PENDIDIKAN ISLAM
A. Landasan Teori
1. Hakikat Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata pedagogia (Yunani) yang
terdiri dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing) yang
menunjuk kepada seorang pelayan pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya
mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah. Pendapat yang lain mengatakan
bahwa pendidikan berasal dari bahasa Latin, educare yang berarti
membimbing[1]
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan adalah usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.[2]
Para ahli berbeda satu sama lain dalam memberikan arti
pendidikan. Menurut Prayitno, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3] Dalam Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar[4] mengartikan pendidikan sebagai
memanusiakan manusia. Proses ini terdiri dari dua dimensi utama, yaitu dimensi
statis dan dimensi dinamis. Dimensi statis adalah proses transfer nilai-nilai
yang sudah ada dari generasi yang memilikinya kepada generasi baru. Adapun
dimensi dinamis yaitu transfer dari berbagai bentuk karya, rasa, dan karsa dari
budaya di mana proses pendidikan itu terjadi.
Adapun Sumadi Suryabrata[5] mendefinisikan pendidikan sebagai usaha manusia (pendidik) untuk dengan
penuh tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Bila pendidikan
dikaitkan dengan ajaran agama, maka ia, sebagaimana dikemukakan M. Arifin[6], diartikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik (jasmaniyah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku
hamba Allah.
Definisi-definisi pendidikan di atas, pada hakikatnya,
mengandung makna yang hampir sama. Kesemuanya memberi penekanan bahwa
pendidikan dilaksanakan untuk mengantarkan anak didik dalam menghadapi masa
depannya.[7] Dengan demikian, pendidikan selalu berorientasi untuk masa depan, dengan
tanpa melupakan sejarah dan masa lalu.
Dalam konteks penelitian ini, latar belakang pendidikan
juga terkait dengan fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan menurut Allan G.
Johnson tidak hanya dilakukan untuk menyiapkan seseorang untuk mencapai
pekerjaan yang prestisius; melainkan juga sebagai suatu simbol dari kebudayaan,
status serta untuk memperbanyak tenaga kerja.[8]
Pandangan Johnson di atas diperkuat oleh John R. Kelly[9], yang menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya untuk mempersiapkan tenaga
kerja, melainkan lebih ditekankan pada upaya mempersiapkan berbagai macam
pemenuhan kebutuhan hidup.
Sementara itu, fungsi pendidikan di Indonesia, terutama
untuk jenis pendidikan umum dijelaskan oleh Soedijarto sebagai berikut:
1. fungsi untuk menyiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang berjiwa Pancasila;
2. fungsi untuk membekali peserta didik yang
tidak dapat melanjutkan pendidikannya dengan kemampuan dan keterampilan fungsional,
Pendapat-pendapat
di atas pada umumnya menyatakan bahwa pendidikan memiliki fungsi yang amat
penting dalam membekali peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi yang
ada pada dirinya. Kepercayaan pada fungsi pendidikan dengan berbagai
perangkatnya itu, selanjutnya mendorong manusia dan masyarakat menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.[11]
J.
Katz mengidentifikasi
perubahan-perubahan positif yang alami peserta didik di lembaga pendidikan: (1)
adanya penurunan-penurunan sikap otoriterisme (authoritarianism declines);
(2) pertumbuhan-pertumbuhan otonomi (autonomy grows); (3)
peningkatan-peningkatan penghargaan diri (self-esteem increases); (4)
perluasan-perluasan hubungan (the capacity for relatedness becomes enlarged);
(5) pengalaman politik yang lebih matang (greater political sphistication is shown);
(6) pertumbuhan-pertumbuhan kapasitas asketis (asthetic capacity grows);
and (7) kemampuan siswa dalam menguasai isu-isu teoretis yang lebih luas (students
have a broader grasp of theoretical issues).[12]
Hal
yang sama dikemukakan oleh Harold R. Bowen yang menyatakan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh penting dalam (1) peningkatan pengetahuan dan pengembangan
kognitif (increase knowledge and
cognitive development); (2) peningkatan hubungan antara pencapaian
pendidikan, pengembangan karir, dan pendapatan (increased correlation between educational attainment, career
development, and income); (3) peningkatan penemuan diri pribadi dan perubahan-perubahan
sikap, konsep diri, nilai-nlai dan perilaku (increased personal self-discovery and changes in attitude, beliefs,
self-concept, values, and behavior); dan (4) peningkatan kecakapan praktis
siswa, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga (increased practical competence students, especially in the area of
family life).[13]
Intinya,
hampir semua temuan dalam kajian-kajian atas fungsi-fungsi pendidikan umumnya
dan sekolah pada khususnya, menunjukkan tentang adanya peningkatan positif pada
peserta didik[14]. Karena adanya
penjenjangan pendidikan, di mana masing-masing jenjang pendidikan memiliki
fungsi dan tujuan yang berbeda, maka secara teoretis, out put atau
lulusan masing-masing dari jenjang pendidikan tersebut juga memiliki kemampuan
yang berbeda pula[15].
