By. Rusman Faoz
BAB
I
PENDAHULUAN
Salah satu kunci
untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah melibatkan lebih
banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam lembaga
pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan
untuk mengubah dan menciptakan suasana
kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan
itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan
sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga
pendidikan, sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada
didalamnya.
Tingkat
dedikasi, komitmen dan kompetensi
orang-orang yang bekerja itu yang akan menentukan sampai seberapa jauh
lembaga pendidikan akan mampu
meningkatkan mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan
suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan mutu.
Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun
dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat
efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam
organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di antara
orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi,
harapan-harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu
sangat berbeda dengan hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh
hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset yang paling berharga dari suatu lembaga
pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di
dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental,
kreatifitas, motivasi dan kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki.
Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan –
dosen, teknisi, pegawai administrasi, dan sebagainya, pemberdayaan merupakan
kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan – mulai dari
yang tertinggi sampai ke yang terrendah – pemberdayaan adalah suatu fungsi yang
harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi
yang mendam-bakan kualitas kinerja yang
terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses yang harus terjadi. Tanpa
proses pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan sulit untuk bisa memenangkan
persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara internasional.
Tanpa pemberda-yaan suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi
tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya.
Keterbatasan berbagai sumberdaya juga meng-haruskan setiap lembaga pendidikan
melaksanakan pemberdayaan organisasinya.
Di
lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang enak
karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu
kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada
saat yang sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang
lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti
tentang komitmen dan tanggung-jawabnya.
Dalam
situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian,
mengem-bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan
tugas-tugasnya dengan mutu yang lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan
harus terus berusaha agar organisasinya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mutu
dari luar maupun dari dalam.
Pada
dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi
sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah
diberdaya-kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan,
laboran, dsb) merasa bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang
dikerjakannya, tetapi juga tentang keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat
berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah diberdayakan akan bekerjasama
memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai tingkat produktivitas
dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan lembaga pendidikan akan terstruktur
sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-hasil
sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka
lakukan, dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk
melakukannya, dan mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
Dinamika
suatu organisasi – lembaga pendidikan – terletak pada kreativitas dan inisiatif
orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang
yang ada meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan
adalah mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif
yang ada pada orang-orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya
adalah dengan meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan
keterampian kerjanya, memberi kewenangan
atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar
mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk
memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk
berpartisipasi meraih kinerja lembaga pendidikan yang lebih bermutu. Agar
mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya,
dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
Lembaga
pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen
atau pegawai non-edukatif seperti teknisi, laboran, pustakawan, pegawai
administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat, petugas
kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah
tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui
program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan
dilaksanakan secara teratur dan profesional – bagi semua jenis dan tingkatan
pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu
adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas
yang diembannya, meningkatkan penguasaan
keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas
dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya, serta
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang
dipelajarinya. Dengan wawasan,
keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu diharapkan orang-orang
itu akan berkembang kreativitasnya dan
berani berinisiatif untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru
itulah yang bisa diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya
pendidikan dan pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan
dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam
menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu
merupakan kebijakan yang mutlak.
Menguasai
kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup. Orang
perlu memiliki kemauan untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat menghasilkan kinerja yang
lebih bermutu. Kemauan itu ibarat motor
penggerak yang mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih
baik. Kemauan ini sama atau berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan
mutu kinerja yang lebih baik diperlukan motivasi. Sumber motivasi
seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu. Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu
saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi.
Untuk meme-nuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu
asalkan perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana
mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan
salah satu atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga
pendidikan. Menurut Abraham Maslow
kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara
hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai
golongan bawah mungkin kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar
pada kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan, dll) dan keamanan
(tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli dengan uang. Oleh karena
itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang akan dikerjakan
dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para
pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan
lagi kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan
aktualisasi diri. Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya
tidak semata-mata dengan menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan
atau prestasi diri. Oleh karena itu hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang
golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak langsung meningkatkan harga
dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha peningkatan
mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut
dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka merasa
harga dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya
untuk memenuhi kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan
kemauan orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok orang. Perlu sekali lagi ditekankan di sini
bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam bentuk uang atau materi. Pengakuan
dan pujian di hadapan umum bisa memotivasi orang untuk berbuat baik lebih
lanjut.
Agar
orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang itu
perlu mendapatkan kesempatan untuk
berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa ajakan dari pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk berpartisipasi, tersedia-nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau
dalam bentuk kewenangan untuk
berpartisipasi. Memberi kewenangan kepada semua orang untuk meningkatkan mutu
kinerjanya masing-masing adalah penting untuk munculnya partisipasi dalam meningkatkan
mutu lembaga pendidikan.
Pemberdayaan
lembaga pendidikan berawal dari adanya sifat hubungan baru di antara
orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan lembaga
pendidikannya. Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak
hanya merasa bertanggung-jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga
merasa ikut memiliki organisasi secara keseluruhan. Para pekerja itu perlu
dibuat merasa sebagai pengambil keputusan,
tidak sekedar sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau bawahan.
Selain itu mereka juga merasa bangga atau kecewa terhadap keberhasilan lembaga
pendidikannya secara keseluruhan, dan bukan hanya merasa bangga atau kecewa
terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.
Partisipasi
|
O
PEMBERDAYAAN
|
Kemampuan
|
Kesempatan
|
O
Kemauan
|
Diagram
di atas memperjelas bagaimana partisipasi bisa muncul dalam organisasi, yaitu
bila ditopang oleh adanya faktor-faktor kemampuan,
kemauan, dan kesempatan. Dalam berupaya memberdayakan
lembaga pendidikan perlu selalu diupayakan bagaimana menumbuhkan ketiga faktor
itu pada setiap orang yang bekerja di lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Usaha pemberdayaan yang berhasil akan mengubah suasana kerja, semangat kerja,
dan semangat kerjasama, dan akhirnya akan menghasilkan kinerja yang lebih
bermutu.
Sejak kelahirannya sampai sekarang lembaga pendidikan di Indonesia
cenderung menerapkan organisasi yang
berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas dan jarang
melibatkan pemikiran dari bawah.
Organisasi tradisional itu biasanya berbentuk piramida dengan pimpinan
tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam ini ditandai dengan adanya
pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang jelas, uraian tugas
yang terbatas dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini
orang-orang yang berada di puncak berfikir dan merencanakan, sedangkan
orang-orang yang berada di bawah
melaksanakannya.
Ciri-ciri
organisasi piramidal :
1) Keputusan
diambil oleh pimpinan puncak.
2) Setiap
orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
3) Perubahan
terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari
puncak.
