POLIGAMI
MENYELAMATKAN PENDIDIKAN DUAFA
A.
Poligami
1.
Pengertian
Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan
penggalan dari kata “poli” atau “polus”
yang artinya banyak, dan kata “gamein”
atau “gamos”, yang berarti kawin atau
perkawinan.[1] Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang
banyak, dan bisa jadi dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah
perkawinan antara seorang laki- laki dengan lebih dari seorang wanita dalam
waktu yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ﺕﺎﺟﻭﺰﻟﺍ ﺩﺪﻌﺗ
berarti suatu perkawinan yang banyak.[2] Poligami secara bahasa adalah sistem perkawinan yang
salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang
bersamaan. Secara bahasa, poligami yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa
digunakan untuk seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri. Demikian
pula, poligami juga bisa digunakan untuk seorang wanita yang memiliki lebih
dari satu suami.
Sedangkan poligami secara istilah yaitu seorang laki-laki
beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama.[3] Jadi nampaknya telah terjadi penyempitan makna poligami.
Poligami yang semula bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyempit untuk
laki-laki saja. Boleh jadi hal ini karena secara fitrah manusia bisa menerima
atau paling tidak bisa memberikan toleransi pada praktek poligami (atau
poligini), dengan syarat-syarat cukup ketat, tetapi tidak pada poligini
(poliandri).
Berdasarkan makna tersebut dipahami bahwa poligami berarti perkawinan yang banyak. Maksudnya,
poligami adalah sistem
perkawinan yang laki-laki memiliki atau mengawini beberapa perempuan
dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah
monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.[4]
Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari
empat dan bahkan lebih dari sembilan isteri. Tentunya terjadinya perbedaan
seperti itu karena perbedaan penafsiran terhadap surat al-Nisa/4:3.
Konsep awal poligami sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad
s.a.w. pada awal masa Islam bukanlah suatu bentuk perkawinan yang mencitrakan
dominasi dan hegemoni lelaki terhadap perempuan, apalagi sampai ke tingkat
dehumanisasi perempuan, melainkan bentuk perkawinan yang memiliki tujuan yang
sama seperti perkawinan lainnya (monogami).[5] Bahkan dalam perkawinan poligami ini terkandung tujuan
lain yang sangat mulia, sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran (Q.S.4:3,
al-Nisa), yaitu
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3)[6]
Ayat di atas adalah satu-satunya ayat yang membicarakan
masalah poligami dalam Islam dan membicarakan hukum-hukum yang berkenaan dengan
perempuan.[7]
Ayat tersebut menjelaskan Islam memolehkan laki-laki untuk menikahi perempuan
lebih dari satu. Dan Islam memberikan batasan sampai empat.[8]
Tujuannya antara lain untuk penegakan
keadilan di antara isteri-isteri, dan perlindungan hak anak-anak yatim dan perempuan,
baik perlindungan yang menyangkut harta maupun pribadinya dari perlakuan
kesewenang-wenangan yang sudah mentradisi pada masa itu. Sebelumnya, mereka
tidak mendapat hak waris, begitu pula ketika mereka dikawinkan maka hak mahar
dikuasai oleh walinya, atau bahkan si wali sama sekali tidak membolehkan anak
yatim yang ada dalam pemeliharaannya, kawin dengan lelaki lain, agar ia dapat
terus menguasai hartanya.[9]
Beristeri lebih dari seorang atau istilah popularnya
poligami, telah dikenal luas dalam masyarakat di seluruh dunia. Dari generasi
ke generasi, praktek poligami terdapat dalam berbagai lingkungan komunitas,
dilakukan oleh semua bangsa di barat dan di timur. Perkawinan dengan isteri lebih dari satu ini telah berlangsung lama bahkan jauh sebelum datang masa Islam. Jumlah isteri yang dikawini pun sesukanya, tidak
mengenal batasan. Sejarah para
Nabi menunjukkan kepada kita bahwa ada Nabi-Nabi yang memiliki banyak istri
seperti Nabi Daud, A.s., yang menikahi 99 istri, Nabi Sulaiman memiliki 700
istri dan 300 selir.[10]
Kehadiran Islam memberikan pengaturan dan batasan
kebolehan melakukan poligami maksimal empat isteri. Untuk pelaksanaannya pun
ditetapkan persyaratan mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Dengan
demikian, tudingan terhadap Islam bahwa Islam yang mula-mula memperkenalkan
praktek perkawinan poligami, sungguh tidak beralasan dan berlawanan dengan
fakta. Tradisi
perkawinan poligami telah
ada jauh sebelum Islam datang,
terutama dilakukan di kalangan
raja-raja, yang dalam pandangan rakyatnya dianggap sebagai
simbol ketuhanan, oleh karena itu
mereka dipandang suci. Poligami boleh dilakukan
oleh
mereka dengan tidak mengenal batas jumlah isteri yang dikawininya. Gereja telah menjalankan praktek poligami
sampai abad ke 17. [11]
Dalam agama Hindu, poligami telah
dilakukan sejak dahulu kala. Berkenaan
dengan poligami yang dilakukan oleh penganut agama Hindu di
Indonesia, Ahmad H. Syerif[12]
menjelaskan bahwa di kalangan orang beragama Hindu berlaku ketentuan, bahwa seorang
laki-laki hanya dibolehkan
beristeri seorang dari
kastanya sendiri,
dan seorang
dari masing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri. Dengan demikian, seorang
yang berkasta Brahmana dapat beristeri empat orang. Yakni
beristeri seorang dari sesama
kastanya, ditambah
tiga orang isteri dari kasta-kasta yang berada di bawah kastanya.
Selanjutnya seorang Ksatria dapat beristeri tiga orang, dan begitu seterusnya berkurang
masing-masing seorang isteri pada masing-masing tingkatan kasta di bawahnya. Namun peraturan
ini sering dilanggar oleh para penguasa. Mereka sering mempunyai tiga, empat, atau lima orang isteri. Bahkan di antara para raja tidak jarang yang mempunyai
80 isteri, bahkan sampai 100
isteri. Dalam agama Hindu tidak ada batasan tertentu
mengenai jumlah
perempuan yang boleh dikawininya.
Sikap masyarakat merendahkan martabat perempuan bahkan
memperlakukannya seperti binatang atau harta benda, yakni dapat diperjual-belikan dan diwariskan
terjadi di kalangan bangsa yang dikenal berperadaban tinggi, yaitu bangsa Yunani. Mereka
dalam perkawinannya melakukan
poligami. Orang-orang Athena misalnya, membolehkan
kaum lelaki mengawini sebanyak-banyaknya perempuan yang disukainya. Di sisi lain, orang Sparta melakukan poliandri,
membolehkan perempuan mengawini lelaki sesukanya. [13]
Perkawinan di kalangan orang Yahudi juga menganut poligami. Dalam
perkawinan mereka membolehkan lelaki mengawini perempuan dengan jumlah tanpa batas tertentu.
Sementara di kalangan orang Kristen, poligami dilakukan selain tanpa batas juga disertai
perlakuan diskriminatif antara isteri pertama dengan isteri yang lain.
Perempuan-perempuan yang dimadu tidak mendapatkan hak dan
jaminan yang layak sebagai isteri,
seperti yang diterima
isteri pertama.
Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, poligami sudah dikenal di
samping bentuk perkawinan lainnya dan dilaksanakan dengan jumlah isteri yang tidak terbatas.
Jadi poligami, yakni seorang laki-laki memiliki banyak istri, atau seorang
istri mempunyai banyak suami, telah terjadi sejak jaman dahulu, merupakan
bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang perkawinan yang diperbaiki oleh
Nabi Muhammad SAW. Stigma poligami terjadi akibat pengaruh sejarah perkawinan
masyarakat pra-Islam, pola budaya kehidupan patriarkhi dalam masyarakat, dan pemahaman yang keliru terhadap
sumber ajaran agama (Islam), karena pengaruh pola budaya tersebut.[14]
2.
Ketentuan
Poligami dalam Hukum Islam
Islam sebagai agama wahyu mendasarkan setiap hukum pada
firman Allah (al-Quran) dan sabda Nabi Muhammad Saw. (hadis). Dalam al-Qur’an
ada dua ayat yang menjadi dasar utama dalam membicarakan tentang poligami, baik
yang membolehkan maupun yang tidak membolehkannya. Ayat tersebut terdapat dalam
Surah al-Nisa/4: 3 dan 129.[15] Atas dasar al-Quran dan
hadis, para ulama membolehkan poligami dengan persyaratan tertentu. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, Islam
mewajibkan seorang suami untuk melakukan monogami, yakni menikahi seorang istri
saja. Di saat yang bersamaan Islam dengan tegas melarang praktik perzinaan
tanpa prasarat apa pun. Segala bentuk perzinaan dilarang dalam Islam, bahkan
hal-hal yang mengarah ke perzinaan juga dilarang (QS. al-Isra’ (17): 32).
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.[16]
Al-Quran surat al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:
Artinya
“Dan
jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[17]
Berdasarkan ayat ini sebagian besar ulama memahami bahwa
poligami boleh dilakukan dengan syarat suami mampu bersikap adil dan dibatasi
maksimal empat isteri. [18]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirumuskan lebih spesifik,
bahwa "perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".[19]
Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan merupakan penjelasan dari ungkapan lahir batin yang terdapat
dalam undang-undang yang mengandung artin bahwa akan perkawinan itu bukan
semata perjanjian yang bersifat perdata.[20]
Kalimat tersebut diambil dari firman Allah dalam al-Quran
surat al-Nisa (4:21)
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(An-Nisa: 21).[21]
Perjanjian yang kokoh itu, menurut pendapat
sebagian Mufasir (ulama ahli tafsir al-Quran) maksudnya adalah perjanjian yang telah diambil Allah
dari para suami, untuk
memperlakukan istri dengan baik.[22]
Sesuai dengan maksud ayat dalam
al-Quran surat al-Baqarah (2: 231):
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. [23]
Ayat di atas memberikan penegasan bahwa isteri harus diperlakukan dengan baik, tetapi jika tidak hendaknya
diceraikan dengan baik pula.
Hanya ada dua pilihan bagi suami yaitu pertama:
hidup bersama isteri dan memperlakukannya dengan baik atau kedua: menceraikannya
dengan cara yang baik pula. Tidak ada pilihan
lain. Karena itu, hidup bersama isteri
dengan menyengsarakannya, baik secara lahir maupun batin, dibenci oleh Allah. [24]
Pasal 2 KHI yang memuat ungkapan kalimat miitsaaqan gholiidhan mempertegas kalimat "ikatan lahir
batin" yang terdapat dalam Pasal 1 UUP No.1/1974.
Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa perkawinan bukan merupakan perjanjian yang semata-mata bersifat keperdataan saja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 KUH-Perdata, dan juga seperti perikatan-perikatan yang lain dalam keperdataan tetapi perkawinan merupakan ikatan
atau perjanjian
yang bersifat
lahir dan
batin. Dengan demikian, perkawinan itu
menentramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari yang dilarang
Allah dan untuk mendapatkan kasih saying suami-istri yang halal.[25]
Dalam kaitan dengan aspek batin
inilah, maka seseorang yang bermaksud
melaksanakan poligami harus mempertimbangkan dengan matang
dan bertanya
pada nuraninya, apakah dirinya
mampu berlaku adil di antara isteri-isterinya dan anak-anaknya,
apakah ia mampu
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual
dan material mereka. Pertimbangan tidak hanya bersandar pada kekayaan
material dan kekuasaan yang
menunjukkan keperkasaan (superioritas)
dan dominasi lelaki terhadap perempuan, Begitu pun pertimbangan alasan memilih
poligami sebagai penyaluran hasrat seksual
secara halal daripada memilih penyaluran syahwat melalui perbuatan zina, merupakan
solusi yang tidak tepat, malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi
kaum lelaki dalam melampiaskan keserakahan
libidonya, sekaligus merendahkan martabat kaum perempuan, dengan
menempatkannya sebagai objek, dan
bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum lelaki dalam perkawinan.
Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia, poligami
dibolehkan dengan alasan-alasan sebagimana dijelaskan dalam pasal 4 (2) UU
Perkawinan, yakni (1) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
(2) istri mendapat catat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri
tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syaratnya adalah (1) ada izin istri;
(b) ada kepastian mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak; dan
(3) ada jaminan suami berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.[26]
Poligami yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad s.a.w.
bertujuan mulia. Ragam perkawinan ini bertujuan, antara lain, menghindarkan
dehumanisasi perempuan, yakni dengan melindungi hak-hak mereka sebagai manusia
(terutama kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan).