Ketika
menjelaskan tentang berbagai kelebihan yang dimiliki oleh mereka yang telah
mengikuti jenjang pendidikan tinggi, dibandingkan dengan mereka yang hanya
mengenyam pendidikan dasar dan menengah, A.W. Austin menyebutkan empat kelebihan: Pertama, adanya peningkatan pengetahuan
dan pengembangan kognitif. Pendidikan yang lebih tinggi secara nyata telah
meningkatkan tingkat pengetahuan, watak intelektual, kekuatan kognitif peserta
didik. Di samping itu, meningkatkan keterampilan verbal, penghayatan estetik,
keterbukaan berpikir, dan kesadaran akan pentingnya belajar sepanjang masa.
Bahkan, pendidikan tinggi akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh
pekerjaan yang lebih baik.[16]
Kedua, adanya peningkatan hubungan antara pencapaian pendidikan, pengembangan
karir, dan pendapatan. Hubungan antara pencapaian atau tingkat pendidikan
dengan pendapatan (income), bagaiamanapun telah diteliti dalam jangka
waktu yang lama[17]. Berdasarkan
fakta-fakta dan data-data yang ada, ditemukan adanya hubungan antara prestasi
dan pencapaian pendidikan dengan pengembangan karir dan tingkat pendapatan.[18]
Ketiga, peningkatan penemuan diri pribadi dan perubahan-perubahan sikap,
konsep diri, nilai-nlai dan perilaku. Pendidikan yang lebih tinggi akan
memungkinkan seseorang untuk memiliki kemampuan menemukan diri sendiri (self-discovery) dan konsep diri (self-concept), seperti bakat-bakat (aptitudes), kepentingan-kepentingan (interests), nilai-nilai (values), komitmen-komitmen (commitments), dan aspirasi-aspirasi (aspirations).[19]
Keempat, peningkatan kecakapan praktis, terutama dalam lingkungan kehidupan
keluarga[20]. Kebanyakan pendidikan yang lebih tinggi dipersiapkan untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan individual dan dan kemampuan-kemampuan praktis yang dapat
digunakan di lingkungan keluarga dan masyarakatnya.[21]
Robert E. Kennedy, Jr.[22] menyebutkan bahwa salah satu nilai penting dari pendidikan adalah untuk
membantu seseorang agar memiliki kepribadian yang lengkap, dalam arti memiliki
kemampuan berpikir yang mandiri, berprestasi, dan dapat menikmati kebudayaan.
Pendapat-pendapat
serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di atas, hampir
kesemuanya sepakat bahwa pendidikan yang lebih baik akan berguna bagi
pengembangan individu, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik.
2.
Konsep Pemikiran Pendidikan
Secara
etimologis, kata ”pemikiran” menurut Kamus Bahasa Indonesia disamakan dengan
kata pendapat, pikiran, anggapan, pemikiran atau perkiraan[23]. Pemikiran (thinking) telah
mulai dikaji sejak zaman Plato dan Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles
mengatakan bahwa manusia memiliki banyak persamaan dengan hewan. Fitur yang
membedakan manusia dari hewan lain adalah rasionalitas, yaitu kemampuan
berpikir. Pada abad kesembilan belas, pemikiran di definisikan sebagai satu jaringan
ide yang berasosiasi. Definisi ini dapat menjelaskan beberapa jenis pemikiran,
tapi tidak semua. John Dewey, 1921, mengemukakan tesis bahwa aktivitas berpikir
adalah daya upaya reorganisasi pengalaman dan tingkah laku yang dilaksanakan
secara sengaja. Definisi pemikiran yang paling berpengaruh sampai hari ini
adalah oleh John Dewey, 1933, di mana ia melihat pemikiran sebagai perilaku
menyelesaikan masalah. Konsep Dewey tentang pemikiran menekankan kemungkinan
manusia mulai berpikir sebagai daya upaya untuk beradaptasi ke masalah yang
sukar.
