemimpinan senior; mengartikulasi visi dan strategi perusahaan; mengidentifikasi kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil; terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa. Melihat BSC sebagai proses kontinius, membutuhkan perbaikan,  penilaian ulang, dan pemutakhiran dan percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena  hanya dengan adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat dalam satu perencanaan baik jangka  pendek maupun jangka panjang.  Artinya penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment.  Alligment adalah adanya pengalokasikan sumberdaya yang jelas terhadap  upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.

C.    Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja perusahaan yang modern dengan mempertimbangan empat perspektif (yang saling berhubungan) yang merupakan penerjemahan strategi dan tujuan yang diingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitor secara berkelanjutan
Adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke information competition, sehingga mengubah alat ukur atau acuan yang dipakai oleh perusahaan untuk mengukur kinerjanya. Perubahan Teknologi à Persaingan ketat di dunia bisnis à Mendorong kebutuhan akan Informasi à Mengakibatkan persaingan Informasi à Untuk membantu ambil keputusan.



Financial
Customer
Internal Bussiness
Learning & Growth
ROCE
Customer Loyalty
On Time Delivery
Process Quality
Process Cycle Time
Employee Skills
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
 




















Perspektif Pelanggan dapat diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996) Pengukuran Pangsa Pasar; Pengukuran Customer Retention; Pengukuran Customer Acquisition;  Pengukuran Customer Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.
Perspektif Bisnis Internal dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses Inovasi (penelitian dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses Operasi (menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari barang/jasa yang diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang dibutuhkan (time measurements)
                                                                            Processing Time
Manufacturing Cycle Efectiveness = ----------------------
                                                                Throughput Time
Pengukuran terhadap kualitas proses produksi (quality process measurements). Menditeksi adanya tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk bagus yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan (waste), bahan sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya angka pengembalian dari konsumen dan lain-lain. Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses produksi (process cost measurements). Dalam manufaktur maju, pengukuran atas biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk digunakan ABC system.
Ketiga poin di atas secara bersama-sama (simultan) akan menghasilkan  tiga parameter yang penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses bisnis internal (perhitungan biaya yang tepat dimana tidak ada pemborosan biaya dari aktivitas yang tidak bernilai tambah dan kualitas produk yang dihasilkan  baik akan menghasilkan proses bisnis internal yang baik). Pelayanan Purna Jual (akan mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen). Aktivitas-aktivitas diantaranya : garansi, reparasi, perlakuan terhadap produk cacat atau rusak, pelayanan dalam komplain dan lain-lain.
Betapa pentingnya untuk terus memperhatikan karyawan, memantau kesejahteraannya, meningkatkan pengetahuan karyawan yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil ketiga perspektif diatasnya. Pengukur Kemampuan Karyawan dengan 3 aspek Pengukuran kepuasan karyawan; Tingkat keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan; Pengakuan terhadap hasil kerja karyawan; Kemudahan dalam mendapatkan informasi sehingga dapat bekerja sebaik mungkin; Keaktifan dan kreativitas dalam melakukan pekerjaan; Tingkat dukungan yang diberikan kepada karyawan; Pengukuran perputaran karyawan dalam perusahaan; Pengukuran produktivitas karyawan; Gaji yang diperoleh dan Rasio perbandingan antara konpensasi yang diperoleh karyawan dengan jumlah karyawan yang ada di perusahaan.
Kualitas dan produktifitas karyawan dipengaruhi oleh akses terhadap system informasi yang dimiliki perusahaan (persentase ketersediaan informasi). Semakin mudah informasi diperoleh maka karyawan akan memiliki kenerja yang semakin baik. Informasi yang dibutuhkan karyawan seperti informasi pelanggannya, biaya produksi dan lain-lain.
Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus tetapi juga harus diikuti dengan adanya motivasi karyawan untuk mau meningkatkan kinerjanya. Pengukuran motivasi karyawan dapat dinilai melalui dimensi; pengukuran terhadap sarana yang diberikan kepada perusahaan dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan peningkatan kinerja karyawan; pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam organisasi.

D.    Implementasi Scorecard
Implementasi  BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk menentukan  keberhasilan satu organisasi ataupun perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut  banyak hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa  capaian dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi.  Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada umumnya.