Perlindungan terhadap mereka, dalam perkawinan poligami, dilakukan dengan
menegakkan keadilan sebagai
essensi ajaran Islam, dan kesetaraan jender (gender equality) antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana
diungkapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, yang
sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak
melaksanakan perkawinan tersebut.[27]
Selain ayat di atas, para ulama juga mendasari kajiannya
tentang poligami dengan QS. al-Nisa’: 129 yang artinya: ”Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isterimu, walaupun kamu
sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”.[28] Dari ayat ini, dipahami bahwa tuntutan kemampuan berbuat
adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan
diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim. Jadi
perlu berusaha untuk berbuat adil, meskipun manusia tidak akan mampu, lebih-lebih
kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang non-materi. Karena itu,
Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain
menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus
ada upaya maksimal
dari seorang suami untuk
dapat berbuat adil
kepada para isterinya. Hal ini
dibuktikan dengan beberapa perbuatan baik dalam safar, bermalam, dan memenuhi
kebutuhan lainnya sebagaimana diisyarahkan dalam beberapa hadits.[29]
Dari Aisyah r.a. bahwasanya dia ditanya oleh Urwah
mengenai firman Allah SWT: “Dan jika kamu
khawatir
tidak dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim…”
(an-Nisa’:3) kemudian
Aisyah mengatakan kepada Urwah : Wahai
putra saudara
perempuanku ! anak perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat itu
berada dalam asuhan walinya yang mengurus hartanya, kemudian
wali tersebut terpikat
oleh harta dan
kecantikan
anak
yatim itu sehingga dia ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam memberikan maskawin, yakni hanya
memberinya maskawin sebanding
dengan apa
yang diberikan kepadanya oleh laki- laki lain. Dengan adanya kasus tersebut maka
wali yang mengasuh
perempuan
yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan memberinya maskawin
lebih tinggi daripada apa yang diberikan
oleh laki-laki
lain pada umumnya. Para wali yatim
tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka (jika mereka khawatir tidak dapat
berlaku adil terhadap
anak-anak yatim
yang
ada dalam perwalian mereka). Aisyah
r.a
melanjutkan : sesudah ayat
ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw maka Allah menurunkan ayat lagi : “ Mereka
meminta fatwa kepadamu mengenai para
wanita
“ (an-Nisa’: 127) adapun lanjutan ayat : “ …sedangkan kamu ingin mengawini mereka…” (an-Nisa’:127) adalah karena kebiasaan wali yang tidak suka mengawini
perempuan yatim dalam perwaliannya yang hartanya hanya
sedikit dan
tidak seberapa cantik.
Dengan demikian, mereka para wali yang mengurus perempuan- perempuan yatim
yang menyukai harta dan kecantikan
mereka dilarang menikahi mereka kecuali dengan
adil, karena
seandainya yatim-yatim tersebut
hanya berharta sedikit dan tidak menikahi mereka.[30]
Sementara itu al-Maraghi, seorang ahli tafsir kondang,
menyatakan bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan
diperketat.[31] Menurutnya,
poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh
orang- orang yang benar-benar membutuhkan.
Dia kemudian mencatat kaidah hukum Islam “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang
berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat).[32] Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa
pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan
poligami, menurut al-Maraghi,
adalah: 1) karena
isteri mandul sementara keduanya
atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila suami memiliki
kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai dengan
kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala
kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan
anak-anak; dan 4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa
jadi dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat
perang juga membolehkan dilakukannya poligami. Terkait dengan QS. al-Nisa’: 129
al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal suami untuk
berbuat adil.[33]
Sehubungan dengan masalah keadilan ini perintah syari’at
kepada para suami untuk selalu berusaha berbuat adil. Maksuk adil terhadap
istri adalah sekedar yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk berlaku adil,
misalnya dalam soal membagi waktu, nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Adapun
yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, seperti melebihkan cintanya kepada
salah seorang istri, maka tidak termasuk dosa. Rosulullah saw. Bersabda:
Artinya: Ya Allah inilah pembagianku yang mampu saya laksanakan, janganlah
Engkau mencela tentang yang Engkau miliki dan tidak saya miliki (keadilan
bercinta).[34]
Hadits ini memberi gambaran bahwa berbuat tidak adil akan
menemui konsekwensinya di hari kiamat nanti. Dari sini akan nampak hahwa syari’at juga masih memperhatikan
masalah keadilan, jika ada ketidakadilan, maka berarti seorang suami termasuk bagian
dari merendahkan atau meremehkan
derajat perempuan, dan hal ini bagian
dari kejahatan. Keadilan dalam konteks ini diterapkan dalam masalah materi
semacam pembagian harta, hadiah, waktu dan lain-lain. Sedangkan untuk masalah
emosi semacam perasaan cinta terhadap salah seorang istri, di luar kontrol
laki-laki.[35]
Pendapat Aisyah
r.a tentang surat an-Nisa’:3, dijelaskan bahwa: Dari Aisyah r.a.
bahwasanya dia ditanya mengenai firman Allah SWT: “Dan jika kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim…” (an-Nisa’:3), beliau menjelaskan, anak
perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat itu berada dalam asuhan walinya, tidak
cenderung kepada hartanya. kemudian wali
tersebut terpikat oleh harta dan kecantikan anak yatim itu sehingga dia
ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam memberikan maskawin, yakni hanya
memberinya maskawin sebanding dengan apa yang diberikan kepadanya oleh laki- laki
lain. Dengan adanya kasus
tersebut maka wali
yang mengasuh perempuan
yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan
memberinya maskawin lebih tinggi
daripada apa yang
diberikan oleh laki-laki lain
pada umumnya. Para wali yatim
tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka
(jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang
ada dalam perwalian mereka). Aisyah r.a
melanjutkan: sesudah ayat
ini, orang-orang meminta fatwa
kepada Rasulullah saw, maka Allah menurunkan ayat lagi: “Mereka meminta
fatwa kepadamu mengenai para wanita
adapun lanjutan ayat: “ …
sedangkan kamu ingin mengawini mereka…”
(an-Nisa’:127) adalah karena kebiasaan wali yang tidak suka mengawini perempuan
yatim dalam perwaliannya yang hartanya hanya sedikit dan tidak seberapa cantik.
Dengan demikian, mereka para wali yang mengurus perempuan- perempuan yatim yang
menyukai harta dan kecantikan mereka dilarang menikahi mereka kecuali dengan
adil, karena seandainya yatim-yatim tersebut hanya berharta sedikit dan tidak
menikahi mereka.[36]
Dari
keterangan tersebut menunjukkan
bahwa para wali
tidak boleh menikah dengan anak
yatim yang hartanya ada dalam perwaliannya,
kecuali dengan syarat,
yakni tidak bermaksud menguasai
atau mencampuradukkan hartanya
dengan harta anak
yatim tersebut, namun jika para
wali tersebut dapat
berlaku adil, maka
ia dibolehkan menikah dengan mereka, akan tetapi
mahar yang diberikan
tidak boleh sedikit, bahkan harus
lebih daripada biasanya.
Sepintas lalu jika
memperhatikan hadits di atas, memang itu seolah-oleh ijtihad dari
Aisyah sendiri, namun jika diperhatikan,
akan ditemukan bahwa pendapat Aisyah tersebut
lebih banyak benarnya, karena ia
termasuk yang mengetahui maksud ayat dari surat an-Nisa’: 3, jadi
dia termasuk bagian dari sejarah
yang mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat tersebut, dan
pendapat ini sesuai dengan maksud ayat
tersebut. Ayat tersebut turun setelah perang uhud dimana sebanyak 70 orang
muslim gugur sebagai suhada, sehingga meninggalkan janda dan anaknya. Hal ini
merupakan masalah sosial yang krusial, dan hal ini diselesaikan dengan turunnya
ayat yang memerintahkan orang yang mampu untuk mengurus anak yatim dengan
menikahi jandanya, dan menjaga anak yatim itu dibawah pengawasan mereka.[37]
Keberadaan ayat poligami ini telah memberikan gambaran
tentang sisi positif dan negatifnya jika mengambil istri lebih dari satu. Tetapi
dalam kategori sulit berbuat adil diantara mereka dan al-Qur’an telah
memberikan penekanan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil, lebih baik
tidak mengawininya, melainkan memberi bantuan sekedarnya. Itu akan selamat dari
penilaian ketidakadilan dihadapan Allah.
Persyaratan yang dibuat bagi orang yang hendak
melaksanakan poligami itu sebenarnya
bukan untuk melaksanakan nafsu sahwat, atau untuk bersenang-senang saja, akan
tetapi bertujuan untuk menyelamatkan
kaum wanita yang tidak bersuami, dan hal ini pun
jika bisa berbuat adil
menurut kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada semua
manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan
dengan hak-Nya, maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan
syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna.[38] Namun jika belum mampu maka dalam hal ini larangan dari
Islam untuk melakukan poligami hingga Allah memberikan kemampuannya. Hal ini
sebagaimana firmanNya yang artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya.[39]
Menjaga diri untuk tidak berpoligami itu lebih baik dari
pada memaksakan diri karena nafsu sahwatnya. Hal ini berbeda dengan yang
terjadi pada diri Rasulullah saw ketika masih beristri Khadijah, ia tidak
pernah nikah lagi, namun setelah Khadijah wafat, barulah ia nikah lagi. Ketika
Khadijah wafat, masalah poligami di kalangan bangsa Arab adalah merupakan
hal biasa, bahkan
dalam sejarahnya masalah poligami ini sudah dikenal
sejak Nabi Ibrahim as. Namun Rasul semasa dengan Khadijah merasa cukup dengan satu istri saja. Selanjutnya
setelah Khadijah wafat, Rasul baru melaksanakan pernikahan lagi, namun
pernikahan ini bukan bermaksud untuk melaksanakan nafsu sahwatnya, akan tetapi
untuk menjalin kekeluargaan dengan anak dari shahabatnya Abu Bakar, yakni Aisyah. Setelah itu baru menikah
dengan Hafshah binti Umar bin Khattab,
ia adalah seorang janda muda, setelah itu menikah dengan Ummu Salamah, ia
adalah janda panglima perang beliau sendiri yang gugur di medan perang sebagai
pahlawan syahid. Kemudian menikah dengan
Saudah, ia adalah seorang wanita
bernasib malang yang tidak mempunyai suami, karena
usianya sudah tua. Sebagai
contoh lainnya adalah pernikahan
Rasul dengan Zainab binti Jahsyi, pernikahan
ini adalah merupakan pernikahan
yang berat bagi Rasul karena
Zainab itu sendiri mantan dari isteri anak
angkatnya sendiri, dan termasuk dari kerabat Rasul sendiri. Juga pernikahan Rasul dengan Ummu
Habibah ia adalah putri dari tokoh dan penguasa Quraisy Makkah yakni Abu Sofyan
bin Harb. Jadi pernikahan Rasul setelah wafatnya Khadijah itu pada dasarnya
didorong atas rasa dan kondisi mereka semua dan untuk menjalin persauadaraan
dengan para shahabatnya. [40]
Dari kisah kehidupan Rasul yang melakukan poligami itu
sebenarnya kehidupan yang sangat berat
dihadapi oleh Rasul,
jika tidak dibantu oleh
wahyu kemungkinan tidak akan mampu untuk melakukannya, dari itu jika
ingin berpoligami yang syar’ie, dan penuh perjuangan yang mendapat nilai amal
shaleh, maka hendaklah mengambil yang
janda-janda yang ada anaknya, sebagaimana yang dihadapi oleh Rasul.[41] Jika janda yang ada anak yatimnya itu
mempunyai anak dan kehidupan ekonominya sangat
berat, maka pernikahan itu akan menopang bagi mantan
janda tersebut, begitu pula dengan anak-anak yang dibawanya, dari itu ada nilai perjuangan yang syar’ie terhadap
mereka dan mempunyai nilai amal shaleh
disisi Allah, atau dengan cara lainnya tidak mengawini janda tersebut, akan
tetapi memberi bantuan
hanya sekedarnya tanpa mengikat,
sebagaimana dalam perkawinan. Tetapi
jika janda itu ada mempunyai harta termasuk yang dimiliki oleh
anak-anaknya, maka Islam melarang bagi laki-laki yang mengawini mantan
janda itu untuk mencampuradukkan hartanya dengan harta
dirinya, jadi dalam hal ini harta mereka
tetap akan menjadi
milik mereka
yang harus dijaga dengan
baik.[42]
Atas dasar itu semua bukan berarti Islam melarang
ummatnya untuk menikmati kehidupan yang
baik dan bersenang-senang, namun jejak Rasul dalam persoalan ini sudah sangat
jelas, dan bukan merupakan satu alasan jika berargumentasi bahwa di zaman Rasul
kehidupan ekonomi masyarakat saat itu sangat
rendah, tidak seperti di
zaman sekarang ini sehingga melupakan tuntunan ayat dan
hadits dalam masalah ini. Hal ini dapat
dibuktikan dalam sejarah
bahwa kehidupan para istri Rasul saat itu bukan berarti serba
berkecukupan, bahkan mereka merasa kekurangan, salah satu bukti bahwa
para istri Rasul juga pernah
menuntut kepada Rasul tentang kehidupan yang lebih, sebagaimana yang dipelopori
oleh Aisyah binti Abi Bakar, Hafshah binti Umar bin Khattab, kemudian diikuti
oleh para istri Rasul yang lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa poligami sebagai suatu
perbuatan rukhshah (keringanan). Sebagian
yang lain menyatakan Al-Ibahah (boleh).
Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang
benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil
kepada para isteri.[43]
Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah,
pergaulan, serta giliran tidur malam. Bagi suami yang tidak mampu berbuat adil,
maka cukup seorang isteri saja.[44]
Itulah pendapat para ulama tentang poligami yang pada
prinsipnya semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang
bervariasi. Ada yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan
ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat. Tidak ada di antara mereka
yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang. Mereka tidak berani
menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang memang tidak
pernah melarangnya. Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama klasik dalam
menetapkan hukum.
Jika memperhatikan semua ayat-ayat tentang pernikahan
secara cernat, akan didapati bahwa poligami dengan cara menikahi janda yang ada
anak yatimnya itu tetap diutamakan persyaratan keadilan terwujud, khususnya
pada anak-anak yatim yang dibawa oleh janda, perintah pada ayat itu ditujukan
kepada orang laki-laki yang telah beristri, bukan yang masih bujang. Dan jika
laki-laki yang masih bujang, maka hal ini bukan dikatakan poligami, karena ayat
tersebut dijelaskan mengawini dua, atau tiga, atau empat. Jadi berpoligami itu
memang dianjurkan bagi laki-laki yang telah beristri.