Dalam pandangan John Mayer[24], pemikiran melibatkan
pengelolaan operasi-operasi mental tertentu yang terjadi dalam pikiran atau
sistem kognitif seseorang yang bertujuan untuk pemecahan masalah. Selanjutnya
Mayer menyatakan bahwa pemikiran adalah pembentukan ide-ide, pembentukan
kembali pengalaman dan penyusunan informasi-informasi dalam bentuk tertentu.
Menurut Mayer pula, pemikiran merupakan proses luar biasa yang digunakan dalam
membuat keputusan dan pemecahan masalah. Pemikiran manusia telah berkembang
sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai permasalahan yang sulit. Konsepnya
itu menyebabkan para ahli psikologi memberi tekanan yang berlebihan pada
pemikiran adaptif dan praktikal. Tujuan berpikir adalah untuk mengumpulkan
informasi dan menggunakannya sebaik mungkin. Karena, cara pikiran bekerja untuk menghasilkan
corak-pola konsep yang ditetapkan tidak menggunakan sepenuhnya informasi baru,
melainkan dengan memodifikasi pola-pola pemikiran lama dan memperbaruinya. Proses pemikiran terjadi ketika konsentrasi daya usaha
untuk mencapai sesuatu kesimpulan atau menyelesaikan seputar hal-hal tertentu
untuk mendapatkan kesimpulan, usaha itu menggunakan fakultas kognitif untuk
melaksanakannya tanpa dipengaruhi oleh emosi. Ada tiga jenis dalam proses
keterampilan berpikir ini, di antara ketiga keterampilan ini tujuan utamanya
adalah menuju ke arah membuat keputusan dan pemecahan masalah.
Karena masalah pemikiran
pendidikan merupakan bagian dari disiplin filsafat pendidikan, maka dipandang
perlu untuk meninjau konsep dan hakikat filsafat pendidikan.
Menurut
Al-Syaibany[25],
filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan.
Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan
nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal
ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah
filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan
pendidikan secara praktis.[26]
Sementara John Dewey[27]
menyampaikan bahwa filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia. Sementara menurut Thompson
(Arifin, 1993: 2), filsafat artinya melihat suatu masalah secara total dengan
tanpa ada batas atau implikasinya; ia tidak hanya melihat tujuan, metode atau
alat-alatnya, tapi juga meneliti dengan saksama hal-hal yang dimaksud.
Keseluruhan masalah yang dipikirkan oleh filosof tersebut merupakan suatu upaya
untuk menemukan hakikat masalah, sedangkan suatu hakikat itu dapat dibakukan
melalui proses kompromi.
Dalam pandangan Imam Barnadib filsafat pendidikan
merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan
merupakan aplikasi sesuatu analisis filosofis terhadap bidang pendidikan.[28]
Adapun menurut seorang ahli filsafat Amerika, Brubachen[29],
filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda,
dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan.
Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan
karena punya kaitan dengan filsafat umum. Kendati kaitan ini tidak penting,
tapi yang terjadi ialah suatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan
filsafat pendidikan, karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan
dalam segala tahap.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa
filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan
merumuskan kaidah-kaidah norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang
sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Pemikiran
pendidikan Islam adalah gagasan, ide, pandangan dalam bidang pendidikan yang
dikemukakan oleh para ulama atau sarjana Islam[30].
Pemikiran pendidikan Islam meliputi aspek-aspek yang luas, yang meliputi
komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dikenal sekarang ini.[31]
Komponen pendidikan Islam merupakan bagian
dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu
proses untuk mencapai tujuan sistem pendidikan Islam. Komponen pendidikan Islam
berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan Islam, yang menentukan
berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan Islam.
Dengan
demikian pemikiran pendidikan Islam setidaknya meliputi sembilan komponen
pemikiran pendidikan Islam, yaitu:
1)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menjadi salah satu komponen pemikiran
pendidikan Islam para ulama klasik[32].
Menurut Abdul Fatah Jalal[33],
tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah. Maksud dari menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut
Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Al-An’am ayat 156 :
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Dan Dia lah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[34]
Tujuan pendidikan menjadi salah satu komponen pemikiran
pendidikan Islam karena tujuan pendidikan amat penting dan strategis bagi
pengembangan pendidikan dan pembangunan manusia seutuhnya[35].
Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan[36].