1.      Proses Penyusunan Balanced Scorecard
Bangunan Balanced Scorecard dimulai dari visi perusahaan. Visi di sini adalah situasi masa depan perusahaan yang diinginkan. Kemudian visi ini diuraikan dalam perspektif-perspektif pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut ditetapkan tujuan-tujuan strategis yang lebih spesifik yang merupakan penjabaran dari visi perusahaan. Atas dasar tujuan strategis ini, perusahaan kemudian menetapkan faktor-faktor keberhasilan kritikal agar visi perusahaan bisa diwujudkan. Setelah penetapan factor-faktor keberhasilan kritikal ini, kemudian ditentukan ukuran-ukuran strategis yang mencerminkan strategi perusahaan. Terakhir, perusahaan menyiapkan langkah-langkah spesifik yang akan dilakukan pada masa mendatang agar tercapai tujuan-tujuan strategis yang merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan. Gambar 2.1 berikut memberikan gambaran ringkas bagaimana sebuah Balanced Scorecard


Financial
Costumers
Internal business
Learning & Growth












Langkah-langkah spesifik untuk mencapai tujuan
Visi Atau situasi masa depan perusahaan yang diinginkan.


Perspektif
Tujuan strategic Spesifik
Faktor Keberhasilan Kritikal
Ukuran srategi yang mencerminkan strategi perusahaan
                                                                                                                                         











Kaplan menyarankan untuk menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil NAM&R dalam membangun scorecard-nya sehingga menjadi organisasi yang fokus terhadap strategi dan leading dalam industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
a.    Assess the competitive environment.
b.    Learn about customer preferences and segments.
c.    Develop a strategy to generate breakthrough financial performance.
d.    Articulate the balance between growth and productivity.
e.    Select the targeted customer segments.
f.      Determine the value preposition for the targeted customers.
g.    Identify the critical internal business processes to deliver the value proposition. to customers and for financial cost and productivity objectives.
h.    Develop the skills, competencies, motivation, databases, and technology required to excel at internal processes and customer value delivery.

2.      Proses Penerapan Balanced Scorecard
Tahap ini membutuhkan pengembangan sistem dan IT (Information Technology) untuk mengimbangi perubahan lingkungan bisnis yang terus terjadi. Pengendalian strategis mengantarkan organisasi untuk terus belajar menyempurnakan ukuran-ukuran agar selalu merefleksikan strategi perusahaan. Proses penerapan ini dapat dilihat secara ringkas pada Gambar 2.2 berikut.
Pengembangan Strategi
 Manajemen Control System
Pengembangan system dan IT
 Pembelajaran organisasi
B S C
 







                             

Model Balanced Scorecard hanya memberikan perusahaan sebuah struktur yang menyatakan visi dan strategi perusahaan ke dalam sasaran dan ukuran yang nyata. Perusahaan masih menghadapi tantangan untuk membangun sebuah sistem serta prosedur yang mampu mengumpulkan informasi sekaligus mengkomunikasikannya kepada karyawan dan pihak-pihak yang memerlukan. Untuk menciptakan perubahan yang diinginkan dari sistem pengukuran kinerja ini, informasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.       Presented in a communicative manner – in numbers, figures, diagrams, or multimedia, which facilitate an overview.
b.      Presented in a user-friendly environment – simple, familiar interface.
c.       Easy to access – the person who needs the information must be able to obtain it wherever he or she is.
d.      Collected and measured in a cost-effective manner – measures of “soft” data often require new instruments of measurement. The cost of measurement must not exceed the utility of the measures.

3.      Karakteristik Ukuran untuk Balanced Scorecard
Banyak perusahaan yang telah mengklaim bahwa mereka telah menerapkan Balanced Scorecard karena telah menggunakan campuran ukuran keuangan dan nonkeuangan. Padahal pada kenyataannya mereka baru menggunakan ukuran yang lebih seimbang dibandingkan dengan perusahaan yang hanya menggunakan ukuran finansial semata-mata dalam mengukur kinerjanya. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan ukuran yang sifatnya tidak mendukung strategi perusahaan.
Balanced Scorecard yang baik mampu merefleksikan strategi perusahaan. Cara yang paling tepat untuk untuk mengujinya adalah apakah kita bisa memahami strategi perusahaan dengan hanya melihat scorecard tersebut. Strategy scorecard menyediakan cara yang logis serta komprehensif untuk menjelaskan strategi perusahaan. Scorecard ini dengan jelas mengkomunikasikan keluaran yang diinginkan perusahaan sekaligus hipotesis mengenai bagaimana keluaran tersebut dapat dicapai.