Tentang perlakuan adil dalam ayat-ayat poligami diatas
itu bukan perlakuan adil terhadap para
istri, yakni dalam hubungan suami istri,
pendapat ini tidaklah tepat, karena konteks ayat tersebut berbicara masalah
poligami dalam kaitannya dengan sosial kemasyarakatan, bukan konsep
biologis, dan juga pembicaraannya
berkisar pada masalah anak yatim. Jadi perintah poligami dalam ayat diatas itu
sebenarnya untuk yang sudah bersuami dan itupun diutamakan kepada janda yang
banyak anaknya.[45] Dan perintah untuk
berbuat baik kepada anak-anak yatim, jika mereka ada harta, maka harta mereka
itu tidak boleh dicampur dengan harta orang lain, disamping itu syarat lainnya
adalah berbuat adil di antara mereka. Selanjutnya jika tidak dapat berbuat adil
atau tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka hendaklah mengawini seorang
saja. Akan tetapi jika melihat kembali firman Allah dalam surat an-Nisa’: 129,
maka hal ini sudah merupakan ketetapan Allah tentang keadilan.
Dalam undang-undang modern yang diberlakukan di
negara-negara Islam, ketentuan poligami masih bervariasi. Ada yang memberikan
ketentuan yang longgar dan ada yang memberikan ketentuan yang sangat ketat
hingga mengharamkannya. Indonesia termasuk negara yang menetapkan ketentuan
yang ketat untuk poligami. Dalam UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2) dijelaskan
bahwa seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan mendapat
izin dari pengadilan.[46] Adapun
alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untuk memberi izin
poligami ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu: 1) isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3) isteri tidak dapat melahirkan
keturunan. Ketentuan seperti ini juga ditegaskan dalam PP No. 9 tahun 1975
pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57. Pasal 5 UU Perkawinan menetapkan
syarat-syarat poligami sebagai berikut: 1) adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri; 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Di
samping ketentuan ini UU Perkawinan juga mengatur prosedur yang harus ditempuh
suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses di pengadilan. Mesir dan
Pakistan, dua negara Islam, juga mengatur masalah poligami dalam
undang-undangnya. Aturan poligami dalam undang- undang di dua negara ini juga
cukup ketat.[47]
Quraish Shibab menyatakan, “Poligami itu mirip dengan
pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan
emergency tertentu.”[48] Hal serupa disampaikan pula oleh Ketua PBNU, Hasyim
Muzadi, “Poligami tak ubahnya sebuah pintu darurat (emergency
exit) yang
memang disediakan bagi yang membutuhkannya.” Dalam kesempatan yang lain, beliau
juga mengatakan, “Poligami atau monogamy adalah sebuah pilihan yang diberikan
Islam untuk manusia, keduanya tak perlu dikontradiksikan.”[49]
Miftah Faridh, juga memiliki pandangan yang sama,
“Poligami dalam pandangan Islam merupakan salah satu solusi yang dapat
dilakukan umtuk memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi manusia.
Poligami tidak perlu dipertentangkan, apalagi sampai menimbulkan keretakan ukhuwah
Islamiyah, adapun jika ada yang belum siap melakukannya, itu lain persoalan.”[50] Direktur utama Pusat Konsultasi Syariah, Surahman
Hidayat, mengatakan, “Nikah itu, baik poligami atau monogamy, tidak untuk
menzalimi siapa pun. Justru untuk
tegaknya kebahagiaan, yang pada gilirannya terwujud rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahman.”[51]
Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya
hukum Islam (syariah) adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti
ini, jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia.
Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk
menyenangkan suami. Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami
itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan.
Dengan demikian, pada prinsipnya hukum Islam membolehkan
adanya poligami dengan berbagai persyaratan yang cukup ketat. Perlu ditegaskan
kembali, disyariatkannya poligami, seperti ketentuan hukum Islam lainnya,
adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah harus disadari bahwa siapa
pun boleh melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun,
jika ia tidak dapat mewujudkan kemaslahatan ketika melakukan poligami, maka ia
dilarang berpoligami. Persyaratan yang ditentukan oleh al-Quran (seperti
keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para
ulama tentang poligami harus dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan
kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami.[52]
3.
Modus
dan Prosedur Poligami
Kaum wanita sebelum Islam dianggap sebagai hal yang tidak
berharga, hingga mereka diperjual belikan dan banyak yang dijadikan selir. Di
sebagian bangsa Barat kaum wanita tidak memiliki hak apa-apa selain sebagai
pelayan kaum pria.[53]
Poligami menjadi hal yang lumrah dengan jumlah yang tidak dibatasi. Namun
demikian, setelah Rosulullah saw., menyampaikan ajaran Islam dan melakukan
poligami, seolah-olah poligami itu berawal dari ajaran Islam, yang kemudian
banyak disorot oleh masyarakat non muslim.
Masyarakat Barat non muslim (Eropa dan Amerika Serikat)
berdalih bahwa sistem poligami akan membuat pertentangan dan perpecahan antara
suami dan isteri serta anak-anaknya. Kondisi seperti ini pula yang
mengakibatkan tumbuhnya perilaku yang buruk pada anak-anak. Mereka juga
berpendapat bahwa poligami akan mengikis kemuliaan perempuan. Menurut mereka,
perempuan tidak dapat merasa memiliki hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa
bahwa orang lain juga memiliki hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Poligami
dipandang sebagai perlakuan diskriminatif Islam, sebab hanya memberikan
kesempatan kepada laki-laki untuk memiliki pasangan lebih dari satu, sementara
perempuan tidak boleh. Pandangan seperti ini tidak lepas dari background agama
yang dianut di Barat. Agama Nasrani menurut penganutnya melarang poligami.[54]
Banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk
melakukan poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat,
tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa
faktor utama yang menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.
a. Faktor Biologis
1) Istri yang sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit
yang tidak memungkinkan baginya
untuk melayani hasrat seksual suaminya. Kondisi demikian memungkinkan seorang
suami untuk melakukan poligami, tanpa menceraikan istrinya yang sakit karena
membutuhkan perawatan dan ia bertanggungjawab akan kesehatannya.
2) Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian kaum
pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi
dan menggebu, sehingga baginya satu
istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan
hasratnya tersebut,
dibolehkan poligami dengan tujuan memelihara diri dari zina.
3) Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya
masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama
seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu kewajiban terhadap
suaminya. Jika suami
dapat bersabar menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah.
Tetapi jika suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa
hari saja istrinya
mengalami
haid, dikhawatirkan
sang suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa
menjadi pilihannya.
4) Masa Subur Pria Lebih
Lama
Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama
dibandingkan wanita. Berbeda dengan wanita, pria tidak memiliki
"deadline" untuk memiliki anak.[55] Meski kualitas, kuantitas, dan pergerakan sperma
menurun drastis di usia 50 tahun, cukup banyak pria yang mampu menghamili
wanita bertahun-tahun setelahnya. Meski demikian, bukan berarti pria tidak
memiliki masalah dengan kesuburan. Fertilitas pria akan berkurang setiap
dekade, terutama setelah ia berusia di atas 35 tahun. Jumlah sperma usia 50-80
tahun hanya 75 persen dibanding pria usia 20-50 tahun. Kemampuan berenang
sperma juga berkurang seiring dengan usia. Mobilitas sperma yang paling baik
adalah di usia 25 tahun dan paling rendah di usia 55 tahun. Dari usia 35-55
tahun, mobilitas sperma berkurang sampai 54 persen, tak peduli berapa banyak ia
berhubungan seks.
b. Faktor Internal Rumah Tangga
1) Kemandulan
Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah
kemandulan, baik
kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang dialami istri. Hal
ini terjadi karena keinginan seseorang untuk
mendapat keturunan merupakan salah
satu
tujuan
utama pernikahan dilakukannya.
Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati dan ridha bila sang
suami menikahi wanita lain
yang dapat memberikan keturunan.
2) Istri yang Lemah
Ketika sang suami mendapati
istrinya dalam
keadaan serba terbatas, tidak mampu
menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya dengan
baik, tidak bisa mengarahkan
dan mendidik anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya, serta bentuk-bentuk kekurangan lainnya. maka pada
saat
itu,kemungkinan suami melirik wanita lain yang
dianggapnya lebih baik, bisa saja terjadi poligami.
3) Kepribadian yang Buruk
Istri
yang tidak pandai
bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, gampang
marah, tidak mau menerima nasihat suami dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami
yang mulai berpikir untuk
menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah, apalagi jika watak
dan karakter buruk sang istri tidak bisa diperbaiki lagi.[56]
c. Faktor Sosial
1) Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia 50,35% laki-laki dan 49,65% perempuan. Namun
demikian, pada tingkat cerai hidup laki-laki 1.03% dan perempuan 2.34%. Hal ini
mengindikasikan bahwa banyak janda dan tentunya anak-anak yang umumnya dibawa
oleh perempuan, membutuhkan bantuan ekonomi.[57]
2)
Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada
Wanita
Sebagian pendapat juga mengatakan bahwa harapan hidup kaum
wanita, lebih panjang daripada harapan hidup kaum
pria, perbedaannya berkisar 5-6 tahun. Sehingga tidak heran jika lebih banyak suami yang lebih dahulu meninggal
dunia, sedangkan sang istri harus
hidup menjanda dalam
waktu yang sangat lama, tanpa ada yang mengayomi,
melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara
layak.[58]
3)
Berkurangnya Jumlah Kuam Pria
Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum
pria adalah semakin bertambahnya jumlah perempuan yang kehilangan suami dan
terpaksa harus hidup
menjanda.
Lalu
siapakah yang akan bertanggung jawab mengayomi, memberi
perlindungan dan memenuhi
nafkah lahir dan batinnya, jika mereka terus menjanda? solusinya tida
lain,
kecuali
menikah lagi
dengan
seorang
jejaka, atau duda,
atau
memasuki kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri.
Itulah
solusi yang
lebih
mulia, halal dan baradab.
4)
Lingkungan dan Tradisi
Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan poligami, jika
ia hidup di
lingkungan atau komunitas
yang memelihara tradisi
poligami. Sebaliknya ia
akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap
poligami sebagai hal yang tabu dan
buruk, sehingga mereka melecehkan dan
merendahkan para pelakunya.
5)
Kemampuan Ekonomi
Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan
kemampuannya menghidupi istri lebih dari satu.
B.
Pendidikan
Anak dalam Keluarga Poligami
Menurut
pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang
mempunyai hubungan darah dan atau keturunan; sedangkan dalam arti sempit,
keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya. Pendapat ini sejalan dengan
Soerjono Soekanto,[59]
yang menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai
keluarga batih (nuclear family). Keluarga batih tersebut
merupakan kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya
juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat
sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.Keluarga dipandang sebagai lembaga
sosial yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini.
Kenyataan
demikian diakui oleh William J. Goode.[60]
Dalam hal ini ia menyatakan bahwa keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial,
di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat,
sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering sekali
dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan
demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian
bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana
yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi
kuat. Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga ialah kelompok
sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih
(ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga lain yang tinggal hidup
bersama dalam suatu rumah, sehingga
merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan
pandangan pemikiran sosial modern yang
mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam
masyarakat, di mana hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat
hubungan langsung.[61]
Keluarga itu dapat diartikan pula
sebagai kelompok pertalian nasab
(keturunan) yang dapat dijadikan tempat untuk
membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup lainnya.[62]
Menurut M.I. Soelaeman[63], suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
Apabila salah satunya tidak ada maka dikatakan keluarga tidak lengkap.
Dengan
memperhatikan beberapa definisi keluarga sebagaimana dinyatakan di atas, maka dalam tulisan
ini keluarga diartikan secara
sempit, yakni kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak. Dengan kata lain keluarga adalah orang-orang yang
hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam),
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama untuk
mencapai kesejahteraan semua
anggota keluarganya itu.
1. Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki fungsi
tertentu, baik untuk masyarakat, anggota
keluarga, maupun negara
secara keseluruhan. Karena fungsinya itulah maka urgensinya bagi berbagai
hal perlu dikaji, khususnya
urgensi keluarga dalam pendidikan
anak. Sedikitnya ada tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi ketuhanan, sosial, dan
ekonomi. Secara lebih rinci, dari keriga fungsi tersebut dikembangkan
menjadi Sembilan fungsi keluarga, yaitu biologis, ekonomi, kasih saying, edukatif,
perlindungan, sosialisasi anak, rekreatif, status dan religious (beragama).
Fungsi-fungsi tersebut dijelaskan oleh Melly Sri[64]
sebagai berikut.
a.
Fungsi Biologis
Pembentukan keluarga bermula
dengan terciptanya hubungan suci
yang menjalin seorang
laki-laki dengan seorang wanita
melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sahnya.[65]
Sehingga sebagai suatu organisme, keluraga memiliki fungsi biologis.
Memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan hubungan kelamin
yang memungkinkan memberikan keturunan (anak). Hal ini disebut juga dengan fungsi reproduksi atau
pengembangbiakan. Oleh karena itu kehidupan keluarga perlu diikat dengan
suatu ikatan perkawinan yang memungkinkan suami istri memenuhi kebutuhan dasar
tersebut dengan bebas dan
bertanggung jawab.[66]
Keterangan tersebut bersesuaian dengan
al-Quran surat An-Nisa ayat 1.
Artinya : Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[67]
b.