Demikian juga halnya tingkah laku manusia yang bersifat dan bernilai
pendidikan. Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh
sifat ilmu pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan
normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah; norma-norma dan atau ukuran
tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia. Sebagai ilmu
pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah
menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada
dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam
suatu masyarakat. Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwa pandangan hidup manusia
menjiwai tingkah laku perbuatan mendidik. Tujuan umum atau tujuan mutakhir
pendidikan tergantung pada nilai-nilai atau pandangan hidup tertentu. Pandangan
hidup yang menjiwai tingkah laku manusia akan menjiwai tingkah laku pendidikan
dan sekaligus akan menentukan tujuan pendidikan manusia.[37]
Abdul Fatah Jalal mengemukakan jenis-jenis tujuan
pendidikan terdiri dari tujuan umum, tujuan tak lengkap, tujuan sementara, tujuan kebetulan dan tujuan
perantara. Pembagian jenis-jenis tujuan tersebut merupakan tinjauan dari luas
dan sempit tujuan yang ingin dicapai.[38]
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, urutan hirarkhis
tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai
dari: 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945); 2) Tujuan
Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional); 3) Tujuan
Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah); 4) Tujuan kurikuler atau
standar kompetensi (pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajran atau kuliah); dan
6) Tujuan instruksional atau kompetensi dasar yang dibagi menjadi dua yaitu
tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus[39].
Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional
yang dicapai guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila
dan UUD 1945.[40]
2)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Peserta Didik
Komponen pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah
berkenaan dengan peserta didik. Para pakar pendidikan Islam klasik dan
kontemporer memberikan perhatian serius terhadap hakikat peserta didik ini.[41] Perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas
pada anak usia sekolah saja yang berimplikasi pada pengertian peserta didik.
Kalau dulu para pakar pendidikan mengasumsikan peserta didik terdiri dari
anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk
juga di dalamnya orang dewasa. Karena dalam Islam kewajiban mencari ilmu
berlangsung sepanjang hayat.[42]
Persoalan yang berhubungan dengan peserta didik terkait
dengan sifat atau sikap anak didik dikemukakan oleh Abdul Fatah Jalal bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk
kecil, oleh sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang berbeda dengan
sifat hakikat kedewasaan. Anak memiliki sikap menggantungkan diri, membutuhkan
pertolongan dan bimbingan baik jasmaniah maupun rohaniah[43]. Sifat hakikat manusia dalam
pendidikan adalah bahwa anak didik harus diakui sebagai makhluk individu
dualitas, sosialitas dan moralitas. Manusia sebagai mahluk yang harus dididik
dan mendidik.[44]
Sehubungan dengan persoalan anak didik ini, ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup
apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik? bagaimanakah tingkat
kemampuan anak didik? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik
disekolah? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah? Berdasarkan
persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan
individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman
sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
3)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Pendidik
Komponen ketiga dari pemikiran pendidikan Islam berkenaan
dengan pendidik atau guru. Pendidik atau guru adalah komponen penting dalam
pendidikan[45].
Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan yang tidak terbatas
pada pendidikan di lembaga pendidikan formal saja. Ditinjau dari lembaga
pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong pada pendidik. Guru
sebgai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam
lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal
sebagai pendidik dilingkungan masyarakat[46].
Sehubungan dengan hal tersebut di atas Abdul Fatah Jalal
menyatakan bahwa pendidikan meliputi: 1) orang dewasa, 2) orang
tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.
4)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Orang Dewasa
Berkaitan dengan pendidik sebagai salah satu komponen
pendidikan, orang dewasa adalah bagian dari pendidik sebagaimana dikemukakan
oleh Abdul Fatah Jalal. Orang
dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa,
sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Fatah Jalal bahwa: (1) orang dewasa adalah manusia yang memiliki pandangan hidup dan
prinsip hidup yang pasti dan tetap, (2) orang dewasa adalah manusia yang telah memiliki tujuan
hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik, (3)
orang dewasa adalah manusia yang cakap
mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan
dipertanggungjawabkan sendiri, (4) orang dewasa adalah manusia yang telah cakap menjadi
anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif, (5) orang
dewasa adalah manusia yang telah
mencapai umur kronologs paling rendah 18 tahun, (6) orang dewasa adalah manusia yang seharusnya berbudi luhur
dan berbadan sehat, (7) orang dewasa adalah manusia yang seharusnya berani dan
cakap hidup berkeluarga, dan (8) orang dewasa adalah manusia yang berkepribadian yang utuh
dan bulat.[47]
5)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Orang Tua
Elemen pendidik sebagai salah satu komponen pemikiran
pendidikan Islam adalah kedudukan orang tua. Kedudukan orang tua sebgai
pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya
orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan
cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
Kedudukan orang tua sebagai pendidik sudah berlangsung lama, bahkan sebelum ada
orang yang memikirkan tentang pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua orang tua
adalah pendidik, namun tidak semua orang tua mampu melaksanakan pendidikan
dengan baik. Kemampuan untuk menjadi orang tua sama sekali tidak sejajar dengan
kemampuan untuk mendidik.