4) Umpan
balik dan komunikasi dari atas ke bawah.
5) Interaksi
dan komunikasi antar bagian sangat minimal.
6) Fokus
perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya.
7) Pimpinanlah
yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa yang harus
dihasilkan.
8) Bawahan
tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan dikendalikan
secara ketat.
Sampai sekarang
sebagian besar lembaga pendidikan masih beroperasi kurang lebih semacam itu. Bentuk baru
organisasi disebut sirkel atau jaringan,
karena beroperasinya merupakan serangkai-an kelompok atau tim yang saling berkoordinasi, yang
dihubungkan dari tengah bukan dari atas.
Piramida
(Hirarkhis) Sirkel
( Jaringan)
Ciri-ciri Organisasi Sirkel :
¨
Berfokus pada pelanggan.
¨
Orang bekerjasama satu dengan lainnya
mengerjakan segala apa yang diperlukan.
¨
Orang-orang berbagi tanggung-jawab,
keterampilan, wewenang dan pengawasan.
¨
Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi
yang dilakukan secara terus-menerus dan
melalui banyak keputusan.
¨
Perubahan kadang-kadang terjadi secara cepat,
karena tantangan-tantangan baru muncul.
¨
Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan
pimpinan adalah kemampuan bekerjasama dengan orang-orang lain.
¨
Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya
sedikit tingkatan (eselon).
¨
Kekuatan (kekuasaan) seseorang bersumber dari
kemampuannya mempengaruhi dan mem-beri inspirasi kepada yang lain, dan bukan
dari jabatannya.
¨
Individu-individu diharapkan mengendalikan
dirinya sendiri dan bertanggung-jawab kepada semuanya; perhatian lebih
ditujukan kepada para pelanggan.
¨
Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung
dan pemberdaya bagi orang-orang yang ada dalam berbagai tim yang ada dalam
organisasi.
|
Bentuk Tradisional Piramidal
|
Bentuk Transisional
|
Bentuk Sirkel
|
Proses Peribahan dari Bentuk Piramidal ke Bentuk Sirkel (Jaringan melalui
Bentuk Transisional).
Kebanyakan
organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi bentuk
organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan membayangkan
dimana organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan pada posisi
mana kita harapkan setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan dapat
menggerakan perubahan dalam organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar
organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih berdaya.
Untuk bergeser
dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan yang mudah.
Kenyataannya berada dalam organisasi
yang sedang bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang lain terasa sangat tidak
tenang, penuh dengan perasaan ketidak pastian. Perubahan terjadi dimana-mana
dan kadang-kadang sukar mengerti alasan mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi
perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu memerlukan perubahan, dan perubahan
selalu menimbulkan goncangan, besar ataupun kecil. Tidak perlu khawatir akan
adanya guncangan-guncangan itu, asal kita selalu sadar kemana organisasi itu
bergerak.
Berikut ini empat macam goncangan
yang mungkin akan menghadang di tengah upaya
pemberdayaan lembaga pendidikan.
1) Inertia = kelembaman : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai
melakukan perubahan. Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
2) Self-doubt = ragu-ragu sendiri :
tidak yakin akan benar-benar bisa menciptakan tempat kerja yang lebih
berdaya.
3) Anger = marah :
menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
4) Chaos = kacau-balau : Terlihat begitu banyak jalan di depan
sehingga merasa kehilangan arah.
Kalau mengalami
salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas. Tetaplah pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan
organisasi lembaga pendidikan.
BAB
II
PEMBERDAYAAN
ORGANISASI
BERDASARKAN
PENDEKATAN BALANCED SCORCARD
A.
Pengertian
dan Sejarah Balanced Scorcard
Istilah
balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced
(berimbang) dan scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced)
dapat diartikan dengan kinerja yang diukur secara berimbang dari dua sisi yaitu
sisi keuangan dan non keuangan, mencakup jangka pendek dan jangka panjang serta
melibatkan bagian internal dan eksternal, sedangkan pengertian kartu skor (scorecard)
adalah suatu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk
kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengertian
sederhana dari balanced scorecard
adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan
keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan
jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal.
Sejarah
Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di USA
oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran
kinerja dalam organisasi masa depan”. Balanced scoredcard telah mengalami tiga
generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif,
generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage
diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness. BSC generasi
pertama mendefinisikan
empat persepktif dalam perusahaan yang harus diukur kinerjanya. Pertama, perspektif
keuangan ( Financial Perspective). Balanced scorecard
memakai perspektif keuangan sebagai perspektif yang terjadi akibat dari
perspektif yang lain (customer, proses bisnis internal dan pembelajaran &
pertumbuhan), perspektif ini secara otomatis akan
terwujud dari baik buruknya kinerja tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran
kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi perusahaan, penerapannya, dan
pelaksanaannya memberikan kontribusi pada peningkatan yang mendasar atau tidak.
Oleh karena itu persepektif keuangan tidak memiliki initiative
stratetegik untuk mencapai sasaran strategic. Sasaran strategic dari perspektif
keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on Investment), pertumbuhan
pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi. Kedua, perspektif
kustomer
(Costumer Perspective). Pada perspektif ini, perusahaan
mengidentifikasikan dan mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya.
Perspektif ini memiliki beberapa pengukuran utama dari outcome yang sukses
dengan formulasi dan penerapan strategi yang baik. Sasaran strategic dari
perspektif customer ini adalah Firm equity diantaranya adalah
meningkatnya kepercayaan customer atas produk dan jasa yang ditawarkan
perusahaan, kecepatan layanan yang diberikan dan kualitas hubungan perusahaan
dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses bisnis /internal (
Internal Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah
proses internal dari manajemen perusahaan yang harus dilakukan, yaitu proses
yang berhubungan dengan penciptaan barang dan jasa sehingga dapat menarik
dan mempertahankan pelanggan di pasar, yang akhirnya dapat memuaskan
ekspektasi pemegang saham.
Adalah Kaplan dan Norton
dalam makalahnya yang menggagas
pentingnya konsep BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang
menghubungakan sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. Untuk
itu diperjelas juga bahwa indikator yang
digunakan harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan organisasi
beroperasi. Ucapannya yang mengatakan “What
you measure is what you get” menjadi premis dalam penyusunan ukuran hasil
yang diharapkan. Kaplan dan Norton
melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan
pencapaian tujuan secara terpisah,
bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi.
Oleh karena itu dibutuhkan alasan untuk
menggunakan konsep scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam
laporan manajemen yang utuh, kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang
dinilai bersaing: menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan,
memperpendek waktu menanggapi, memperbaiki kualitas terhadap team, mengurangi
waktu meluncurkan produk, dan mengelola untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard
menjadi pedoman untuk mengoptimalkan
pencapaian tujuan.