Fungsi Ekonomi
Fungsi ini mempunyai hubungan erat dengan
fungsi biologis, terutama dalam
hal memenuhi kebutuhan
yang bersifat vegetatif, seperti kebutuhan makan, minum
dan tempat tinggal. Fungsi
ekonomis dalam suatu
keluarga ditunjukan dengan keadaan keluarga yang merupakan kesatuan ekonomi. Aktivitas dalam fungsi ekonomi
berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan
anggaran biaya, baik penerimaan maupun
pengeluaran biaya keluarga.
Dalam ajaran Islam, memenuhi nafkah keluarga adalah kewajiban suami. Namun demikian tidak disalahkan apabila istri
turut membantu suami dalam
memperoleh pemenuhan nafkah asal tetap dapat memenuhi kewajiban utama
selaku istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Keterangan yang
menunjukkan bahwa suami bertanggung jawab atas pemenuhan nafkah keluarga
diterangkan dalam al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 233 sebagai berikut:
Artinya : Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma`ruf.[68]
(Al-Baqoroh : 233).
c.
Fungsi Kasih Sayang
Keluarga dituntut memerankan fungsi sebagai lembaga interaksi yang harmonis antara anggota-anggotanya,
membentuk ikatan batin yang kuat sesuai
dengan status peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga tersebut.
Di dalam suatu keluarga idealnya terbentuk kehidupan
rumah tangga yang rukun, damai, serta
tenang dan bahagia yang dilandasi
oleh cinta dan kasih sayang.[69] Hal ini bersesuaian dengan tujuan dari
pernikahan sebagai awal pembentukan keluarga sebagaimana dijelaskan dalam surat
Ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:
Artinya: Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[70]
d.
Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan dalam
lingkungan keluarga merupakan
fungsi utama bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya.
Di dalam keluarga sejak awal diberikan pendidikan dan pembentukan sikap.
Di samping itu ditumbuhkan juga jasmani, akal, rasa,
seni, emosi, spiritual, akhlak
dan tingkah laku sosial untuk menyiapkan anak-anak menyongsong masa depan.[71]
Dengan perkataan lain, keluarga bertanggung jawab untuk mengembangkan anak-anak
yang dilahirkan dalam keluarga untuk berkembang menjadi orang yang
diharapkan oleh bangsa, negara, dan agamanya.
Dalam keluarga, orang tua adalah pendidik utama dan pertama
yang mendidik dengan penuh tanggung
jawab dan kasih sayang. Mereka mendidik semata-mata rasa
tanggung jawab dan sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada Allah
atas nikmat dan
karunia-Nya. Dan keluarga merupakan institusi pendidikan yang muncul seiring
dengan adanya kehidupan manusia di dunia ini. Keluarga mempunyai peranan yang
penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebab dari keluarga yang rukun dan
sehat akan lahir anak-anak yang sealu rukun dan sehat pula, baik jasmani maupun
rohaninya. Dan dari anak-anak anggota keluarga yang sehat akan terjadi suatu
bangsa yang sehat dan kuat. Pada
keluargalah terletak kewajiban pertama untuk mendidik seorang anak menjadi
sehat, beradab, tahu sopan santun, serta mempunyai sifat-sifat yang baik,
menjadi anggota masyarakat yang cakap dan berguna.[72]
e.
Fungsi Perlindungan
Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak di lingkungan keluarga
berhubungan erat dengan perlindungan secara mental dan moral di samping
perlindungan fisik bagi kelanjutan hidup orang-orang yang ada dalam keluarga
itu.[73]
Dengan demikian maka keluarga juga dalam melaksanakan pembinaannya berfungsi
sebagai lembaga perlindungan dari
kelaparan, kehausan, kedinginan,
kepanasan, kesakitan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan
sebagainya. Fungsi perlindungan (protektif) dalam keluarga ialah untuk
menjaga dan memelihara anak serta anggota
keluarga lainnya dari tindakan
negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam keluarga maupun dari luar kehidupan keluarga.[74]
Fungsi perlindungan ini terutama agar keluarga terhindar dari berbuat
dosa dan kesalahan yang menyebabkan dimasukan ke dalam neraka. Dalam Al-Quran
surat At-Tahrim ayat 6 dijelaskan:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[75]
f.
Fungsi Memasyarakatkan
Keluarga memiliki fungsi sosial atau
memasyarakatkan. Maksudnya orang tua
mengemban amanat masyarakat, bahwa anak itu diharapkan oleh masyarakat dapat tumbuh
menjadi asset masyarakat. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa keluarga
mempunyai tugas untuk mengantarkan anak-anak ke dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan yang lebih luas. Anak
dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang baik yang memahami norma-norma
sosial sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak.[76]
g.
Fungsi Rekreasi
Dalam kehidupan
manusia, rekreasi cukup
penting. Rekreasi dalam hal ini
adalah sebagai aktivitas seseorang atau
anggota keluarga atas dasar kemauan sendiri sehinggga merasakan adanya kesenangan dalam melakukan
sesuatu itu. Melalui rekreasi
ini dapat mengimbangi
kekakuan, kekesalan, kelelahan, dan kecapaian setelah mempergunakan energi dalam aktivitas
sehari-hari.
h.
Fungsi Status
Fungsi status ini menunjukkan pada kadar kedudukan
keluarga dibanding dengan keluarga lainnya. Hal ini terealisasi
dari hasil penilaian anggota masyarakat terhadap keluarga. Dalam hal-hal
tertentu status sosial keluarga ditentukan oleh usaha setiap anggota keluarga
(achieved status), ada pula status yang diberikan
oleh orang lain, dan status berdasarkan keturunan.[77]
i.
Fungsi Beragama
Fungsi
religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing,
memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga dalam menjalankan
ketentuan-ketentuan agama. Menurut
Djudju,[78]
fungsi ini mengharuskan orang tua
sebagai seorang tokoh inti
panutan dalam keluarga, untuk
menciptakan iklim keagamaan dalam
kehidupan keluarganya.
2.
Pengertian Pendidikan Anak dalam
Keluarga Poligami
a. Pendidikan
Kata
"pendidikan" semakna
dengan "rabba" atau "ta'dib" dalam bahasa
Arab. Pendidikan secara sederhana
berarti usaha manusia untuk membina kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Pendidikan Islam menurut Yusuf Qordowi sebagaimana dikutip
Azyumardi Azra, adalah pendidikan manusia seutuhnya; akan dan hatinya, rohani
dan jasmanisnya, akhlak dan keterampilannya.[79]
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam
Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan perkataan ta'dib. Adapun
pengertian ta'dib mengacu kepada
pengertian yang lebih tinggi dan mencakup semua unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan
yang baik (tarbiyah). Meskipun ketiga istilah itu dapat digunakan
dengan pengertian yang sama, ada beberapa ahli pndidikan yang berpendapat bahwa
kata-kata tersebut memiliki makna yang khusus (tersendiri). Syed
Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat sebagai berikut:
Ta'lim hanya berarti pengajaran yang
merupakan bagian dari pendidikan. Adapun tarbiyah berarti mengasuh, menanggung,
memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan tambahan,
membesarkan, memproduksi, dan menjinakan; bukan suatu istilah yang tepat untuk
menyatakan pendidikan bagi manusia, karena pendidikan dalam Islam harus khusus
hanya untuk menusia.[80]
Menurutnya,
yang tepat untuk istilah pendidikan dalam bahasa Islami ialah ta'dib. Ia
menjelaskan sebagai berikut: Pendidikan, termasuk pula proses pendidikan
sebagai pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang
temat-tempat Allah yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Jadi
menurut pendapat Al-Attas, ta'dib lebih tepat menunjukkan pengertian pendidikan
dalam Islam, sebab tidak terlalu sempit
sekedar mengajar saja, dan tidak pula meliputi makhluk-makhluk lain selain
manusia. Jadi ta'dib sudah meliputi kata tarbiyah dan ta'lim. Pendidikan itu sendiri mempunyai makna pengalihan nilai-nilai. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Hasan Langgulung[81]
bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua
dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti
pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup
masyarakat tetap berlanjut. Atau denan kata lain berarti penyaluran nilai-nilai
budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas
masyarakat tersebut terpelihara. Dilihat dari sudut pandang individu,
pendidikan mengandung arti pengembangan potensi individu." Bila
pernyataan itu diterima, maka
mengandung konsekuensi bahwa pendidikan tidak sekedar "transfer of knowledge", tetapi juga "transper of values". Jadi pendidikan itu harus
sampai pada memindahkan nilai-nilai yang dianut, tidak berhenti pada penyampaian pengetahuan saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa pendidikan dalam perspektif Islam adalah suatu proses bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa muslim kepada orang lain agar mencapai kedewasaan
melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat
yang tpat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian.
b.
Lingkungan Keluarga
Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, lingkungan memiliki empat pengertian, yaitu (1) daerah (kawasan dsb)
yang termasuk di dalamnya; (2) bagian wilayah di kelurahan yang merupakan
lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan atau kalangan; (4)
semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia.[82].
Adapun secara istilah, belum ditemukan
pengertian yang baku mengenai lingkungan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini
definisi lingkungan, didasarkan kepada pengertian leksikal, yakni kawasan atau
lebih cenderung kepada makna yang keempat, yaitu semua yang mempengaruhi
pertumbuhan manusia..
Dalam kehidupan sehari-hari, kata
”keluarga” digunakan dalam pengertian hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam
arti hubungan darah, keluarga dibedakan
pada dua istilah, yakni keluarga besar dan keluarga inti.Keluarga besar
memasukan kerabat dan orang-orang yang terhubung dengan perkawinan sebagai
keluara. Jadi di samping ayah, ibu dan anak-anak, ada pula kakek, nenek, paman,
bibi, cucu, ponakan, mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun keluarga inti atau
keluarga dalam arti sempit adalah suami istri dan anak-anak yang lahir darinya.
Menurut pandangan sosiologis, keluarga
dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau
keturunan; sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan
anak-anaknya. Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto, yang menyatakan
bahwa: ”dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear
family), yakni kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta
anak-anaknya yang belum menikah.[83]”
Keluarga batih lazim juga disebut rumah
tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses
pergaulan hidup. Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial yang telah lama ada,
yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini. Kenyataan demikian diakui
oleh William J. Goode yang menyatakan sebagai berikut: Keluarga adalah
satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah
berkembang di semua masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu
antropologi sering sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan
kekeluargaan. Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih
dari pengertian bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari
itu ada pengertian yang lebih luas,
yakni suasana yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang
halus lagi kuat.[84]
Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau
rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih (ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga
lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga
adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana
hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[85]
Keluarga itu dapat diartikan pula sebagai kelompok pertalian nasab (keturunan) yang dapat dijadikan
tempat untuk membimbing anak-anak
dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.[86] Suatu keluarga baru dikatakan lengkap
apabila terdiri dari ayah, ibu dan
anak-anak. Apabila salah satunya tidak
ada maka dikatakan keluarga tidak
lengkap.
Dengan memperhatikan beberapa definisi
keluarga sebagaimana dinyatakan di atas,
maka dalam tulisan ini keluarga
diartikan secara sempit, yakni
kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak. Dengan kata lain keluarga adalah orang-orang yang
hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam),
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama untuk
mencapai kesejahteraan semua
anggota keluarganya itu. Jadi lingkungan keluarga adalah wilayah
kewenangan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak dalam satu rumah tangga.
c. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan pengertian pendidikan dan lingkungan
keluarga sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan
di lingkungan keluarga adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh orang
dewasa muslim (orang tua) kepada anaknya agar mencapai kedewasaan melalui
pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam
tatanan wujud dan kepribadian. Proses tersebut terjadi di kawasan yang sempit,
yakni kelompok sosial terkecil yang
terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak.
3.
Tujuan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya,
tujuan pendidikan di lingkungan keluarga secara umum tidak berbeda dengan tujuan
pendidikan di lembaga pendidikan formal maupun non formal, yakni sebagaimana
dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai
berikut.
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[87]
Dalam sebuah
keluarga, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan, diusahakan oleh
proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada aspek
tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan
masyarakat dan pada alam sekitar tempat individu itu hidup, atau pada proses
pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[88].
Dalam hal ini
Al-Toumy membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu
tujuan-tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran. Dilihat dari pembagian ini selanjutnya
Al-Toumy menjelaskan sebagai berikut.
a.
Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan
individu, anakan dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan
individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas
dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka,
dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat.
b.
Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan
dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini,
dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
c. Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan
dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi,
dan sebagai aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[89]
Tujuan berbeda dengan keinginan. Perbedaannya nampak dalam
rencana dan bertindak secara sistematis dalam proses intelektual yang kompleks
memerlukan kemahiran dan kecerdasan, perencanaan dan metode, dan bertindak
mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga mejadi suatu konsep tujuan yang harus
dicapai dalam sebuah proses.
Hasan
Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam kepada tiga tinggat, yaitu tujuan
tertinggi, tujuan umum dan tujuan pendidikan khusus. Tujuan tertinggi
pendidikan Islam adalah pembentukan khalifah, yang hanya dapat dicapai setelah
melalui tahap tujuan khusus dan tujuan umum. Yang dimaksud dengan tujuan umum
adalah maksud atau perubahan yang dihekendaki, diusahakan oleh pendidikan untuk
mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat kepada tujuan
tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus.
Pendidiakan
Islam merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem (pendidikan) di
dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsur yang sama, itu disebabkan
karena pendidikan Islam bersifat terbuka selama tidak bertentengan dengan jiwa
Islam.[90] Mengingat
hal tersebut, maka pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu yang dapat
dianalisis dari segi sistematik atau pendekatan sistem. Dari segi ini,
pendidikan Islam dipandang sebagai proses melalui sistem yang terdiri dari
sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka
pelaksanaan pendidikan. Komponen komponen yang dimaksudkan adalah (1) tujuan
pendidikan Islam, (2) pendidikan dalam pendidikan Islam, (3) Anak didik, (4) Materi
pendidikan Islam, (5) Metode pemikiran Islam, (6) Kegiatan pendidikan Islam.