6)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Guru
Guru merupakan komponen penting dalam diskursus pemikiran
pendidikan Islam.[48]
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara langsung maupun tidak langsung
mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan.
Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi
persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan.
Persyaratan pribadi didasarkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari
tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional.
Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik
yang berhubungan dengan pesan yang ingin disampaikan maupun cara
penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
7)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang tua dan guru, pemimpin
masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga.[49]
Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktivitas pemimpin
dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin.
Pemimpin keagamaan sebagai pendidik, tampak pada aktivitas pembinaan atau
pengembangan sifat kerohanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai
keagamaan.
8)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Interaksi Edukatif Pendidik dan Anak Didik
Pemikiran pendidikan Islam juga terkait dengan konsep
interaksi edukatif pendidik dan peserta didik. Karena, proses pendidikan bisa
terjadi apabila terdapat interaksi antara komponen-komponen pendidikan. Terutama
interaksi antara pendidik dan anak didik. Interaksi pendidik dengan anak didik
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Tindakan yang
dilakukan pendidik dalam interaksi tersebut mungkin berupa tindakan berdasarkan
kewibawaan, tindakan berupa alat pendidikan, dan metode pendidikan.[50]
Pendidikan berdasarkan kewibawaan dapat dicontohkan dalam
peristiwa pengajaran di mana seorang guru sedang memberikan pengajaran,
diantara beberapa murid membuat suatu yang menyebabkan terganggunya jalan
pengajaran. Kemudian guru tersebut memberikan peringatan, maka guru telah
melaksanakan tindakan berdasarkan kewibawaan. Dengan demikian tindakan
berdasrkan kewibawaan yaitu bersumber dari orang dewasa sebagai pendidik, untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Alat pendidikan adalah suatu situasi atau perbuatan
dengan situasi atau perbuatan tersebut akan dicapai tujuan pendidikan. Tindakan
pendidik untuk menciptakan ketenangan agar tercapai tujuan pendidikan tertentu
dalam proses pengajaran, atau melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu, umpamanya nasihat, teguran, hukuman dan ganjaran agar anak
mau berbakti pada orang tua.
Dalam interaksi pendidikan tidak terlepas metode atau
bagaimana pendidikan dilaksanakan. Terdapat beberapa metode yang dilakukan
dalam mendidik yaitu metode diktatorial, metode liberal, dan metode demokratis[51]. Metode diktatorial bersumber dari teori empiris yang
menyatakan bahwa perkembagan manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar
manusia, sehingga pendidikan bersifat maha kuasa. Sikap ini menimbulkan
sikap diktator dan otoriter, pendidik yang menentukan segalanya.
Metode liberal bersumber dari pendirian naturalisme yang
berpendapat bahwa perkembangan manusia itu sebagian besar ditentukan oleh
kekuatan dari dalam yang secara wajar atau kodrat ada pada diri manusia.
Pandangan ini menimbulkan sikap bahwa pendidik jangan terlalu banyak ikut
campur terhadap perkembangan anak. Biarkanlah anak berkembang sesuai denan
kodratnya secara bebas atau liberal.
Metode demokratis bersumber dari teori konvergensi yang
mengatakan bahwa perkembangan manusia itu tergantung pada faktor dari dalam dan
dari luar. Di dalam perkembangan anak, pendidik tidak boleh bersifat menguasai anak, tetapi harus
bersifat membimbig perkembangan anak. Di sini tampak bahwa pendidik dan anak
didik sama-sama penting dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan.