Sejak 1992, konsep ini terus
dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton bahkan oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang
yang mengadopsi BSC, semakin lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC untuk
pendidikan;
Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. (2007)
di bidang Kesehatan.
Pada awal tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P.
Norton mempublikasikan tulisan mereka yang berjudul “The Balanced Scorecard
: Measures that Drive Performance” pada majalah Harvard Business Review
edisi awal tahun tersebut. Bisa dikatakan, inilah pemunculan metode balanced
scorecard yang pertama untuk konsumsi publik. Ide apa yang diusung oleh
kedua penulis ? Ada dua ide utama, yaitu pengukuran indikator kinerja bisnis
serta empat perspektif untuk melakukan pengukuran tersebut. Banyak pengamat
memberi label “balanced scorecard generasi pertama” untuk tulisan ini.
Metode balanced scorecard versi lengkap pertama
kali muncul dalam bentuk buku pada tahun 1996, berjudul “The Balanced
Scorecard : Translating Strategy into Action” ditulis oleh Robert S. Kaplan
dan David P. Norton. Pada buku ini sudah diulas secara lengkap hubungan
sebab-akibat (cause-effect relationships), penyusunan insiatif stratejik
(strategic initiatives), customer value proposition, serta konsep
lead dan lag. Lagi, banyak pengamat memberi label “balanced
scorecard generasi kedua” untuk buku ini.
Sekarang, setelah 14 tahun sejak pemunculannya yang
pertama, bagaimana perkembangan metode balanced scorecard ? Ulang tahun
ke-14 ini ditandai dengan pemunculan buku Robert S. Kaplan dan David P. Norton
yang terbaru, yang berjudul “Alignment : Using the Balanced Scorecard to
Create the Corporate Synergies”. Ini adalah buku mereka yang keempat.
Buku kedua dan ketiga masing-masing adalah “Strategy-Focused
Organization” (2001), serta “Strategy Maps”, (2004). Setiap buku
tersebut selalu mengulas perkembangan terbaru tentang metode balanced scorecard. Khusus
untuk buku ketiga yaitu “Strategy Maps”, banyak pengamat memberikan
label “balanced scorecard generasi ketiga”, dengan memberikan penekanan
kepada evaluasi kesiapan (readiness assessment) serta membangun
keselarasan (alignment) antara strategi dengan aset tak berwujud (intangible
assets), yaitu human capital, information capital, serta organization
capital.
Ternyata, metode balanced scorecard ini
mendapatkan banyak sambutan, baik di kalangan praktisi, maupun akademisi bisnis
dan manajemen. Pada perjalanannya, berbagai akademisi dan praktisi
mengembangkan balanced scorecard sehingga menjadi lebih kaya. Bisa
dikatakan, balanced scorecard mengalami perkembangan pesat, baik secara
vertikal maupun horizontal.
Secara vertikal, balanced scorecard berkembang
mulai dari tingkat korporat, sampai dengan tingkat individu (personal
scorecard). Salah satu tokoh yang giat mengembangkan hal ini adalah Hubert
K. Rampersad yang mengusung konsep total performance scorecard, yaitu
merupakan perpaduan yang cantik antara balanced scorecard tingkat korporat
dan organisasi, balanced scorecard tingkat individu, manajemen berbasis
kompetensi, serta total quality management.
Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard
berkembang ke berbagai bidang fungsional manajemen, bahkan sangat spesifik.
Perkembangan yang pesat ditunjukkan oleh bidang fungsional manajemen SDM, mulai
sejak tahun 2001. Saat itu diterbitkan buku “The human Rresources Scorecard : Linking People, Strategy, and Performance”, yang ditulis oleh Brian E. Becker, Mark. A.
Huselid, serta Dave Ulrich. Belakangan mereka membedakan antara balanced
scorecard untuk sumber daya manusia organisasi (workforce scorecard)
dengan balanced scorecard untuk departemen SDM (HR scorecard). Ini
diulas secara mendalam dalam buku mereka “The Workforce Scorecard : Managing
Human Capital to Execute Strategy”, (2005).
Bidang fungsional lain yang juga mengadopsi balanced
scorecard adalah teknologi informasi. Kerja ini dimulai oleh Ronald Saull
yang mempublikasikan artikel “The IT Balanced Scorecard” pada Information
Systems Control Journal, tahun 2000. Setahun kemudian, bersama Win Van
Grembergen, Ronald Saull memperkenalkan istilah penyelarasan (alignment)
antara strategi organisasi dengan teknologi informasi dengan menggunakan balanced
scorecard. Buku yang mengulas hal ini secara lengkap ditulis oleh Jessica
Keyes yang berjudul “Implementing IT Balanced Scorecard” (2005).
Dalam
bidang pendidikan, studi oleh Beard (2009) yang
mengidentifikasi penerapan BSC kepada
dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige National
Quality Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima penghargaan lebih memperoleh alasan yang sesuai dengan
visi dan misi organisasi setelah menerapkan
BSC. Penghargaan Malcolm lebih fokus
kepada keberhasilan mencapai sebalas sasaran, akan tetapi
penerapan BSC memberikan posisi yang lebih jelas bagi perusahaan. Karena
penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi capaian dengan visi-misi organisasi
dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan oleh organisasi. Sifat BSC
kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya memampukan
organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi
dan menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan
yang jelas dan sesuai dengan misi dan
nilai inti organisasi.
Kaplan dan
Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen. Dari awal tahun
ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai
diputuskan bahwa empat perspektif itu
memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang, Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama
dengan sejumlah perusahaan untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar
berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja keuangan
sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan (customer,
proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam
rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan
perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga muncul
perusahaan ataupun konsultan yang membuat program kepada sekumpulan perusahaan
untuk mengikuti programnya. Dari hasil pengamatan diakui bahwa
perusahaan–perusahaan yang berada di dalamnya mengalami kemajuan karena setiap
pengmbilan kebijakan tetap mempertimbangkan perspektif tersebut.
Perkembangan implementasi BSC semakin lama semakin marak,
karena kemudian dilanjuti dengan bagaimana kemajuan misalnya seperti penentuan
pengupahan dengan sistem BSC. Bahkan para pengguna BSC menyiapkan perangkat
lunak (Software) untuk menentukan bagaimana satu bisnis dapat berhasil. Dari
perkembangan awal dapat digarisbawahi bahwa peran BSC adalah sebagai alat ukur
hasil, dimaksudkan untuk evaluasi, jauh dari
posisi strategis. Akan tetapi dari seri buku-buku dan riset yang
ditawarkan oleh Kaplan dan Norton akhirnya diakui bahwa permasalahan BSC bukan
pada level evaluasi semata, akan tetapi
harus dimulai dari penyusunan strategi. Karena dalam series
buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan dan Norton,
permasalahan BSC harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak
dari awal.