Dari keseluruhan Komponen tersebut yang sangat urgen adalah tujuan pendidikan.
Oleh sebab itu pada bagian ini akan diuraikan mengenai tujuan pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung[91] tujuan atau matlamat pendidikan adalah
serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan hanya lah suatu alat yang
dipergunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutkan hidupnya sebagai
individu dan sebagai masyarakat.
Ahmad Tafsir[92] menjelaskan sebagai berikut; tujuan umum
pendidikan Islam ialah muslim yang sempurana, atau manusia yang taqwa, atau manusia beriman,
atau manusia yang beribadah kepada Allah. Muslim yang sempurna adalah manusia
yang memiliki:(1) Jasmani yang sehat dan kuat, (2) akal yang cerdas serta
pandai, ( 3) hatinya taqwa kepada Allah.
Konfrensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 yang
berlangsung di Mekkah telah memberikan rekomondasi tentang tujuan pendidikan
Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri
manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif,
fisik, ilmiah, bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua
asfek ini kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim
terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara
pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia[93].
Adapaun menurut
pendapat Al-Attas[94]
bahwa "tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya ialah untuk menjadi
seorang manusia yang baik". Abdurrahman An-Nahlawi[95]
menyatakan bahwa "tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah
kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat."
Hasan Langgulung[96] menyatakan, "menurut pandangan Islam
perkembangan fitrah adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan
Islam." Perkembangan fitrah mencakup aspek perkembangan diri (self actualization), perkembangan
spiritual (ruh) dan akal, disamping
jasmani dan mental. Adapun Athiyah
Al-Abrasy[97] menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan budi
pekerti jiwa adalah jiwa pendidikan
Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti
dan akhlak jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adaah
sebenarnya dari pendidikan, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak
mementingkan pendidikan jasmani, akal, ilmu, atau segi-segi praktis lainnya,
tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak
seperti juga segi-segi lainnya.
Pernyataan Athiyah tersebut menekankan bahwa tujuan utama
dari pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna, dengan tidak
mengabaikan aspek-aspek lain pada diri manusia. Ini sejalan dengan pendapat
Baharudin[98]
yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam
yaitu menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa dan
meyakini (Islam) sebagai suatu kebenaran tersebut melalui akal, rasa feeling di
dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.
Jika kita
perhatikan, semua tujuan yang telah disebutkan
itu dinyatakan sebagai tujuan umum atau diistilahkan pula dengan tujuan
akhir. Adapun untuk merealisasikan tujuan umum tersebut diperlukan tujuan sementara
atau terminal-terminal tujuan yang secara umum biasa disebut dengan (1) tujuan
institusional, (2) tujuan kurikuler, (3) tujuan instruksional atau tujuan
operasional umum dan khusus pada lembaga pendidikan formal.
Demikian tujuan
pendidikan Islam yang umum yang dapat dijabarkan kepada bentuk-bentuk tujuan
yang lebih khusus. Ini dapat terjadi karena, pendidikan dalam Islam merupakan
kegiatan atau proses yang melalui tahap demi tahap dan tingkatan demi
tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan
dalam Islam tidak statis tetapi merupakan suatu keseluruhan yang bergerak maju
seiring dengan perkembangan zamannya. Tahapan dan tingkatan dalam pendidikan
dan dalam tujuannya berdasar kepada salah satu ayat dalam al-Quran antara lain yang
menyebutkan bahwa manusia itu hidup melalui tingkat demi tingkat. Ayat dimaksud
adalah Q.S . Al- Insiqoq ayat 19, lafadznya sebagai berikut:
Dari penjelasan
ini atas, nampak ahli pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan sehingga menimbulkan
kesan tujuan pendidikan Islam begitu banyak dan berbeda-beda. Perbedaan ini
dilatarbelakangi adanya persepsi yang berbeda mengenai prototype manusia ideal
yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan.
4.
Sifat Umum dan Fungsi Pendidikan di
Lingkungan Keluarga
Pendidikan
keluarga, merupakan pendidikan yang pasti dialami seseorang sejak ia dilahirkan,
dan biasanya dilaksanakan sendiri oleh orang tua dan anggota keluarga yang
lain. Dengan demikian pendidikan keluarga memiliki sifat umum, fungsi dan sifat
khusus.
a.
Sifat-sifat umum pendidikan keluarga
Sifat-sifat umum
yang dimaksud adalah sifat keluarga sebagai lembaga pendidikan yang ikut
bertanggungjawab dalam proses pendidikan. Sifat-sifat umum ini meliputi keluarga sebagai lembaga pendidikan tertua,
informal, pertama dan utama, dan bersifat kodrati. Untuk lebih jelasnya
mengenai ciri umum pendidikan keluarga ini disajikan pernyataan Soelaeman
Joesoef dan Slamet Santoso[100] sebagai berikut.
1)
Lembaga pendidikan tertua
Ditinjau sejarah perkembangan pendidikan maka “Keluarga
merupakan lembaga pendidikan yang tertua”. Lembaga pendidikan lahir “sejak
adanya manusia di mana orang tua yaitu ayah serta ibu sebagai pendidiknya dan
anak sebagai si terdidiknya”.
2)
lembaga pendidikan informal
Dengan lembaga informal yang dimaksud adalah lembaga
pendidikan yang tidak terorganisir, tidak mengenal penjenjangan kronologi atas
dasar usia maupun pengetahuan/keterampilan. Atau dengan kata lain lembaga
pendidikan ini “tidak kita jumpai adanya kurikulum dan daftar jam anakan yang
tertulis secara resmi dalam bentuk (form) yang tertentu dan jelas.
3)
Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama
Dalam keluargalah, pertama anak memperoleh pendidikan sejak
ia dilahirkan dan pendidikan keluarga pula merupakan pembentuk dasar
kepribadian anak. Sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro Alam keluarga
adalah pusat pendidikan pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak
timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi
bertumbuhnya budi pekerti tiap-tiap manusia”. Pendidikan Akhlak dalam keluarga
Islam merupakan hal yang sangat penting setelah pendidikan tauhid.[101]
4)
bersifat kodrat
Pendidikan
keluarga bersifat kodrat
karena “terdapatnya hubungan darah anatara pendidik dan anak didiknya. Karena
sifat ini maka wewenang pendidik (Dalam hal ini orang tua) akhirnya bersifat
kodrat dan wajar sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun kecuali
dalam hal-hal tertentu. Disamping itu dalam pendidikan keluarga ”hubungan
antara anak didik dan pendidik sangat erat pula”.
b.
Fungsi pendidikan keluarga
Fungsi pendidikan keluarga yang terpenting adalah merupakan pengalaman
pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar
pendidikan moral, sosial, dan agama. Keluarga yang ada di bawah didikan Nabi
secara langsung telah menumbuhkan manusia-manusia sempurna.
1)
Pengalaman
pertama masa kanak-kanak
Dalam pendidikan keluarga, anak memperoleh “pengalaman pertama yang
merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak” selanjutnya. Dari penyeliddikan para ahli, pengalaman
pada masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan individu dalam hidupnya.
2)
Menjamin kehidupan emosional anak
Dalam pendidikan keluarga maka kehidupan emosional atau
kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat terjamin dengan baik. Hal ini
disebabkan “karena adanya hubungan darah
antara pendidik dan anak didik, karena oerang tua hanya menghadapi sedikit anak
dan karena hubungan tadi atas rasa cinta kasih yang murni. Terjaminnya
kehidupan emosionil anak pada waktu kecil berarti menjamin pembentukan pribadi
selanjutnya.
3)
Menanamkan dasar pendidikan moril
Dalam pendidikan keluarga berlangsung peniruan tingkah laku yang
bersifat moralitas, sehingga pendidikan ini menyentuh pendidikan moril
anak-anak “di dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidik moral
yang diperoleh melalui contoh-contoh yang konkrit dala perbuatan hidup
sehari-hari.
4)
Memberikan dasar pendidikan kesosialan
Dalam kehidupan keluarga sering anak-anak harus membantu (menolong)
anggota keluarga yang lain seperti menolong saudaranya sakit, bersama-sama menjaga
ketertiban keluarga dan sebagainya. Kesemuanya memberi pendidikan pada anak,
terutama memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak.”[102]
5)
Memberi dasar pendidikan agama
Pendidikan keluarga dapat pula “merupakan lembaga pendidikan
penting untuk meletakkan dasar pendidikan agama bagi anak.” Seperti tampak
adanya anak-anak yang belajar mengaji pada orang tuanya atau tetangganya. Keluarga
adalah lingkungan yang paling banyak mempengaruhi kondisi psikologis dan
spiritual anak.[103]
c.
Sifat Khusus Pendidikan Keluarga
Sifat khusus dalam pendidikan keluarga dimaksud adalah beberapa hal
khusus yang berhubungan dengan si terdidik dalam lembaga pendidikan keluarga,
seperti sifat menggantungkan diri, anak didik kodrat, dan kedudukan anak.
1)
Sifat mengantungkan diri
Anak yang baru lahir
memiliki sifat serta tergantung pada orang tuanya. Sehingga tanpa pertolongan
orang tua, anak tidak akan bisa berkembang dalam hidupnya atau tidak dapat
melanjutkan hidupnya.
2)
Anak didik kodrat
Terbentuknya keluarga
karena pernikahan antara ayah danm ibu, maka keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang mengikat anak secara takdir menjadi anak didik dalam pendidikan
tersebut. Kecuali dalam keadaan tertentu, yang menyebabkan anak dipelihara
orang lain, maka nilai anal didik kodrat menjadi hilang.
3)
Kedudukan
anak dalam keluarga dan kesukaran pendidikan
Kedudukan anak dalam susunan keluarga, sering menimbulkan problema
pendidikan, seperti: Anak tunggal, Anak sulung, Anak bungsu, Anak laki-laki
tinggal diantara saudara-saudara perempuannya. Anak perempuan tinggal diantara
saudara-saudaralaki-lakinya.
5.
Tugas dan Tanggung Jawab Mendidik Anak
Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam anggota
masyarakat, umumnya terdiri dari orang tua dan anak-anak. Orang tua memiliki
hak dan kewajiban tertentu atas anak-anaknya, sebagaimana anak-anaknya juga
memilki kewajiban dan hak tertentu pula. Menurut ajaran Islam, salah satu
kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah membimbing agar tidak
terjerumus ke dalam api neraka,agar anak-anaknya mentaati dan patuh kepada
kehendak Allah juga kepada orang tuanya,
agar anak tidak menjadi beban orang tua dan orang lain setelah ia dewasa.
Rungkasnya agar anak menjadi anak yang shaleh.
Dalam keluarga, orang tua adalah pendidik utama dan
pertama yang mendidik dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Mereka
mendidik bukan karena tugas dan upah dari orang lain, tetapi semata-mata rasa
tanggung jawab dan sebagai perwujudan
dari rasa syukur atas nikmat dan
karuna dari Allah. Masalahnya, kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan anak
sangat bergantung kepada pendidikan yang diberikan kedua orang tuanya. Dengan
kata lain, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak Secara lebih rinci, urgensi dan orientasi bimbingan orang tua
terhadap anak-anaknya dapat diterangkan sebagai berikut.
a.
Anak adalah amanah Allah yang perlu dipelihara
Setiap anak yang lahir ke dunia tidak lain merupakan
amanah Allah kepada kedua orang tuanya. Amanah itu harus dipelihara, dijaga dan
dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak. Menjaga anak sebagai amanah Allah
adalah dengan memberikan bimbingan, pendidikan serta pengajaran yang berguna
bagi kehidupan anak di dunia dan di akhirat. Untuk itu orang tua dituntut untuk
menumbuhkan potensi-potensi yang dimiliki anak, sehingga perkembangan dan
pertumbuhan dirinya sesuai dengan masanya, serta mampu memenuhi tuntutan
hidupnya kelak.
Bagi umat Islam memberikan bimbingan kepada anak
merupakan salah satu bentuk menjalankan amanah Allah, sementara meninggalkan
atau tidak memberikan bimbingan kepada anak dengan bimbingan yang selaras
dengan ajaran Islam merupakan perbuatan meninggalkan amanah Allah. Menurut Umar
Hasyim[104] sesungguhnya amanah itu adalah segala hak yang
dipertanggung jawabkan atau dipertaruhkan kepada seseorang, baik itu kepunyaan
Allah atau hamba, baik berupa perkataan, kepercayaan hati atau barang-barang.
Perbuatan memelihara amanah bukan pekerjaan yang ringan,
dalam hal ini Rosulullah telah menjelaskan sebagai berikut. Artinya:
Seberat-berat agama adalah memelihara amanah sesungguhnya tidak ada agama bagi
orang-orang yang tidak memelihara amanah, bahkan tidak ada shalat dan zakat
baginya.[105]
Dari hadits tersebut nampak bahwa amenjalankan amanah
merupakan perbuatan yang sangat penting, karena dengan tidak melaksanakan
amanah yang dipikulkan kepadanya berarti melanggar ajaran agama, sehingga
shalat dan zakatnya pun menjadi tidak berarti. Sangat terpujilah orang-orang
yang memelihara amanah. Membimbing anak sebagai amanah Allah merupakan
kewajiban yang tidak dapat dihindarkan bagi setiap keluarga, membiarkannya
berarti menyia-nyiakan amanah yang konsekuensinya dinyatakan sebagai orang yang
tidak beragama, shalat dan zakatnya tidak berguna.
b.