9)
Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan
dengan Isi Pendidikan
Komponen pemikiran pendidikan Islam selanjutnya adalah berkenaan
dengan isi pendidikan. Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan
pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta
didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan. Isi
pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia
ideal yang dicita-citakan. Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang
keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi
dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari
pendidikan agama., pendidikan akhlak, pendidikan estetis, pendidikan sosial,
pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan, dan
pendidikan jasmani.[52]
10) Pemikiran
Pendidikan Islam Berkenaan dengan Lingkungan Pendidikan
Komponen pemikiran pendidikan Islam terakhir adalah
berkenaan dengan lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi segala
segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa
pendidikan sebagai aktivitas manusia, yang tidak membatasi pendidikan pada lembaga
pendidikan formal semata. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan
lingkungan masyarakat yang terdiri dari lingkungan keagamaan, lingkungan sosial
politis, lingkungan sosial antropologis, lingkungan sosial ekonomi, dan
lingkungan iklim geografis. Ditinjau dari hubungan lingkungan dengan manusia
dapat dikelompokkan menjadi lingkungan yang tidak dapat diubah dan lingkungan
yang dapat diubah atau dipengaruhi, dan lingkungan yang secara sadar dan
sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari sudut tinjauan
lain, lingkungan pendidikan menjadi lingkungan yang bersifat pribadi atau
pergaulan dan lingkungan yang bersifat kelembagaan, segala sesuatu yang ada di
sekeliling anak.
Keseluruhan komponen-komponen pemikiran pendidikan Islam
tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Selain itu, ada juga yang berpandangan bahwa wacana tentang pemikiran pendidikan Islam, setidak-tidaknya
harus mencakup delapan hal, yaitu: pertama, hakikat pendidikan Islam. Kedua,
tugas dan fungsi pendidikan Islam. Ketiga, dasar dan tujuan pendidikan
Islam. Keempat, komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Kelima,
kurikulum pendidikan Islam. Keenam, metode pendidikan Islam. Ketujuh,
evaluasi pendidikan Islam. Kedelapan, kelembagaan pendidikan Islam.[53]
a. Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat
pendidikan Islam adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat potensi insani
untuk menumbuhkan kesadaran dalarn menemukan kebenaran[54].
Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak bertujuan untuk meleburkan sifat dan
potensi insani ke dalam sifat dan potensi malakiyah, karena ternyata praduga
pada misi kekhalifahan manusia di muka bumi, yang akan menimbulkan penguasaan
manusia atas manusia sehingga akhirnya menimbulkan pertumpahan darah dan
perusakan di atas dunia ini, mendapatkan reaksi negatif dari Allah Swt. Misi
kekhalifahan manusia di muka bumi salah satunya diaplikasikan dalam bentuk
pendidikan sebagai wujud konsekuensi dari tanggung jawab intelektual Adam yang
telah dididik oleh Allah Swt untuk menegakkan kebenaran. Pengakuan malaikat
atas kebenaran ilmiah (kelebihan intelektualisme Adam) merupakan sikap ibadah
(sujud), dan pengingkaran Iblis atas kebenaran ilmiah itu merupakan sikap
arogansi dan kekufuran.[55]
Hakikat
pendidikan Islam, menurut Amrullah Ahmad[56],
dirumuskan dari ajaran tauhid yang menjadi unsur penting dan dominan dalam
agama Islam dan agama-agama langit (dinus samaiyi) lainnya. Ia
mengatakan bahwa proses pendidikan Islam diselenggarakan sebagaimana Luqman
mendidik putra-putriya:
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.[57]
Pertama,
Luqman menyampaikan prinsip tauhid dan larangan syirik kepada putra-putrinya.
Kedua, ia mengajarkan ilmu pengetahuan Islami (hikmah) dan batasan potensi manusia
untuk mengetahui sesuatu. Ketiga, Islam mengajarkan sholat untuk menumbuhkan
amal sholeh. Keempat, ia mendidik putra-putrinya akhlaqul karimah, baik pada
diri sendiri, sesama manusia, alam dan terutama keapada Allah Swt. Kelima, ia
mendidik untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Selanjutnya
Amrullah Ahmad mengemukakan hakikat pendidikan Islam adalah keseluruhan
aktivitas pendidikan telah terangkum dalam kisah Luqman seperti yang
dikemukakan di atas, yaitu terdiri dari penyadaran potensi fitri al-dien,
menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap
Islami, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal sholeh, berdakwah
(berjuang) memenuhi tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.[58]
Dalam
rumusan yang cukup simpel dan mencakup, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan
bahwa hakikat pendidikan Islam itu adalah proses transformasi dan internalisasi
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak melalui penumbuhan dan
pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup
dalam segala aspeknya.[59]
b. Tugas dan Fungsi
Pendidikan Islam
Secara umum, tugas pendidikan menurut Arifin, adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke
tahap kehidupan anak didik sampai
mencapai titik kesempumaan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan di sini