BSC menjadi
populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran hasil dan
penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan mengapa
BSC digunakan dalam organisasi.
1) BSC adalah alat komprehensif untuk memahami
pelanggan dan kebutuhannya, dan kesenjangan kinerja.
2) BSC menyiapkan logika untuk menciptakan
modal intangible dan inlektual dimana
dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3) BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan
menjadi keandalan bisnis yang fokus kepada upaya-upaya non finansial.
4) BSC memampukan karyawan memahami strategi dan
kaitan sasaran ke dalam operasi perusahaan
hari ke hari.
5) BSC memafsilitasi
umpan balik riviu kinerja dari
waktu ke waktu.
Kontribusi lain adalah dari sisi metode penyusunan
balanced scorecard. Banyak pihak yang berkontribusi mengenai hal ini, antara
lain Paul Niven, Nills-Goran Olve, Mark Graham Brown, dan sebagainya. Kembangan
lain dari balanced scorecard juga muncul untuk bidang internal audit (Mark L.
Fringo, 2002), manajemen proyek (Jack Phillips), institusi pemerintahan dan LSM
(Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack
Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya untuk menggabungkan dengan
alat manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen Gupta, 2003).
Kemudian juga bermunculan perangkat lunak komputer (software)
untuk balanced scorecard, mulai dari yang murah meriah seperti Strategy
Dialog buatan India, sampai dengan yang mahal seperti QPR buatan Finlandia.
Kabar terakhir mengatakan bahwa dua pemain aplikasi ERP terbesar yaitu SAP dan
Oracle juga sedang mengembangkan modul khusus balanced scorecard untuk
melengkapi modul aplikasi ERP mereka saat ini.
Ringkas cerita, balanced scorecard adalah
sebuah metode manajemen yang fenomenal. Mengapa balanced scorecard
menjadi begitu fenomenal ? Ada beberapa alasan. Pertama, secara eksplisit
memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada
indikator kinerja (key performance indicator atau KPI) yang harus
didefinisikan secara kuantitatif. Ini mengubah pola pikir para pimpinan
organisasi yang terbiasa dengan pola pikir secara umum dan tidak operasional,
atau sangat filosofis menjadi kuantitatif dan operasional.
Kedua, secara eksplisit memaksa para pimpinan
organisasi berpikir secara sistematik, karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect
relationships) yang harus dibangun untuk setiap strategi dan program kerja
organisasi. Hal ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang
terbiasa dengan pola pikir yang tidak berkait, tidak bisa melihat dampak dari
sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemik dan integratif.
Ketiga, secara eksplisit memaksa para pimpinan
organisasi berpikir secara komprehensif, karena harus melihat kinerja
organisasi dari berbagai perspektif sudut pandang, tidak hanya satu sudut
pandang. Ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa
dengan pola pikir yang parsial, hanya satu atau dua perspektif, menjadi lebih
komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh.
Keempat, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced
scorecard dikenal sangat simpel dan mudah untuk dipahami. Metode ini tidak
rumit dan membutuhkan suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang
membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami metode ini, bahkan menjadi
pengguna metode ini. Karena simpel, maka metode ini bisa dipahami oleh berbagai
lapisan di dalam organisasi, dengan demikian manajemen strategi organisasi
menjadi sangat baik, karena strategi dipahami oleh semua lapisan.
Kelima, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced
scorecard dikenal sangat fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk organisasi bisnis komersial maka tentu
perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi, tetapi untuk organisasi
pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, hal ini tentu tidak tepat.
Maka, kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan
dengan kebutuhan organisasi.
Keenam, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced
scorecard dapat diintegrasikan atau digabungkan dengan berbagai metode
manajemen lainnya, seperti SWOT, six sigma, manajemen risiko, dan
sebagainya. Menurut penciptanya, metode balanced scorecard dikembangkan
tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada, melainkan
melengkapinya, dan bahkan juga dimaksudkan untuk perangkai (integrator)
dari metode-metode manajemen yang sudah ada saat ini.
Sekarang, pada usia yang ke-14, sudah sampai di mana
perkembangan balanced scorecard ? Pada buku terbarunya Robert S. Kaplan dan
David P. Norton mengupas hal-hal baru berkaitan dengan balanced scorecard.
Pertama, berkaitan dengan penyelasaran strategi tingkat korporat, business
unit, dan strategi fungsional di dalam organisasi, dengan menggunakan balanced
scorecard. Kedua, mereka memperkenalkan enterprise value proposition,
versi lebih lengkap dari customer value proposition yang telah ada saat
ini. Ketiga, penggunaan balanced scorecard untuk menyelaraskan hubungan
berupa peran dan fungsi dengan pihak eksternal organisasi. Keempat, mereka
membungkus ketiga hal sebelumnya dengan kerangka total strategic alignment
model.
Akankah hal ini akan diberi label “balanced scorecard
generasi keempat” oleh para pengamat ? Mungkin saja, Sah-sah saja kan ?
Jangan-jangan Kaplan dan Norton pun tidak peduli dengan label itu.
B.
Balanced
Scorecard sebagai Strategi
Strategi korporasi
diturunkan dari Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga
kalau tujuan korporasi tidak
tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006) menjelaskan berbagai
hal penyebab kegagalan penerapan
strategi yaitu: 1) komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen
manajemen operasional lemah, 3) gagal menerima umpan balik dan
mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak
valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian
sumberdaya tidak konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada
premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC adalah strategi.
Memperhatikan BSC sebagai pengukuran
kinerja mungkin itu adalah hal yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang kemudian
diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi,
bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai
awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing
perspektif dengan strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1.
berikut.
Kaplan dan Norton (1992)
menjelaskan bahwa The balanced scorecard
puts strategy – not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi
penerapan BSC bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap
devisi satu korporasi sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran
kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal
ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya
struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai –
merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa
sebelum BSC dikenalkan telah banyak dikenal
berbagai program pengukuran yang mengarah kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global,
perbaikan terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu.
Kaplan sendiri menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu.
Akan tetapi yang membedakan BSC dengan
berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami, setidaknya
secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga
mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah
dipahami karena empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis
internal serta pembelajaran dan
pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu
dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”. Dimana
bahwa scorecard
(papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang
secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi
dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi
“mesin” penggerak semua kegiatan.