4.      Penerapan Balanced Scorecard yang Berhasil
Walaupun tidak ada standar yang seragam untuk mengevaluasi penyusunan atau penerapan suatu Balanced Scorecard, Olve et al. telah mengidentifikasi keadaan yang menunjukkan penerapan Balanced Scorecard yang berhasil sebagai berikut:
a.       Support and Participation
b.      Priority
c.       Composition of the Project Group
d.      Coverage of the Project
e.       Basing the Scorecard on the Company’s Strategy
f.        Clearly and Consistently Defined Measures
g.      Balance and Cause-and-Effect Relationship between Measures
h.      Setting Goals
i.        Relationship to Existing Control Systems
j.        Ensuring the Feasibility of Measures and Measurements
k.       IT-based Presentation and Support Systems
l.        Training and Information
m.    Development of Learning Organization
n.      Following up the Concept

Hubungan antara tujuan strategis perusahaan dengan ukuran di dalam scorecard-nya merupakan suatu hipotesis hubungan sebab-akibat, yang karenanya manakala tidak lagi terdapat korelasi antara ukuran dan tujuan strategis, maka strategi perusahaan harus kembali ditinjau sesuai kebutuhan, seperti yang disimpulkan oleh Olve et. al.: “…. A balanced scorecard should not be regarded as static product but as a living model of a company.”


5.      Menggunakan Balanced Scorecard untuk Mengukur Kinerja
Setelah membangun model scorecard-nya, kemudian menyiapkan program aplikasi untuk operasionalisasi ukuran-ukuran yang ada pada scorecard-nya. Program yang digunakan adalah program Oracle yang didisain secara khusus untuk penerapan Balanced Scorecard. Program aplikasi ini memiliki dua fungsi,  yaitu fungsi pengelolaan data; keluaran yang dihasilkan dari fungsi ini adalah bentuk-bentuk laporan baik berupa tabel, grafik, maupun diagram. Dan fungsi pemantauan. Keluaran yang dihasilkan adalah laporan perkembangan kinerja perusahaan pada periode tertentu. Manajemen dapat mengetahui sampai tingkat mana pencapaian kinerja perusahaan untuk periode yang diinginkan setiap saat. Umpan balik dari fungsi ini adalah timbulnya perhatian manajemen untuk peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Pengelolaan data Balanced Scorecard dilakukan oleh bagian QAD dengan rincian pekerjaan sebagai berikut 1) Melakukan pengumpulan data Balanced Scorecard, 2) Pembuatan laporan Balanced Scorecard, 3) Mengirimkan laporan Balanced Scorecard ke PT Y (holding company); 4) Menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal Computer) manajemen dalam bentuk database; 5)  Mengarsipkan laporan Balanced Scorecard.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan data Balanced Scorecard telah dibuat dokumen SOP (Standard Operating Procedures) yang terdiri dari 11 dokumen SOP. SOP-SOP yang disusun merupakan serangkaian prosedur yang harus dijalani untuk menjamin validitas data yang akan menjadi masukan bagi pengukuran serta laporan kinerja. Atas dasar SOP-SOP yang ada, dapat dilihat bahwa implementasi Balanced Scorecard  terdiri dari 3 (tiga) tahapan utama; (1) tahap pengumpulan data Balanced Scorecard, (2) tahap pelaporan, dan (3) tahap monitoring.
Pada tahap pengumpulan data, masing-masing supervisor menyiapkan data-data yang diperlukan oleh kunci pengukuran (KPI) bagiannya. Setelah data-data tersebut disiapkan, para supervisor tersebut kemudian mengoreksi untuk kemudian menyerahkan yang telah ditentukan beserta data-data pendukungnya kepada manajer yang menjadi atasan langsungnya. Laporan pengumpulan data ini harus sudah diserahkan oleh para supervisor kepada manajer-manajer masing-masing paling lambat tanggal 1 (satu) setiap bulannya.
Setelah menerima dan memeriksa data dari para supervisor yang menjadi tanggung jawabnya, manajer terkait kemudian menyampaikan data tersebut beserta dokumen pendukungnya kepada bagian QAD untuk diolah ke dalam format Balanced Scorecard. Oleh bagian QAD data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan jaminan atas validitas dan kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input ke loader Balanced Scorecard dan ke dalam form laporan Balanced Scorecard yang telah distandarkan. Setelah mengoreksi hasil input baik pada loader Balanced Scorecard maupun form laporan Balanced Scorecard, bagian QAD mengirimkan laporan Balanced Scorecard kepada Direktur Utama.
Bagian QAD juga menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal Computer) manajemen dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak lanjut dari apa-apa yang telah dicapai perusahaan selama periode yang bersangkutan. Setelah data masukan ini diproses, aplikasi Balanced Scorecard perusahaan akan menyajikan pencapaian kinerja perusahaan dibandingkan dengan target atau anggaran pada periode atau waktu yang terkait.
Ada beberapa prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam menindaklanjuti laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu: 1) Melakukan koreksi dengan cara membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang ditampilkan pada masing-masing KPI Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan terhadap pelaksanaan kerja dari masing-masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja tersebut dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan atau tidak; 2)   Mencari penyebab sehingga pelaksanaan kerja yang dilakukan tidak dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kerja periode yang akan datang; 3) Mencari cara agar pelaksanaan kerja yang dilakukan pada periode yang akan datang dapat mencapai rencana kerja yang ditentukan Melakukan koordinasi dengan masing-masing bagian di bawahnya terhadap pelaksanaan kerja periode yang akan datang untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ditentukan.
Program pengembangan Balanced Scorecard terus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dengan memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1) Tujuan jangka pendek.
Direncanakan sebelum tahun 2013 (pertengahan 2013), implementasi Balanced Scorecard dapat sampai pada level supervisor, sehingga struktur scorecard yang ada sekarang akan diperluas untuk masing-masing supervisor.
2) Tujuan jangka panjang.
Setelah tujuan pada angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan diarahkan pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya dengan menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya diharapkan seluruh bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan menggunakan kerangka Balanced Scorecard perusahaan.
Pengalaman Kaplan dan Norton selama bertahun-tahun bekerja dengan Balanced Scorecard menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan membutuhkan 20-25 ukuran dalam scorecard-nya dengan sebaran pada masing-masing perspektif sebagai berikut:

Perspektif
Jumlah Ukuran
Keuangan
5  Ukuran Strategi (22 %)
Pelanggan
5  Ukuran Strategi (22%)
Bisnis Internal
10 Ukuran Strategi (34%)
Pembelajaran dan Pengembangan
5  Ukuran Strategi (22%)

Selain pola distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton juga menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total jumlah tersebut merupakan ukuran yang bersifat non finansial.
Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002 dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya, NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan yang menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut merasakan bahwa balanced scorecard memang memiliki keunggulan yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:
1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non finansial kuantitatif.
4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis verifikasi.
5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang keberhasilan penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja perusahaan seperti yang dialami oleh perusahaan Kansai Electric Power CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di Jepang yang memproduksi dan mensuplai kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini memperkenalkan cara kerja baru yang disebut "Linked Contract" yang kinerjanya diukur dengan Balanced Scorecard.
Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu strategi dimana perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah apapun bagi perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam penerapannya di dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.
R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya (pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/ strategi investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu: perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan karyawan.

E.     Keunggulan Balanced Scorecard
Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional, maka balanced scorecard memiliki beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):
1.      Komprehensif.
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja, tetapi juga aspek kualitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal seperti pengembangan kurikulum baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif. Balanced scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.

2.      Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan.
Pengukuran evaluasi tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan, learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah preferensinya.
3.      Fokus terhadap tujuan.
Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara Gunawan, 2000):Perspektif Keuangan ; Perspektif Customer. Terwujudnya tanggung jawab sosial sehingga pemerintah dan institusi pendidikan dikenal secara luas akrab dengan lingkungan ;Perspektif Proses Internal. Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil sekolah. ; Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Terwujudnya keunggulan jangka penjang dunia pendidikan melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.



BAB III
PENUTUP

Konsep balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian manajemen yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi yang kian liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin tinggi menjadi hal yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi akan tergilas oleh keperkasaan pihak kompetitor.
Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan, yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang memungkinkan belajar dan tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem dan penyetaraan organisasi.
Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
            Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai, kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai  memberikan ukuran hasil kedalam pegawai, sistem dan penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini sekarang agak generik dan kurang berkembang daripada ketiga perspektif Balance Scorecard lainnya. Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness.
1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non finansial kuantitatif.
4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis verifikasi.
5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
6.      Di antara pengadopsian Scorecard organisasi harus membuat suatu kepurtusan yang mana perspektif Balanced Scorecard yang akan digunakan. Kaplan dan Norton telah mendesain Scorecard tersebut dengan perusahaaan yang berorientasi profit dengan mengembangkan empat perspektif yang luas yaitu: perspektif keuangan, pelanggan, internal proses, dan pembelajaran dan Pertumbuhan karyawan.
7.      Banyak organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi overarching pada tingkat yang paling atas, kemudian konsumen pada tingkat kedua.
8.      Sebelum mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced Scorecard seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-banyaknya latar belakang organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik, legal, pelimpahan wewenang, dan sebagainya.
9.       Strategik map merupakan selembar dokumen yang menjelaskan secara tepat dari artikulasinya dan secara grafik.
10.  Analisis dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup baik untuk membentuk strategik map.


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145, September, Halaman 36-40.
Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing, Ohio.
Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.
Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman 34-35.
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard Business School Press.
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen : Sistem Pelipatganda Kinerja Perusahaan, Edisi satu, Yogyakarta : Adiya Media
Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media.
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
Vincent Gaspersz; 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six Sigma, Jakarta: Gramedia.