Anak Memiliki Potensi Tetapi belum Berdaya
Potensi atau fitrah mengandung arti kemampuan dasar yang
dimiliki oleh setiapanak yang lahir. Fitrah atau potensi tersebut hanya akan
berkembang dan berguna bila mendapat pembinaan yang memadai, dibimbing oleh
orang dewasa secara benar dan teratur. Menurut ajaran Islam, semua manusia yang
lahir telah memiliki potensi dasar untuk percaya kepada Allah. Dalam hal ini
Anwar Mas'ary.[106] menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama (fitrah), yaitu agama tauhid. Jika kenyataannya manusia banyak
yang tidak beragama tauhid, hal ini disebabkan oleh lingkungan disekitarnya.
Pernyataan tersebut setidak-tidanya didasarkan kepada hadits Nabi Artinya: dari
Abu Hurairah r.a. berkata, nabi Saw., telah bersabda; tidak seorangpun
dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi.[107]
Hadits di atas menyatakan bahwa setiap anak yang lahir
memilki fitrah. Inti fitrah menurut adalah kecenderungan untuk beriman kepada
Allah. Sementara Allah sendiri sifatnya yang paling pokok adalah Ada (wujud),
Esa (ahad), dan Sempurna (kamal). Karena itu kejadian manusia secara alamiah
dibekali oleh potensi ketauhidan. Lebih dari itu sesuai dengan Ada-Nya, Esa-Nya
dan Sempur-Nya Allah, fitrah manusia juga berarti potensi untuk mencintai yang
benar dan membenci yang salah. Dilihat dari relevansinya fitrah manusia itu ada
kesesuaian dengan teori ilmu jiwa daya yang menyatakan bahwa manusia memilki
daya-daya yang mesti dilatih sesuai dengan kemampuannya., sehingga berkembang
sampai pada tingkat yang wajar. Hanya masalahnya, fitrah yang memantul berupa
potensi dan daya-daya tertentu pada manusia tidak dapat berkembang begitu saja,
melainkanperlu sentuhan tangan orang lain. Orang tua sebagai salah satu bentuk
lingkungan sosial dinyatakan sebagai orang yang menentukan apakah seseorang
dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Karena itu setelah anak lahir kedua
orang tuanyalah yang memberikan corak atau pengarauh kepadanya.
Anak dengan ketidakberdayaannya secara bertahap akan
menerima pengaruh, tidak saja dari anggota keliuarga, tetapi juga dari
lingkungan masyarakat di sekitarnya. Karena sifat anak yang tidak atau belum
berdaya itu tentu belum dapat menolong dirinya sendiri yang tidak lain kepada
kedua orang tuanya. Namun ada yang menguntungkan dari hubungan anak dengan oang
tuanya, yaitu anak dapat mengembangkan
potensi yang ada pada dirinya karena ia mengalami latihan dan bimbingan
dari orang tua. Kepada manusia Allah memberi kelebihan struktur dasar, supaya
hidupnya dibina atas dasar norma-norma dan kode etik di dalam membentuk
hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.[108]
Setiap anak memiliki bakat, kemampuan serta potensi yang
perlu dikembangkan oleh orang tua. Bakat anak perlu dipupuk sehingga setelah ia
dewasa dapat melakukan tugas yang sesuai dengan baktnya itu. Demikian pula
halnya dengan kemampuan yang ada pada
diri anak, setiap orang tua yang bijaksana akan memperhatikan kemampuan yang
dimiliki anaknya untuk kemudian
mengarahkan dan membinanya sehingga kemampuan itu dapat berguna bagi
anak. Setiap anak pada dasarnya memiliki kesiapan untuk menerima, diberi
pemahaman dan menyerap pengetahuan, itu
terbukti dengan kebiasaan anak bertanya kepada orang tuanya bila menemukan
sesuatu yang belum diketahui dan hal lain yang mengarah kepada masalah itu.
c.
Orang Tua Pembina Keluarga
Dilihat dari status
anak dan orang tua secara struktural, jelas orang tua dalam setiap
keluarga berperan sebagai pemimpin, semenrtara anak adalah yang dipimpin.
Pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Karena itu dapat
dikatakan bahwa baik burukbya suatu keluarga akan banyak bergantung kepada
bagaimanakah kepemimpinan orang tua dalam keluarga. Orang tua sebagai pemimpin
dalam lingkungan keluarga memilki kewajiban untuk memenuhi hak-hak yang dipimpinnya,
sebagaimana dinyatakan dalam hadits sebagai berikut:
Artinya : kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah
memberi nama yang baik, membaguskan akhlaknya, mengajar baca tulis, mengajar
berenang, mengajar memanah atau menmbak. Memberi makan yang halal, dan
menjodohkannya bila telah dewasa dan orang tuanya mampu.[109]
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab orang tua sebagai
pemimpin dalam keluarga, tentu saja setiap orang tua perlu mengamalkan dan
menerapkan perintah di atas sehingga anak memiliki nama yang baik, enak
dipanggil, senang yang dipanggil, dan memiliki makna. Demikian pula halnya
dalam membina prilaku atau akhlak, setiap orang tua berkewajiban untuk membina
akhlak anak-anaknya sehingga dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat ia akan
mampu berprilaku sesuai dengan norma-norma ajaran Islam. Keadaan anak yang
masih memerlukan pembinaan menuntut pembinaan intensif dari orang tua.
a.
Orientasi
Pendidikan dari Orang Tua Kepada Anaknya
Pendidikan yang dilkaukan oleh orang tua terhadap setiap
anak, dilihat dari sudut pandang ajaran Islam, tiada lain diorientasikan kepada
hal-hal sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a.
Mengharap Ridha Allah
Tujuan yang hakiki dari hidup muslim
adalah mendapatkan keridhaan Allah swt., Menurut Hamka,[110] ridha Allah mestilah menjadi tujuan dari semua aktivitas
manusia, sehingga daripadanya ia akan rela melakukan perintah serta menajuhkan
diri dari apa-apa yang dilarang-Nya. Bila tujuan hidupnya hanya mengejar
keuntungan di dunia saja, maka bimbingan agama kepada anak-anak kurang begitu
penting. Tetapi bila tujuan hidupnya adalah meliputi kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, demi keridhaan Allah, maka bimbingan agama kepada anak merupakan
suatu hal sangat penting. Dan tentu saja tujuan bimbingan agama kepada anak,
kita arahkan kepada upaya untuk mencapai ridha Allah.
Membimbing anak dalam masalah agama
merupakan perintah Allah. Artinya, Allah akan ridha melihat hambanya membina
anak sebagai amanah dengan cara yang benar, yakni sesuai dengan ketentuan
Islam. Bila tujuan membimbing anak bukan didasarkan kepada keinginan mendapat
ridha Allah, maka orang tersebut rugi hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Quran surat Ali Imran ayat 85.
Artinya: Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhir termasuk
orang-orang yang rugi.
b.
Memberi Bekal Hidup
Telah maklum bagi orang Islam bahwa
anak adalah amanah Allah. Artinya, tidaklah ringan beban orang tua yang telah
mendapatkan amanah dari Allah it. Anak sebagai barang amanah harus dipelihara
dan dirawat sesuai dengan pesan dari pihak yang memberi amanah. Yang dalam hal
ini adalah Allah. Perputaran zaman yang menyertai kehidupan setiap manusia,
membawa konsekuensi tersendiri tanggung jawab orang tua dalam mebina anak
sebagai amanah Allah. Bimbingan yang diberikan
oleh orang tua kepada anak-anak haruslah berorientasi kepada upaya
memberikan bekal hidup, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan
akhirat.Anak-anak perlu diberi pengetahuan, dibimbing dan diarahkan hidupnya,
karena mereka akan menghadapi suatu zaman
yang berbeda dengan zaman orang tuanya. Sebagaimana dalam hadits : Artinya :
Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu dijadikan untuk menghadapi zaman yang sama sekali
berbeda dengan zamanmu[111].
Berdasarkan hadits tersebut, maka
menjadi jelas bahwa mendidik, membina dan mengarahkan anah harus diorientasikan
pada upaya memberi bekal hidup untuk menghadapi masa yang akan datang. Sejalan
dengan pekembangan zaman, maka yang
perlu dibekalkan kepada anak-anak adalah iman
dan ilmu.
Allah mengajarkan kepada manusia bahwa
bekal hidup di masa mendatang harus diperhatikan, sebagaimana diterangkan dalam
al-Quran surat an-nisa ayat 9 sebagai
berikut :
Artinya : Dan hendaklah kamu takut
kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka itu mengkhawatirkan
terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[112]
Berdasarkan ayat tersebut, setiap
generasi perlu merasa khawatir akan siksa Allah, jika mereka meninggalan
anak-anak yang lemah, baik lemah iman, lemah ekonomi maupun lemah
pengetahuannya. Ketiga kelemahan tersebut dapat menjerumuskan manusia kepada
kejahatan, yang tentunya tidak saja merugikan dirinya sendiri, tetapi juga
merugikan orang lain.
c.
Membentuk Pribadi Anak yang Shaleh
Bagi umat Isam, idealnya setiap orang
tua yang telah memiliki anak, mengharapkan putra putrinya menjadi anak shaleh.
Hal demikian sangat wajar, karena anak shaleh dapat menjungjung tinggi nama
baik orang tuanya. Ia merupakan hiasan rumah tangga . Dengan demikian bimbingan
yang diberikan kepada mereka harus
diupayakan dalam rangka membentuk anak yang shaleh. Anak yang shaleh akan
senantiasa memberikan kebaikan kepada kedusa orang tuanya di dunia mapupun di akhirat, sebagaimana diterangkan
dalam hadits. Artinya: Apabila anak Adam telah meninggalkan dunia, maka
hapuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.[113]
Karena anak yang shlaeh akan memberikan
manfaat selagi orang tua hidup dan setelah matinya, maka setiap orang tua
idealnya selalu mengharapkan anak yang shaleh. Terbentuknya anak yang shaleh
salah satunya adalah melalui pembinaan agama. Jadi sangat wajar jika pembinaan
orang tua terhadap anaknya diorientasikan kepada pembentukan anak yang shaleh.
b. Pola
Komunikasi Edukatif dalam Mendidik Anak
Hubungan dalam pendidikan sebagian
besar berjalan dalam pola hubungan langsung. Demikian pula dalam komunikasi
pendidikan. Komunikasi pendidikan merupakan bagian dari komunikasi
interpersonal yang dipengaruhi oleh komponen persepsi, konsep diri, atraksi,
dan hubungan. Dan pola komunikasi
pendidikan akan dipengaruhi pula oleh struktur pendidikan itu sendiri.
Pola-pola komunikasi pendidikan dapat
dikelompokkan pada komunikasi formal, komunikasi semi formal dan komunikasi non
formal.
a.
Pola Komunikasi Formal
Yang dimaksud dengan pola komunikasi
formal adalah komunikasi yang terjadi untuk membicarakan hal-hal yang bersifat
prinsip dalam pendidikan yakni dalam proses belajar mengajar, dilakukan dalam
waktu tertentu, tempat tertentu, dan menggunakan cara-cara tertentu yang lazim
dalam sebuah pendidikan.[114] Dalam hal ini dapat dicontohkan saat orang tua
memberikan petuah kepada ana-anaknya secara bersama dengan anak lain atau
anggota keluarga lainnya. Dalam keadaan seperti ini komunikasi mengambil pola
kelompok, di mana tahapannya adalah sebagai berikut:
Kebergantungan pada otoritas. Pada umumnya pemegang otoritas
dalam sebuah pendidikan keluarga adalah suami atau ayah dari anak-anak.
Keputusan-putusan yang diambil oleh pemegang otoritas menjadi dasar pemecahan
masalah yang dihadapi dan informasi atau pesan dari pemegang otoritas menjadi
semacam aturan yang mesti ditaati.
Kebergantungan satu sama lain. Pada tahap berikutnya, setelah
disadari adanya kelebihan dan kekurangan dalam diri semua angota pendidikan,
maka akan muncul kebergantungan satu sama lain melalui keterbukaan
interpersonal.
b.
Pola Komuniasi Semiformal
Dalam pola komuniasi semacam ini, baik masalah, situasi dan
waktu penyampaian pesan dari komuniktor kepada komunikate tidak dalam kondisi
yang tertentu, tetapi isi pesan yang disampaikan mungkin saja merupakan hal-hal
yang sangat penting untuk mengubah sikap dan tingkah laku, memberikan
pengertian, menggugah minat, dan menumbuhkan harapan-harapan. Pelaksanaannya
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung kepada pokok pesan atau
menggunakan variasi penyampaian. Yang penting diperhatikan disini adalah
sampainya pesan/informasi secara benar kepada pihak komunikate.
Dalam kehidupan nyata di keluarga dapat dicontohkan, bila
seorang ayah sambil duduk-duduk di ruang makan mengingatkan kepada anaknya akan
pentingnya belajar dengan sungguh-sungguh, menceritakan pengalaman hidupnya,
dan menyampaikan harapan-harapan dirinya kepada mereka. Metode untuk komunikasi
semi formal misalnya bertanya kepada anak tentang suatu masalah, berdiskusi
tentang suatu masalah yang spontan tetapi mengandung faidah, bercerita dan
sebagainya.
c.