Terjemahan
visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-masing
kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4)
inisiatif. Keempat perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan
visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya satu
siklus: keuntungan perusahaan hanya
dapat tumbuh bilamana perusahaan
mempunyai posisi di benak pelanggan (share
value), sementara posisi di benak
pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal yang
sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu
dengan lainnya saling berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan
berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan bagaimana pentingnya intangible
asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif
sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi
ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang
diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang akan digunakan.
Dari hasil pengalaman
korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak memberikan manfaat
dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo (2002) melaporkan
korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB
Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells
Fargo Online Fiancial Service, dan
Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis maupun
kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi.
Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa
manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat
mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat
antara indikator kinerja dengan kinerja
perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.
Hasil yang sama juga
dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1) Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan
strategik dan tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang
hubungan dengan pelanggan; 3) Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4)
Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara fungsi
organisasi menerapkan strategi perusahaan
Perbedaan
fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard terlihat antara lain pada
pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan meningkatkan proses bisnis
yang telah ada. Sementara pendekatan Balanced scorecard akan selalu
mengindentifikasi keseluruhan proses yang baru, dimana perusahaan
harus memenuhi tujuan keuangan dan pelanggannya. Sasaran strategic dari
perspektif proses bisnis ini adalah organizational capital seperti
meningkatnya kualitas proses layanan kepada customer, komputerisasi proses
layanan kepada customer, dan penerapan insfrastruktur teknologi yang memudahkan
pelayanan kepada customer. Keempat, perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan ( learning and Growth perspective). Perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang harus
dibangun perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan
jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital.
Sebagai contoh peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff perusahaan.
Gambaran
mengenai empat
perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam diagram yang
dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat.
Dalam diagram tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam
perspektif yang berbeda. Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara
eksplisit hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara pengukuran outcome dan
pemicu kinerja dari outcome tersebut.
Proses
pembuatan
Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan energi yang besar dan
diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian visi dan misi
perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome measure)
dan pemicu kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan
dengan setiap unit bisnis dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan
Balance scorecard secara manual mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama
dalam konsistensi dan komunikasi antara top, middle, lower management.
Ditinjau dari
sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua tahapan
penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced
scorecard awalnya berada pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat
ukur kinerja secara komprehensif bagi para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.
Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para
eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard pada tahapan yang lebih
tinggi yaitu perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard
tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem. Dalam
kajian manajemen strategik, pengukuran hasil (performace) memegang peran sangat penting, karena ini tidak saja
berkaitan dengan penentuan keberhasilan akan tetapi menjadi ukuran apakah
strategi berhasil atau tidak. Artinya
hasil akan dijadikan ukuran apakah strategi berjalan baik atau tidak; bila
organisasi tidak dapat mencapai hasil maka diagnosa pertama menunjukkan bahwa
strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai tradisionil, Whelen (2006)
menunjukkan bahwa ROI (Return Investment)
mengandung berbagai kelemahan.
Kelemahan ini memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif
yang dapat digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National Quality
yang setiap tahunnya memberikan
penghargaan melalui acara yang sangat bergengsi. Bagaimanapun program
seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis. Selama ini program tersebut
diyakini telah meningkatkan daya
saing bisnis Amerika di pasar global, karena programnya telah
meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif bisnis yang dikembangkan dalam
program ini adalah fokus kepada hasil pelanggan, hasil barang dan jasa, hasil
keuangan dan pasar, hasil sumberdaya manusia, ketertarikan hasil
organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan dan
tatakelola serta
tanggungjawab sosial. Dari keenam fokus yang ada di atas, selanjutnya
Program ini mendeskripsikan sebelas komponen yang harus
ditunjukkan agar perusahaan dapat
memberikan nilai.
Ketika
Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini tidak henti-hentinya
memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian
tujuan. Oleh karena itu perspektif yang
disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut dicatat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang
menjelaskan bahwa:
Memahami bahwa BSC adalah bagian
dari proses yang dimulai dengan strategi. Karena itu disarankan untuk
menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari
awal. Keterlibatan manajemen senior sangat
kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan
keberhasilan organisasi menerapkan BSC.
Dalam
bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-masing perspektif haruslah
sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu
rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta
strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan
menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk
mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa
BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari
strategi karena memberikan umpan
balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh.
Tidak
mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu perusahaan,
karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat perspektif yang
dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat
perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi
yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal
ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena penyusun
strategi akan dapat menentukan.
Hendrick
(2004) menunjukkan kendala penerapan BSC
(1) sedikit pemeriksaan tentang faktor yang berkaitan
dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan bahwa dengan
pengadopsian BSC akan berdampak kepada
kinerja keuangan. Selanjutnya ia
melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan kepemimpinan senior; mengartikulasi visi dan
strategi perusahaan; mengidentifikasi
kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil; terjemahkan papan nilai
kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti
(jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan penganggaran yang tepat,
Teknologi Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa. Melihat BSC sebagai proses kontinius,
membutuhkan perbaikan, penilaian ulang,
dan pemutakhiran dan percaya
bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
Komitmen
pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan adanya komitmen itulah
organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen
adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun
satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi
industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap
diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian
tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan
sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat
dalam satu perencanaan baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
Artinya penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan
sumberdaya yang jelas terhadap upaya
pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya maka tidak akan ada
jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang telah disusun.
Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena satu
perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.
C.
Balanced
Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja perusahaan yang modern dengan mempertimbangan empat
perspektif (yang saling berhubungan) yang merupakan penerjemahan strategi dan
tujuan yang diingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang
kemudian diukur dan dimonitor secara berkelanjutan
Adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke
information
competition, sehingga mengubah alat ukur atau acuan yang dipakai oleh
perusahaan untuk mengukur kinerjanya. Perubahan Teknologi à Persaingan ketat di dunia bisnis à Mendorong kebutuhan akan Informasi à Mengakibatkan persaingan Informasi à Untuk membantu ambil keputusan.
Financial
|
Customer
|
Internal Bussiness
|
Learning
& Growth
|
ROCE
|
Customer Loyalty
|
On Time Delivery
|
Process Quality
|
Process Cycle Time
|
Employee Skills
|
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
|
Perspektif Pelanggan dapat
diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996) Pengukuran Pangsa Pasar; Pengukuran
Customer Retention; Pengukuran Customer Acquisition; Pengukuran Customer
Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.
Perspektif Bisnis Internal
dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses Inovasi (penelitian
dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses Operasi
(menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari
barang/jasa yang diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap
efisiensi waktu yang dibutuhkan (time measurements)
Processing Time
Manufacturing Cycle Efectiveness =
----------------------
Throughput Time
Pengukuran terhadap kualitas
proses produksi (quality process
measurements). Menditeksi
adanya tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk bagus
yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan (waste), bahan sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya angka pengembalian dari konsumen dan lain-lain. Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses produksi (process cost measurements). Dalam manufaktur maju,
pengukuran atas biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk digunakan ABC
system.
Ketiga poin di atas secara
bersama-sama (simultan) akan menghasilkan
tiga parameter yang penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses
bisnis internal (perhitungan biaya yang tepat dimana tidak ada pemborosan biaya
dari aktivitas yang tidak bernilai tambah dan kualitas produk yang
dihasilkan baik akan menghasilkan proses
bisnis internal yang baik). Pelayanan Purna Jual (akan mempengaruhi tingkat
kepuasan konsumen). Aktivitas-aktivitas diantaranya : garansi, reparasi,
perlakuan terhadap produk cacat atau rusak, pelayanan dalam komplain dan lain-lain.
Betapa pentingnya untuk terus memperhatikan karyawan,
memantau kesejahteraannya, meningkatkan pengetahuan karyawan yang pada
gilirannya akan meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil ketiga perspektif diatasnya. Pengukur
Kemampuan Karyawan dengan 3 aspek Pengukuran kepuasan karyawan; Tingkat
keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan; Pengakuan
terhadap hasil kerja karyawan; Kemudahan dalam mendapatkan
informasi sehingga dapat bekerja sebaik mungkin; Keaktifan dan kreativitas
dalam melakukan pekerjaan; Tingkat dukungan yang
diberikan kepada karyawan; Pengukuran perputaran
karyawan dalam perusahaan; Pengukuran produktivitas
karyawan; Gaji yang diperoleh dan Rasio perbandingan antara
konpensasi yang diperoleh karyawan dengan jumlah karyawan yang ada di
perusahaan.
Kualitas dan produktifitas karyawan dipengaruhi oleh akses
terhadap system informasi yang dimiliki perusahaan (persentase ketersediaan
informasi). Semakin mudah informasi diperoleh maka karyawan akan memiliki
kenerja yang semakin baik. Informasi yang dibutuhkan
karyawan seperti informasi pelanggannya, biaya produksi dan lain-lain.
Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus
tetapi juga harus diikuti dengan adanya motivasi karyawan untuk mau
meningkatkan kinerjanya. Pengukuran motivasi karyawan dapat dinilai melalui
dimensi; pengukuran terhadap sarana yang diberikan kepada perusahaan
dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan peningkatan kinerja
karyawan; pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam organisasi.
D.
Implementasi
Scorecard
Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang
dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun
perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini
menyangkut banyak hal, akan tetapi
karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu organisasi dapat
berkelanjutan (sustainable). Apa yang
harus dicatat dari berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk
mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC
sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal
ini merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada umumnya.
1.
Proses Penyusunan Balanced Scorecard
Bangunan Balanced Scorecard
dimulai dari visi perusahaan. Visi di sini adalah situasi masa depan
perusahaan yang diinginkan. Kemudian visi ini diuraikan dalam
perspektif-perspektif pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut
ditetapkan tujuan-tujuan strategis yang lebih spesifik yang merupakan
penjabaran dari visi perusahaan. Atas dasar tujuan strategis ini, perusahaan
kemudian menetapkan faktor-faktor keberhasilan kritikal agar visi perusahaan
bisa diwujudkan. Setelah penetapan factor-faktor keberhasilan kritikal ini,
kemudian ditentukan ukuran-ukuran strategis yang mencerminkan strategi
perusahaan. Terakhir, perusahaan menyiapkan langkah-langkah spesifik yang akan
dilakukan pada masa mendatang agar tercapai tujuan-tujuan strategis yang
merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan. Gambar 2.1 berikut memberikan
gambaran ringkas bagaimana sebuah Balanced Scorecard
Financial
|
Costumers
|
Internal business
|
Learning
& Growth
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Langkah-langkah spesifik untuk mencapai tujuan
|
Visi Atau situasi masa
depan perusahaan yang diinginkan.
|
Perspektif
|
Tujuan strategic Spesifik
|
Faktor
Keberhasilan Kritikal
|
Ukuran srategi yang
mencerminkan strategi perusahaan
|
Kaplan menyarankan untuk
menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil NAM&R dalam membangun scorecard-nya
sehingga menjadi organisasi yang fokus terhadap strategi dan leading dalam
industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
a.
Assess the competitive environment.
b.
Learn about customer preferences and segments.
c.
Develop a strategy to generate breakthrough financial performance.
d.
Articulate the balance between growth and productivity.
e.
Select the targeted customer segments.
f.
Determine the value preposition for the targeted customers.
g.
Identify the critical internal business processes to deliver the
value proposition. to customers and for financial cost and productivity
objectives.
h. Develop
the skills, competencies, motivation, databases,
and technology required to excel at internal processes and customer value delivery.
2. Proses Penerapan Balanced Scorecard
Tahap ini membutuhkan pengembangan sistem dan IT (Information
Technology) untuk mengimbangi perubahan lingkungan bisnis yang terus
terjadi. Pengendalian strategis mengantarkan organisasi untuk terus belajar menyempurnakan
ukuran-ukuran agar selalu merefleksikan strategi perusahaan. Proses penerapan ini dapat
dilihat secara ringkas pada Gambar 2.2 berikut.
Pengembangan
Strategi
|
Manajemen Control System
|
Pengembangan
system dan IT
|
Pembelajaran organisasi
|
B
S C
|
Model Balanced Scorecard hanya
memberikan perusahaan sebuah struktur yang menyatakan visi dan strategi
perusahaan ke dalam sasaran dan ukuran yang nyata. Perusahaan masih menghadapi
tantangan untuk membangun sebuah sistem serta prosedur yang mampu mengumpulkan
informasi sekaligus mengkomunikasikannya kepada karyawan dan pihak-pihak yang
memerlukan. Untuk menciptakan perubahan yang
diinginkan dari sistem pengukuran kinerja ini, informasi harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
Presented in a communicative manner – in numbers, figures,
diagrams, or multimedia, which facilitate an overview.
b.
Presented in a user-friendly environment – simple, familiar
interface.
c.
Easy to access – the person who needs the information must be able
to obtain it wherever he or she is.
d. Collected
and measured in a cost-effective manner – measures of “soft” data often require
new instruments of measurement. The cost of measurement must not exceed the
utility of the measures.
3. Karakteristik Ukuran untuk Balanced Scorecard
Banyak perusahaan yang telah mengklaim bahwa mereka telah
menerapkan Balanced Scorecard karena telah menggunakan campuran
ukuran keuangan dan nonkeuangan. Padahal pada kenyataannya mereka baru
menggunakan ukuran yang lebih seimbang dibandingkan dengan perusahaan yang
hanya menggunakan ukuran finansial semata-mata dalam mengukur kinerjanya. Hal
ini dikarenakan mereka menggunakan ukuran yang sifatnya tidak mendukung
strategi perusahaan.