Pola Komunikasi Nonformal
Pada pola komukasi yang non formal, baik waktu maupun
tempatnya sama sekali tidak direncanakan. Namun demikian, isi pesan yang
disampaikan dapat saja hal-hal yang sangat penting bagi pendidikan. Misalnya
pada saat bermain, liburan, pada waktu-waktu senggang yang pelaksanaan komunikasinya
secara langsung atau tiba-tiba, tidak melalui persiapan. Hal-hal yang
dipesankan bukan merupakan hal yang prinsip dalam pempolaan sikap, minat dan
pribadi peserta didik.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dengan anak usia
anak adalah komunikasi yang benar, tepat pada sasaran. Efektivitas komunikasi
ditentukan oleh beberapa faktor. Antara lain komunkator, komunikate, dan media
yang digunakan untuk berkomunikasi.
Dan ada beberapa hal yang dapat menghambat efektivitas
komunikasi, seperti hambatan psikologis, hambatan kultural, dan hambatan
lingkungan. Hambatan-hambatan ini dalam komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noises.
Secara umum, komunikasi dikatakan efektif apabila ada
kesamaan; pesan dari sumber pesan yang disampaikan dengan menggunakan media
kepada komunikate, sama dengan pesan yang diterima komunikate dari sumber pesan
(komunikator). Dalam pola sederhana proses pesan yang efektif dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani dan
sebagai penyebab berkenalannya dengan dunia luar, maka setiap reaksi emosi anak
dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh oleh sikap terhadap orang tuanya
di permulaan hidupnya dahulu. Perasaan anak kepada orang tuanya sebenarnya
sangat kompleks, ia adalah campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang
selalu melakukan interaksi, pertentangan dan memuncak pada umur-umur tertentu.[115]
Anak yang merasakan komunikasi harmonis di lingkungan
pendidikannya, ia berkesempatan untuk berpikir logis, dan mengkritik
pendapat-pendapat yang tidak masuk akal. Perkembangan anak ke arah berpikir logis
juga mempengaruhi pola komunikasi yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan.
Secara lebih mendalam tentang komunikasi yang efektif
antara orang tua dengan anak usia peserta didik, dapat dikaji dari indikator a) Menimbulkan
pengertian; b) Menimbulkan Kesenangan; c) Menimbulkan pengaruh pada sikap; d)
Menimbulkan hubungan yang makin baik; e) Menimbulkan Tindakan
Masing-masing indikasi komunikasi edukatif tersebut dapat
dijelaskan secara lebih rinci pada uraian berikut ini.
a.
Menimbulkan Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari stimuli
seperti yang dimaksud oleh komunikator. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
komunikasi yang efektif itu adalah timbulnya pengertian pada komunikate tentang
pesan yang disampaikan oleh komunikator melalui media yang digunakan. Kita
pahami bahwa tujuan komunikasi itu untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik,
dimana hubungan sosial merupakan kebutuhan sosial, dan kebutuhan sosial ini
hanya akan terpenuhi jika terjadi komunikasi interpresonal yang efektif, yakni
yang menimbulkan pengertian.[116]
Kegagal pendidikan dalam menciptakan komunikasi yang
menimbulkan pengertian tergolong kegagalan primer. Agar tidak terjadi kegagalan
dalam komunikasi interpersonal dan supaya tetap survival dalam bermasyarakat,
maka setiap individu harus terampil memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas komunikasi interpersonal, seperti persepsi dan hubungan
interpersonal. Sebaliknya, komunikasi yang tidak menimbulkan pengertian pada
komunikan (komunakator dan komunikate), maka tergolong komunikasi yang tidak
efektif).
Dalam hubungan pendidikan adakalanya pesan yang
disampaikan oleh orang tua atau pesan yang disampaikan oleh anggota pendidikan
tidak menimbulkan pengertian pada pihak lain. Misalnya orang tua menyampaikan
kepada peserta didiknya agar bersikap baik, tidak berbohong, tetapi anak tetap
berperilaku tidak baik. Adakalanya juga peserta didik, dengan
perilaku-perilakunya menyampaikan pesan kepada orang tua, tetapi orang tua
tidak respon terhadap perilaku anak tersebut. dalam keadaan seperti ini maka
terjadi komunikasi yang tidak efektif.
Ditinjau dari sumber ajaran Islam, komunikasi yang
menimbulkan pengertian itu adalah komunikasi yang menimbulkan kepatuhan atas
hal yang menjadi isi pesan. Hal ini tersirat dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat
9 sebagai berikut:
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang mereka peserta didik-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.[117]
Ucapan yang benar mengandung makna ucapan yang dapat
dimengerti, jelas sasaran, memiliki sumber atau landasan yang kuat, serta dapat
dipertangungjawabkan karena mengandung kebenaran, ketegasan dan disampaikan
dengan cara-cara yang benar.
b.
Menimbulkan Kesenangan
Ciri lain dari komunikasi yang efektif adalah menimbulkan
kesenangan pada kedua belah pihak karena adanya kesamaan pengertian dan
kesamaan kepentingan. Dalam kenyataannya, tidak semua komunikasi ditujukan
untuk menyampaikan informasi dan mempola pengertian. Ada perkataan-perkataan dan perbuatan dalam
komunikasi yang hanya bertujuan menyenangkan orang lain, seperti ucapan selamat
pagi, dan komunikasi lain yang bersifat fatis, yang dimaksudkan untuk
menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menyebabkan di antara manusia
menjadi akrab dan menyenangkan.[118]
Unsur perasaan senang dalam berkomunikasim perlu
diwujudkan agar dalam melaksanakan anak tidak merasa terpaksa. Dengan terlebih
dahulu menjelaskan hal yang akan diterima/dijelaskan atau dipesankan itu adalah untuk kepentingan anak dan
kepentingan pendidikan, maka anak yang telah memahami dan mengerti keadaan
tersebut umumnya akan melakukan isi pesan dengan senang hati tanpa ada unsur
keterpaksaan, mengerjakan perbuatan dengan penuh kegembiraan. Pada sisi lain,
informasi yang diberikan oleh orang tua juga disarankan berisi informasi yang
menggembirakan.
Hal ini secara ekplisit tercermin dalam ayat Al-Quran
surat Al-Baqoroh ayat 25 sebagai berikut.
Artinya: Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka
yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan
kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk
mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.[119]
Menjelaskan manfaat-manfaat berbagai hal yang akan
dikomunikasikan, tujuan, dan menjelaskan tata-caranya secara benar akan
mempermudah pelaku komunikasi menerima isi pesan dengan senang hati. Hal ini
dapat terjadi karena ada keterlibatan diri dari setiap anggota pendidikan
secara langsung, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam
proses penyelesaian suatu masalah.
c.
Menimbulkan Pengaruh pada Sikap
Karakteristik komunikasi yang efektif dalam lingkungan
pendidikan salah satunya adalah menimbulkan pengaruh yang positif pada diri
komunikan. Ditinjau dari sumber ajaran Islam, tentang komunikasi yang
berpengaruh pada sikap ini erat kaitannya dengan Al-Quran surat An-Nur ayat 51
sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila
mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami patuh." Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.[120]
Perkataan "kami mendengar dan kami patuh" dari
orang-orang mukmin itu karena di dalam dirinya telah memiliki pengertian bahwa
Allah dan Rosul-Nya adalah benar sehingga apa yang disampaikan ditaati dan
dipatuhi, ini adalah wujud komunikasi yang mempengaruhi sikap.
d.
Menimbulkan Hubungan Sosial yang Baik
Komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya hubungan
yang baik di antara komunikator dengan komunikan, sehingga dapat menimbulkan
interaksi yang positif sebagai kebutuhan social. Kebutuhan sosial adalah
kebutuhan untuk menumbuhkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam
interaksi dan asosiasi (inclusion),
pengendalian dan kekuasaan (control),
dan cinta kasih sayang (effection).
Secara singkat, kita ingin bergabung dengan orang lain, kita ingin
mengendalikan dan dikendalikan, ingin dicintai dan ingin mencintai.[121]
Hubungan sosial yang baik sebagai hasil komunikasi yang
efektif antara lain terwujud dalam tata pergaulan bermasyarakat yang saling
menolong antara satu sama lain, menghargai pendapat, serta toleran terhadap
perbedaan.
e.
Melakukan Tindakan
Persuasi sebagai salah satu tujuan komunikasi tidak lain
dari upaya mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuatu yang dikehendaki.
Mempengaruhi orang lain untuk bertindak memang sangat sulit, tetapi efektivitas
komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate.
Indikator ini dikategorikan paling sulit, tetapi paling penting.
Untuk menimbulkan tindakan kita harus berhasil menanamkan
pengertian, mempola dan mengubah sikap, dan menimbulkan hubungan yang baik,
barulah akan terlaksana tindakan-tindakan. Jadi tindakan adalah hasil kumulatif
seluruh proses komunikasi. Konsep ini dapat diterapkan baik dalam komunikasi di
sekolah, dalam rumah tangga maupun dalam komunikasi sosial bermasyarakat.
Efektivitas dari komunikasi semacam ini dapat dirasakan sehingga akan mempola
tindakan-tindakan positif, mempola kesadaran diri, dan mempola hubungan yang baik
dengan sesama manusia.
DAFTAR
REFERENSI
1.
Muhammad Saleh
Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2
November 2010), h. 369.
3.
Hanafi
Martadikusumah, Stigma Poligami dan
Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia, 2013),
h. 2.
4.
MarzukiMemahami Ketentuan Poligami dalam Hukum
Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 2012), h. 1
5.
Hanafi
Martadikusumah, Stigma Poligami dan
Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). 2013.
Hal 5
6.
Tim Penerjemah
Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya.
(Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h. 115.
7.
Rafid Abbas. Poligami Dalam Kajian Nash Al-Qur’an
dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012), h. 140.
8.
Arif Rohman. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Studi
in Indonesia. (International Journal of Humanities and Social Science. ISSN
(www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
9. Heater Johnson. There are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past,
Present, and Future. (William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol.
11), p. 575.
10. Abdul Gani Abdul Rohman Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet and Wisdom of
Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
11.
Abu Salma
Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat Syariat
dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu
salma. 2007), h. 10-13.
12.
Ahmad H. Sheriff. Why Polygamy is Allowed in Islam. (World Organization for Islamic
Services Tehran. Iran. Revised Edition, 1977). P. 10-12..
13.
Muhammad Rasyid
Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj. Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h.
2.
14.
Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic
Law. (Islam24.hours.yolasite.com/ resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.),
p 3.
15. Quraish
Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 197-199.
16. Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan
Terjemahnya, (Departemen Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
17.
Ibid. h. 115.
18. Imam Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir
Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran
Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy
Ahlul Hadits. 774 h. www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
19. Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media, Bandung, 2005), h. 7.
20. Amir Syarifuddin. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
21. Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 120.
22. Opcit. Ibnu Katsir, h. 34.
23. Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 56.
24. Lajnah Min Ulama Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab. 62-63
25.
Al-Hamdani. Risalah
Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah
Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam. Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
26. Ahmad Rofiq. Hukum
Islam di Indonesia. (Rajawali Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
27.
Abu Aminah Bilal
Philips and Jameelah Jones. Polygamy in
Islam. (Tawheed Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
28. Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
29. Imam Bukhari. Matnu
Al-Bukhori (Juz 3. Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa
auladuhu. Darul Kitab Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
30.
Abi Abbas
Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu
Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari, (Darul Fiqr, jilid 11), h.150, hadits no: 4574.
31. Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
32. Ibid. 180
33. Ibid. 181
34. Opcit. Al-Hamdani, h. 79.
36. Opcit. Al-Marogi, h. 182
37.
Maulana
Wahiduddin Khan. Polygamy and
Islam.
(Da’wah booklets), h. 4.
39. Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
40.
Opcit. Rasyid Ridha, h. 72
41. Ibid.
42. Locit. Rafid Abbas, h. 146.
43.
Syeh Abdul Aziz
bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah
Muhammad Iqbal A. Gazali. Islamhouse. 2010), h. 1- 5.
44.
muslimahzone.arrahmah.com.
Hak-hak Istri dalam Berpoligami.
(Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h. 1-4
45. Ali Alhamidy.
Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif, 1983), 112- 115.
46. UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2)
47. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57.
Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
48. Quraish Shihab.
M. Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996),
h.
49. Lia Noviana. Persoalan Praktek
Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2012.
51. ibid
52. Abdurrachman (1995),
Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta.:
Akademika Presindo
53. Khadijah Shaleh. Hak
dan Kewajiban Wanita dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
54. Opcit. Alhamdani, h. 79-83.Lihat juga Ahmad H. Sheriff.
H. 9 – 24.
55. Opcit. Muhammad Rasyid Ridha, h.58. Lihat juga Ali
Al-Hamidy, h. 113.
56. Opcit. Ahmad Rofiq, h. 171.
57. Opcit. Ali Al-Hamidy, h. 113
58. Opcit. Rasyid Ridha, h. 59
59. Soekanto, Sorjono. Pengantar
Sosiologi, Jakarta : Rajawali. 1990. Hal. 1
60. William J. Goode, 1985. Sosiologi Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
61. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan. (Jakarta:
Pustaka Al-Husna. 1987), h. 346
62. Ishak Solih. Manajemen
Rumah Tangga. (Bandung: Angkasa, 1983), 11-12.
63. MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga.
(Bandung: Albabeta, 2001), h. 5-13.
64.
Penyunting
Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga
Muslim dalam Masyarakat Modern (Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang
Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), 7-13.
65. Op Cit. Hasan Langgulung.
66.
Abubakar
Muhammad. Membangun Manusia Seutuhnya
menurut Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
67. Loc. Cit Al-Quran dan Terjemahnya.
68. Ibid
69. Ramayulis. Pendidikan
Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia. 1987), h. 24.
70. Op Cit.
71. Loc. Cit.
72. Ibid.
73. Zakiyah Daradjat. Ilmu
Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 56.