Balanced Scorecard yang
baik mampu merefleksikan strategi perusahaan. Cara yang paling tepat untuk
untuk mengujinya adalah apakah kita bisa memahami strategi perusahaan dengan
hanya melihat scorecard tersebut. Strategy scorecard menyediakan
cara yang logis serta komprehensif untuk menjelaskan strategi perusahaan. Scorecard
ini dengan jelas mengkomunikasikan keluaran yang diinginkan perusahaan
sekaligus hipotesis mengenai bagaimana keluaran tersebut dapat dicapai.
4.
Penerapan Balanced Scorecard yang Berhasil
Walaupun tidak ada standar yang seragam untuk mengevaluasi
penyusunan atau penerapan suatu Balanced Scorecard, Olve et al.
telah mengidentifikasi keadaan yang menunjukkan penerapan Balanced Scorecard yang berhasil sebagai berikut:
a. Support and Participation
b. Priority
c. Composition of the Project Group
d. Coverage of the Project
e. Basing the Scorecard on the Company’s Strategy
f.
Clearly
and Consistently Defined Measures
g. Balance and Cause-and-Effect Relationship
between Measures
h. Setting Goals
i.
Relationship
to Existing Control Systems
j.
Ensuring
the Feasibility of Measures and Measurements
k. IT-based Presentation and Support Systems
l.
Training
and Information
m. Development of Learning Organization
n. Following up the Concept
Hubungan antara tujuan strategis perusahaan dengan ukuran
di dalam scorecard-nya merupakan suatu hipotesis hubungan sebab-akibat,
yang karenanya manakala tidak lagi terdapat korelasi antara ukuran dan tujuan
strategis, maka strategi perusahaan harus kembali ditinjau sesuai kebutuhan,
seperti yang disimpulkan oleh Olve et. al.: “…. A balanced scorecard
should not be regarded as static product but as a living model of a company.”
5.
Menggunakan Balanced Scorecard untuk
Mengukur Kinerja
Setelah membangun model scorecard-nya,
kemudian menyiapkan program aplikasi untuk operasionalisasi ukuran-ukuran yang
ada pada scorecard-nya. Program yang digunakan adalah program Oracle yang
didisain secara khusus untuk penerapan Balanced Scorecard. Program
aplikasi ini memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi pengelolaan data; keluaran yang dihasilkan dari fungsi ini adalah
bentuk-bentuk laporan baik berupa tabel, grafik, maupun diagram. Dan fungsi
pemantauan. Keluaran yang dihasilkan adalah laporan perkembangan kinerja
perusahaan pada periode tertentu. Manajemen dapat mengetahui sampai tingkat
mana pencapaian kinerja perusahaan untuk periode yang diinginkan setiap saat.
Umpan balik dari fungsi ini adalah timbulnya perhatian manajemen untuk
peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Pengelolaan data Balanced Scorecard dilakukan
oleh bagian QAD dengan rincian pekerjaan sebagai berikut 1) Melakukan
pengumpulan data Balanced Scorecard, 2) Pembuatan laporan Balanced Scorecard,
3) Mengirimkan laporan Balanced Scorecard ke PT Y (holding company);
4) Menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal Computer)
manajemen dalam bentuk database; 5) Mengarsipkan laporan Balanced Scorecard.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan
data Balanced Scorecard telah dibuat dokumen SOP (Standard Operating Procedures) yang
terdiri dari 11 dokumen SOP. SOP-SOP yang disusun merupakan serangkaian
prosedur yang harus dijalani untuk menjamin validitas data yang akan menjadi
masukan bagi pengukuran serta laporan kinerja. Atas dasar SOP-SOP yang
ada, dapat dilihat bahwa implementasi Balanced Scorecard terdiri dari 3 (tiga) tahapan utama; (1) tahap
pengumpulan data Balanced Scorecard, (2) tahap pelaporan, dan (3) tahap
monitoring.
Pada tahap pengumpulan data,
masing-masing supervisor menyiapkan data-data yang diperlukan oleh kunci
pengukuran (KPI) bagiannya. Setelah data-data tersebut disiapkan, para
supervisor tersebut kemudian mengoreksi untuk kemudian menyerahkan yang telah
ditentukan beserta data-data pendukungnya kepada manajer yang menjadi atasan
langsungnya. Laporan pengumpulan data ini harus sudah diserahkan oleh para
supervisor kepada manajer-manajer masing-masing paling lambat tanggal 1 (satu)
setiap bulannya.
Setelah menerima dan memeriksa data dari
para supervisor yang menjadi tanggung jawabnya, manajer terkait kemudian
menyampaikan data tersebut beserta dokumen pendukungnya kepada bagian QAD untuk
diolah ke dalam format Balanced Scorecard. Oleh bagian QAD data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan
jaminan atas validitas dan kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input
ke loader Balanced Scorecard dan ke dalam form laporan Balanced
Scorecard yang telah distandarkan. Setelah mengoreksi hasil input baik
pada loader Balanced Scorecard maupun form laporan Balanced
Scorecard, bagian QAD mengirimkan laporan Balanced Scorecard kepada
Direktur Utama.
Bagian QAD juga
menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal
Computer) manajemen dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak
lanjut dari apa-apa yang telah dicapai perusahaan selama periode yang
bersangkutan. Setelah data masukan ini diproses, aplikasi Balanced Scorecard
perusahaan akan menyajikan pencapaian kinerja perusahaan dibandingkan dengan
target atau anggaran pada periode atau waktu yang terkait.
Ada beberapa
prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam menindaklanjuti
laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu: 1) Melakukan koreksi dengan cara
membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang ditampilkan pada
masing-masing KPI Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan terhadap
pelaksanaan kerja dari masing-masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja
tersebut dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan atau tidak; 2) Mencari penyebab sehingga pelaksanaan kerja
yang dilakukan tidak dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan sebagai
upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kerja periode yang akan datang; 3) Mencari
cara agar pelaksanaan kerja yang dilakukan pada periode yang akan datang dapat
mencapai rencana kerja yang ditentukan Melakukan koordinasi dengan
masing-masing bagian di bawahnya terhadap pelaksanaan kerja periode yang akan
datang untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ditentukan.
Program
pengembangan Balanced Scorecard terus dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan dengan memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1) Tujuan jangka pendek.
Direncanakan
sebelum tahun 2013 (pertengahan 2013), implementasi Balanced Scorecard dapat
sampai pada level supervisor, sehingga struktur scorecard yang ada
sekarang akan diperluas untuk masing-masing supervisor.
2) Tujuan jangka panjang.
Setelah tujuan pada
angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan diarahkan
pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya
diharapkan seluruh bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan kerangka Balanced Scorecard perusahaan.
Pengalaman Kaplan dan Norton selama bertahun-tahun
bekerja dengan Balanced Scorecard menunjukkan bahwa kebanyakan
perusahaan membutuhkan 20-25 ukuran dalam scorecard-nya dengan sebaran
pada masing-masing perspektif sebagai berikut:
Perspektif
|
Jumlah Ukuran
|
Keuangan
|
5 Ukuran
Strategi (22 %)
|
Pelanggan
|
5 Ukuran
Strategi (22%)
|
Bisnis Internal
|
10 Ukuran Strategi (34%)
|
Pembelajaran dan Pengembangan
|
5 Ukuran
Strategi (22%)
|
Selain pola
distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton juga
menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total
jumlah tersebut merupakan ukuran yang bersifat non finansial.
Dalam penelitian Nomura Research Institute
(NRI) Papers No. 45, 1 April 2002 dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa
tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance scorecard (BSC) terhadap
lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya, NRI
dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan
yang menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut
merasakan bahwa balanced scorecard memang memiliki keunggulan yang
dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:
1.
Balanced scorecard dapat
digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara sasaran-sasaran
jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.
Dapat menciptakan
pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator
finansial.
3.
Mengurangi
keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4.
Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan
siklus hipotesis verifikasi.
5.
Memperbaiki platform
strategi komunikasi secara umum
dalam organisasi yang mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
NRI mengemukakan
salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang keberhasilan penerapan Balanced
scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja perusahaan seperti yang
dialami oleh perusahaan Kansai Electric
Power CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di Jepang yang memproduksi dan
mensuplai kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini memperkenalkan cara kerja
baru yang disebut "Linked Contract"
yang kinerjanya diukur dengan Balanced Scorecard.
Murphy and Russel
(2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat
menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni
suatu strategi dimana perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan
para pelanggan untuk menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk
perusahaan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa lebih dari setengah
proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah apapun bagi perusahaan, dan
50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam penerapannya
di dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.
R. Abdul Haris
dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan bahwa kinerja BUMD
tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya
(pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan
aktiva/ strategi investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif
yang perlu dibenahi yaitu: perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas
produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif proses bisnis internal
yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan
kebutuhan karyawan.
E.
Keunggulan
Balanced Scorecard
Dibandingkan
dengan pengukuran kinerja tradisional, maka balanced scorecard memiliki
beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):
1. Komprehensif.
Balanced
scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja,
tetapi juga aspek kualitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer,
inovasi dan market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat
perspektif menyediakan keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba
pada ukuran internal seperti pengembangan kurikulum baru. Keseimbangan ini
menunjukkan trade off yang dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran
tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off
di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif. Balanced
scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.
2. Adaptif dan Responsif terhadap
Perubahan Lingkungan.
Pengukuran
evaluasi tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara
meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan,
learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah
preferensinya.
3. Fokus terhadap tujuan.
Adapun
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara
Gunawan, 2000):Perspektif Keuangan ; Perspektif Customer. Terwujudnya tanggung
jawab sosial sehingga pemerintah dan institusi pendidikan dikenal secara luas
akrab dengan lingkungan ;Perspektif Proses Internal. Terwujudnya pelipatgandaan
kinerja seluruh personil sekolah. ; Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Terwujudnya keunggulan jangka penjang dunia pendidikan melalui pengembangan dan
pemfokusan potensi sumber daya manusia.
BAB III
PENUTUP
Konsep
balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian manajemen yang
diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi yang
kian liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin
tinggi menjadi hal yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya
eksistensi akan tergilas oleh keperkasaan pihak kompetitor.
Aplikasi
Balance Scorecard dimulai
dari akarnya yaitu
pembelajaran dan pertumbuhan, yang memberikan kontribusi
pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya
perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi
keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi
target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung
kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang memungkinkan
belajar dan tumbuh khususnya berasal dari tiga
sumber, yaitu
pegawai, sistem dan penyetaraan organisasi.
Strategi
untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada orang, sistem dan proses yang membangun
kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan ukuran
untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus
merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri
dari kepuasan pegawai, kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil kedalam pegawai, sistem
dan penyetaraan/keselarasan
organisasi. Para pendorong hasil ini sekarang agak generik dan kurang
berkembang daripada ketiga perspektif Balance Scorecard lainnya. Balanced scoredcard
telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif,
generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir
generasi ketiga intangible asset readiness.
1. Balanced
scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Dapat
menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator
finansial.
3. Mengurangi
keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4. Mempromosikan
proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis
verifikasi.
5. Memperbaiki
platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan keterkaitan
antara pimpinan dan bawahan.
6.
Di
antara pengadopsian Scorecard
organisasi harus membuat suatu kepurtusan yang mana perspektif Balanced Scorecard yang akan digunakan. Kaplan
dan Norton telah mendesain Scorecard tersebut dengan perusahaaan yang berorientasi
profit dengan mengembangkan empat perspektif yang luas yaitu: perspektif
keuangan, pelanggan, internal proses, dan pembelajaran dan Pertumbuhan
karyawan.
7.
Banyak
organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi overarching pada tingkat yang paling
atas, kemudian konsumen pada tingkat kedua.
8.
Sebelum
mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced Scorecard
seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-banyaknya latar
belakang organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik, legal,
pelimpahan wewenang, dan sebagainya.
9.
Strategik map merupakan selembar dokumen yang
menjelaskan secara tepat dari artikulasinya dan secara grafik.
10.
Analisis
dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup baik untuk
membentuk strategik map.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan,
Barbara, 2000, Menilai Kinerja dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No
145, September, Halaman 36-40.
Hansen dan
Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing,
Ohio.
Haris, R. Abdul,
2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja BUMD
Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi
Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.
Julianto,
Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari,
Halaman 34-35.
Kaplan, Robert S
dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into
Action, Boston: Havard Business School Press.
Morisawa, Toru,
2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard
Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi (1999), Sistem
Perencanaan dan Pengendalian Manajemen : Sistem Pelipatganda Kinerja Perusahaan,
Edisi satu, Yogyakarta : Adiya Media
Mulyadi dan
Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen,
Yogyakarta: Aditya Media.
Mulyadi, 1999, Strategic
Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari
Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
Vincent
Gaspersz; 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi
Balanced Scorecard dengan
Six Sigma, Jakarta: Gramedia.