74. Loc. Cit. Penyunting Jalaludin Rahmat. (Djuju Sudjana.
Peran Kuluarga di Lingkungan Masyarakat.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 20-26.
75. Op. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya.
76. Op cit. Melly, h. 12
77. Ibid. Melly, 11
78. Op cit. Djuju, 21
79. Azyumardi Azra.
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. (Jakarta:
Logos. 1999), h. 5.
80.
Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
81.
Hasan Langguling, Asas-Asas
Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
82.
Depdiknas. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
83.
Soerjono Soekanto. Sosiologi
Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta,
1990), hlm. 1.
84.
William J. Goode. Sosiologi
Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
85.
Hasan Langgulung. Beberapa
Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
86.
M.I. Soelaeman. Pendidikan
dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
87.
Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
88.
Oemar M. Al-Toumy. Filsafat
Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
89.
Ibid.
90.
Muhammad Qutb. Sistem
Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
91.
Hasan Langgulung. Asas-asas
Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
92. Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam
(Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
93. Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta:
Pustaka, 1987), h. 107.
94. Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan,
1984), h 84.
95. [1] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam
(Bandung: Dipanegoro, 1992), h. 162.
96. Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif,
1987), h. 59.
97.
Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
98.
Baharuddin. Pendidikan
Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
99. Op Cit. Depag RI, 1984:1041
100.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 46.
101. Ibnu Mustafa. Keluarga
Islam Menyongsong Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
102.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 48.
103. Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi
tarbiyatul athfal, Sihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
104.
Umar Hasyim. Anak Shaleh seri II.Cara Mendidik Anak dalam
Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991), h. 22
105. H.R. Bazuri, dalam Umar hasyim, 1991), h. 24
106.
Masy’ari Anwar. 1986. Membentuk Pribadi Muslim, (Bandung :
Al-Ma’arif, 1982), h. 14
107.
Ibid.
108.
Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya.
(Bandung: Al-Ma’arif. 1986), h. 204.
109.
Opcit. Umar Hasyim, h. 148
110.
Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983), h. 201.
111.
Loc. Cit. Umar Hasyim.
112. Loc. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya, h. 116.
113.
Ahmad Isya 'Asyur, Hak dan Kewajiban Anak. (Birul
Walidain Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988),
h. 35
114. Op Cit. Ramayulis.
115. Zakiyah Daradjat. Ilmu
Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 1989),
h. 38.
116. Jalaludin Rakhmat. Psikologi
Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
117. Opcit.
118. Loc. Cit. Jalaludin.
119. Ibid
120. Ibid.
121. Op Cit. Jalaludin.
REFERENSI
BAHASA ASING
Abdul Gani Abdul Rohman Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet and Wisdom of
Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
Abi
Abbas Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu
Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari, (Darul Fiqr, jilid 11), h.150, hadits no: 4574.
Abu Aminah Bilal Philips and Jameelah Jones. Polygamy in Islam. (Tawheed
Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
Ahmad H. Sheriff. Why Polygamy is
Allowed in Islam. (World Organization for Islamic Services Tehran. Iran.
Revised Edition, 1977). P. 10-12..
Ahmad
Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi.
(Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
Arif Rohman. Reinterpret
Polygamy in Islam: A Case Study in Indonesia. Journal of Humanities and
Social Science. ISSN (www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic Law. (Islam24.hours.yolasite.com/
resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.), p 3.
Heater Johnson. There are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past,
Present, and Future. (William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol.
11), p. 575.
Imam
Bukhari. Matnu Al-Bukhori (Juz 3.
Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa auladuhu. Darul Kitab
Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
Imam
Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy Ahlul Hadits. 774 h.
www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
Lajnah
Min Ulama Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab.
62-63
Maulana Wahiduddin Khan. Polygamy
and Islam.
(Da’wah booklets), h. 4.
REFERENSI
BAHASA INDONESIA
Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam
(Bandung: Dipanegoro, 1992), h. 162.
Abdurrachman (1995),
Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta.:
Akademika Presindo
Abu Salma Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban
Rasional Bagi Para Penghujat Syariat dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah
Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu salma. 2007), h. 10-13.
Abubakar Muhammad. Membangun
Manusia Seutuhnya menurut Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
Ahmad Isya 'Asyur, Hak dan
Kewajiban Anak. (Birul Walidain
Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988), h. 35
Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
Ahmad Rofiq. Hukum
Islam di Indonesia. (Rajawali Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam
(Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
Al-Hamdani. Risalah Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam.
Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
Ali Alhamidy.
Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif, 1983), 112- 115.
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), h. 107.
Amir Syarifuddin. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
Anonimous. UU RI No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
Azyumardi Azra.
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. (Jakarta:
Logos. 1999), h. 5.
Baharuddin. Pendidikan Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.
675.
H.R. Bazuri, dalam Umar hasyim, 1991), h. 24
Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 201.
Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum
Perkawinan Indonesia, 2013), h. 2.
Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum
Perkawinan Indonesia). 2013. Hal 5
Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan. (Jakarta:
Pustaka Al-Husna. 1987), h. 346
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam.
(Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif,
1987), h. 59.
Ibnu Mustafa. Keluarga
Islam Menyongsong Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
Ishak Solih. Manajemen
Rumah Tangga. (Bandung: Angkasa, 1983), 11-12.
Jalaludin Rakhmat. Psikologi
Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi
tarbiyatul athfal, Sihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
Khadijah Shaleh. Hak
dan Kewajiban Wanita dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
Lia Noviana. Persoalan Praktek
Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2012.
M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung:
Alfabeta, 2001), hlm. 9
MarzukiMemahami
Ketentuan Poligami dalam Hukum Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
2012), h. 1
Masy’ari Anwar. 1986. Membentuk
Pribadi Muslim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1982), h. 14
MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga.
(Bandung: Albabeta, 2001), h. 5-13.
Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung:
AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
Muhammad Rasyid Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj.
Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap
Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h. 2.
Muhammad Saleh Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat
dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2 November 2010), h. 369.
muslimahzone.arrahmah.com. Hak-hak Istri dalam Berpoligami. (Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h.
1-4
Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), hal. 399
Penyunting Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern
(Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan
Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 7-13.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57.
Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya. (Bandung: Al-Ma’arif. 1986), h.
204.
Quraish Shihab.
M. Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996),
h.
Quraish
Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 197-199.
Rafid Abbas. Poligami
Dalam Kajian Nash Al-Qur’an dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3
No.1 Maret 2012), h. 140.
Ramayulis. Pendidikan
Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia. 1987), h. 24.
Soekanto, Sorjono. Pengantar
Sosiologi, Jakarta : Rajawali. 1990. Hal. 1
Soelaiman Joesoef dan Slamet
Santoso. Pendidikan Luar Sekolah
(Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
Soelaiman Joesoef dan Slamet
Santoso. Pendidikan Luar Sekolah
(Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal
Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan,
1984), h 84.
Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan,
Bandung, 1984), hal. 51.
Syeh Abdul Aziz bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah Muhammad Iqbal A. Gazali. Islamhouse.
2010), h. 1- 5.
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan
Terjemahnya, (Departemen Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. (Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h.
115.
Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media, Bandung, 2005), h. 7.
Umar Hasyim. Anak
Shaleh seri II.Cara Mendidik Anak dalam Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991),
h. 22
UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2)
William J. Goode, 1985. Sosiologi Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina
Aksara, 1987), hlm. 7.
Zakiyah Daradjat. Ilmu
Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 56.
Zakiyah Daradjat. Ilmu
Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 1989),
h. 38.
[1] Muhammad Saleh Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2
November 2010), h. 369.
[3] Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum
Perkawinan Indonesia, 2013), h. 2.
[4] MarzukiMemahami Ketentuan Poligami dalam Hukum
Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
2012), h. 1
[5] Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif
Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). 2013. Hal 5
[6]
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan
Terjemahnya. (Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h. 115.
[7] Rafid Abbas. Poligami Dalam Kajian Nash Al-Qur’an
dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012), h. 140.
[8] Arif Rohman. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Studi
in Indonesia. (International Journal of Humanities and Social Science. ISSN
(www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
[9] Heater Johnson. There
are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future.
(William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol. 11), p. 575.
[10]Abdul Gani Abdul Rohman
Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet
and Wisdom of Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
[11] Abu Salma Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat Syariat dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah
Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu salma. 2007), h. 10-13.
[12] Ahmad H.
Sheriff. Why Polygamy is Allowed in
Islam. (World Organization for Islamic Services Tehran. Iran. Revised
Edition, 1977). P. 10-12..
[13] Muhammad Rasyid Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj. Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h.
2.
[14] Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic Law. (Islam24.hours.yolasite.com/
resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.), p 3.
[16]
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, (Departemen
Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
[17]Ibid. h. 115.
[18]
Imam Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy Ahlul Hadits. 774 h.
www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
[19] Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media,
Bandung, 2005), h. 7.
[20]
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
[21] Locit Al-Quran dan
Terjemahnya, h. 120.
[22] Opcit. Ibnu Katsir, h.
34.
[23] Locit Al-Quran dan
Terjemahnya, h. 56.
[24] Lajnah Min Ulama
Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab. 62-63
[25] Al-Hamdani. Risalah
Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah
Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam. Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
[26] Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. (Rajawali
Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
[27] Abu Aminah Bilal Philips
and Jameelah Jones. Polygamy in Islam. (Tawheed
Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
[28] Opcit. Al-Quran dan
Terjemahnya.
[29]
Imam Bukhari. Matnu Al-Bukhori (Juz
3. Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa auladuhu. Darul Kitab
Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
[30]
Abi Abbas Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu
Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari, (Darul Fiqr, jilid 11), h.150,
hadits no: 4574.
[31] Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr.
Mesir), h. 180.
[32] Ibid. 180
[33] Ibid. 181
[34] Opcit. Al-Hamdani, h. 79.
[36] Opcit. Al-Marogi, h. 182
[37] Maulana Wahiduddin Khan. Polygamy and Islam.
(Da’wah booklets), h. 4.
[39] Opcit. Al-Quran dan
Terjemahnya.
[41] Ibid.
[42] Locit. Rafid Abbas, h.
146.
[43] Syeh Abdul Aziz bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah Muhammad Iqbal
A. Gazali. Islamhouse. 2010), h. 1- 5.
[44]
muslimahzone.arrahmah.com. Hak-hak Istri
dalam Berpoligami. (Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h. 1-4
[45] Ali Alhamidy. Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif,
1983), 112- 115.
[47]
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a
dan KHI pasal 57. Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
[48]
Quraish Shihab. M.
Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996),
h.
[49] Lia Noviana. Persoalan
Praktek Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim. 2012.
[51] ibid
[53]
Khadijah Shaleh. Hak dan Kewajiban Wanita
dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
[54]
Opcit. Alhamdani, h. 79-83.Lihat juga Ahmad H. Sheriff. H. 9 – 24.
[55] Opcit. Muhammad Rasyid
Ridha, h.58. Lihat juga Ali Al-Hamidy, h. 113.
[56] Opcit. Ahmad Rofiq, h.
171.
[57] Opcit. Ali Al-Hamidy, h.
113
[58] Opcit. Rasyid Ridha, h.
59
[59] Soekanto, Sorjono. Pengantar Sosiologi, Jakarta : Rajawali.
1990. Hal. 1
[60] William J. Goode, 1985. Sosiologi
Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
[62] Ishak Solih. Manajemen Rumah Tangga. (Bandung:
Angkasa, 1983), 11-12.
[63] MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung:
Albabeta, 2001), h. 5-13.
[64] Penyunting Jalaludin
Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga
Muslim dalam Masyarakat Modern (Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang
Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), 7-13.
[65] Op Cit. Hasan Langgulung.
[66] Abubakar Muhammad. Membangun Manusia Seutuhnya menurut
Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
[67] Loc. Cit Al-Quran dan
Terjemahnya.
[68] Ibid
[69] Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta:
Kalam Mulia. 1987), h. 24.
[70] Op Cit.
[71] Loc. Cit.
[72] Ibid.
[73] Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 56.
[74]
Loc. Cit. Penyunting Jalaludin Rahmat. (Djuju Sudjana. Peran Kuluarga di Lingkungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1993), h. 20-26.
[75] Op. Cit. Al-Quran dan
Terjemahnya.
[76] Op cit. Melly, h. 12
[77] Ibid. Melly, 11
[78] Op cit. Djuju, 21
[79] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Melenium Baru. (Jakarta: Logos. 1999), h. 5.
[80] Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
[81] Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm.
3
[82] Depdiknas. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
[83] Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak.
(Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
[84] William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
[85] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987),
hlm. 346.
[86] M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
[87] Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
[88] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
[89] Ibid.
[90] Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
[91] Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal.
55.
[92] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
[93] Ali Ashraf. Horison
Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), h. 107.
[94] Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep
Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), h 84.
[95] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: Dipanegoro,
1992), h. 162.
[97] Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
hal. 1
[98] Baharuddin. Pendidikan
Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
[100] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 46.
[101]
Ibnu Mustafa. Keluarga Islam Menyongsong
Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
[102] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha
Nasional, t.t.), 48.
[103]
Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak
Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi tarbiyatul athfal, Sihabudin.
Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
[104]
Umar Hasyim. Anak Shaleh seri II.Cara
Mendidik Anak dalam Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991), h. 22
[107]
Ibid.
[108]
Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya. (Bandung:
Al-Ma’arif. 1986), h. 204.
[109]
Opcit. Umar Hasyim, h. 148
[110]
Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), h. 201.
[111]
Loc. Cit. Umar Hasyim.
[112]
Loc. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya, h. 116.
[113]
Ahmad Isya 'Asyur, Hak
dan Kewajiban Anak. (Birul Walidain
Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988), h. 35
[114]
Op Cit. Ramayulis.
[116]
Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung:
Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
[117]
Opcit.
[118]
Loc. Cit. Jalaludin.
[119]
Ibid
[120]
Ibid.
[121]
Op Cit. Jalaludin.