difokuskan untuk menumbuhkembangkan fisik dan psikis anak didik, serta
mengembangkan potensi, predesposisi dan bakat yang dimilikinya.[60]
Secara operasional, pendidikan diselenggarakan
untuk melakukan "bimbingan" yang lebih bersifat afektif dan
menyangkut pembinaan moral peserta didik, "pengajaran" yang lebih
bersifat kognitif dan menyangkut pengembangan intelektualitas peserta didik,
dan "pelatihan" yang lebih bersifat psikomotorik dan menyangkut
pembentukan skill dan ketrampilan peserta didik.[61]
Selanjutnya, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan tugas pendidikan Islam
secara spesifik, yaitu meliputi tiga hal. Pertama, membantu anak didik pada
ketakwaan dan akhlaqul karimah, yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam
aspek keimanan, lima aspek keislaman dan multi-aspek keikhlasan. Kedua,
meningkatkan kecerdasan dan kemampuan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi,
manfaat dan aplikasinya dalam meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara,
mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan. Ketiga, mewujudkan
pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat,
bangsa, sesama manusia serta makhluk yang lainnya.[62]
Sedangkan fungi pendidikan Islam adalah menyediakan
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan
dengan baik dan lancar. Penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang
bersifat struktural dan institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi
yang mengatur perjalanan proses pendidikan, baik vertikal maupun horisontal,
dan melembagakan struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang
konsisten, berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.[63]
Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga
pendidikan Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan tranformasi
kebudayaan Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan
peradaban manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan umat
Islam. Proses transimisi dan trasnformasi kultural itu dapat berlangsung dengan
haik, apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisir dan terlembaga
dengan baik pula.[64]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam, menurut Jusuf Amir
Faisal, bertitik tolak pada prinsip atau aqidah-ibadah-akhlaq untuk mencapai
kemuliaan manusia dan budaya yang diridlai Allah Swt. Oleh karena itu, fungsi
pendidikan Islam, menurutnya terdiri dari: Individualisasi nilai-nilai dan
ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dan bersikap, berpikir dan
berperilaku. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat
Islam. Rekayasa kultur Islam demi terbentuknya dan berkembangnya peradaban
Islam. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan demi
terbentuknya para manager dan manusia profesional. Pengembangan intelektual
muslim yang mampu mencari, mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi.[65]
Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia,
arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olah raga, kesehatan dan
sebagainya.
Pengembambangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan pembina
masyarakat yang berkualitas kompetitif.[66]
c. Dasar dan Tujuan
Pendidikan Islam
Jusuf Amir Faisal membagi dasar pendidikan Islam pada:
pertama, hukum tertulis, berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah, dan kedua, hukum tidak
tertulis berupa basil pemikiran manusia.[67]
Dasar-dasar teori pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir
terdiri dari: pertama, Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama,
kedua, hadits sebagai sumber ajaran agama Islam kedua, dan ketiga, akal disuruh
untuk dipergunakan oleh Al-Qur'an dan hadits.[68]
Sedangkan menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, dasar pendidikan
Islam ada dua, yaitu: pertama, dasar ide antara lain
Al-Qur'an, Sunnah Nabi Saw, kata sahabat, kemasyarakatan dan hasil pemikiran
pars pemikir Islam[69];
kedua, dasar operasional terdiri dari dasar historis, sosial, ekonomi, politik
dan administrasi, psikologi dan fisiologis.[70]
M. Arifin memandang bahwa pembicaraan tentang tujuan
pendidikan Islam, adalah sama halnya dengan pembicaraan tentang nilai-nilai
ideal yang bercorak Islami. Hal itu berarti bahwa tujuan pendidikan Islam itu
tidak lain adalah idealitas Islami, yang mengandung nilai-nilai sikap dan
perilaku manusia yang dilandasi dan dijiwai oleh iman dan tagwa kepada Allah Swt.
Idealitas Islami yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tujuan Allah Swt
menciptakan manusia dan menurunkannya ke muka bumi[71].
Pertama, manusia diciptakan oleh Allah Swt supaya menjadi abdullah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Kedua, Allah menurunkan manusia ke muka bumi untuk
menjadi khalifah fil ardh.
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.[73]
Jadi secara sederhana, tujuan pendidikan Islam itu adalah
untuk meningkatkan kualitas ke-abdullah-an dan ke-khalifah-an manusia di muka
bumi. Namun demikian, dalam Konferensi Pendidikan se-Dunia yang pertama di
Mekkah pada tahun 1977, tujuan pendidikan Islam berhasil dirumuskan secara
sistematik dan komprehensif, yaitu: Pendidikan seharusnya bertujuan mencapai
pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh dan seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera[74].
Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya:
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak
dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh ummat manusia.[75]
d. Komponen Dasar
Pelaksanaan Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikut adalah komponen dasar
pelaksanaan pendidikan Islam. Sebagaimana pendidikan pada umumnya, komponen
dasar pelaksanaan pendidikan Islam terdiri dari pendidik dan anak didik. Dalam perspektif pendidikan
Islam, pendidik adalah murabbi, mu'alim, dan muaddib
sekaligus. Artinya seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat rabbani,
bijaksana, terpelajar, tanggung jawab, kasih sayang terhadap peserta didik, dan
harus menguasai ilmu teoritik, kreatif, memiliki komitmen tinggi dalam
mengembangkan ilmu dan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta mampu
mengintegrasikan ilmu dan aural sekaligus.[76]
Selaku murabbi, pendidik atau guru dalam pendidikan Islam
harus memenuhi syarat-syarat: pertama, guru harus bertakwa kepada Allah Swt.
Kedua, guru harus berilmu. Ketiga, guru harus sehat jasmani. Keempat, harus
berkelakuan baik, yaitu cinta pada jabatannya sebagai guru, berlaku adil kepada
semua murid, sabar dan tenang, berwibawa, bersikap manusiawi, dan dapat bekerja
sama dengan guru-guru lainnya
dan masyarakat.[77]
Syarat-syarat itu berkaitan erat dengan unsur keilmuan
dan kemampuan intelektual yang harus inheren dalam diri pribadi guru, di
samping nilai-nilai ketakwaan dan integritas kepribadian yang bersenyawa dan
menyatu dalam dirinya.
Sebagai seorang mulallim, guru dalam pendidikan Islam
memiliki tugas: pertama, membuat persiapan mengajar, kedua, mengajar, dan
ketiga, mengevaluasi hasil pengajaran[78]
Tugas-tugas tersebut berhubungan dengan tuntutan profesionalisme guru dalam
menyelenggarakan interaksi belajar-mengajar dengan murid di kelas agar proses
belajar mengajar berlangsung dengan baik, lancar dan produktif. Untuk itu,
seorang guru harus mempersiapkan sebaik mungkin segala sesuatu yang dibutuhkan
demi sukses dan lancarnya proses belajar-mengajar, baik mental, fisik, psikis,
materi pelajaran, metode maupun media pengajaran yang akan dipergunakan. Guru
sebagai mu'allim lebih berkonotasi profesionalisme keguruan dan bersifat
pengajaran.
Guru sebagai muaddib harus didukung oleh sifat:
pertama, kasih sayang kepada anak didik; kedua, lemah lembut; ketiga, rendah
hati; keempat, menghormati ilmu yang menjadi pegangannya; kelima, adil; keenam,
menyenangi ijtihad; ketujuh, konsekuensi, perkataan sesuai dengan perbuatannya; kedelapan, sederhana. Sifat-sifat
tersebut berhubungan dengan guru sebagai "public figur" yang
selalu menjadi sorotan dan perhatian murid-murid.[79]
Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi "uswatun hasanah"
dalam setiap sikap dan perilakunya bagi mereka, di samping sebagai pembimbing
moral dan spiritual yang konsisten.
Dalam perspektif pendidikan Islam, anak didik adalah anak
yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikis, untuk mencapai
tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Anak didik pada hakikatnya
adalah: pertama, anak didik bukan miniatur orang dewasa, melainkan ia mempunyai
dunia tersendiri; kedua, anak mengikuti periode perkembangan tertentu dan
memiliki pola perkembangan, tempo dan irama tersendiri; ketiga, anak didik
memiliki kebutuhan dan menuntut pemenuhan secara maksimal, keempat, anak didik
memiliki perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, kelima,
anak didik merupakan obyek pendidikan aktif, kreatif, dan produktif.[80]
e. Kurikulum Pendidikan
Islam
Kurikulum pendidikan Islam sebagai salah satu unsur dalam
pemikiran pendidikan Islam memiliki tempat yang teramat penting. Fadil
al-Jamaly, seperti yang dikutip oleh M. Arifin, mengemukakan bahwa ilmu-ilmu
yang dikehendaki diajarkan oleh Al-Qur'an kepada anak didik meliputi: ilmu
agama, sejarah ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, ilmu biologi, ilmu hukum dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu
ekonomi, ilmu balaghah dan adab, ilmu pertahanan negara dan lain-lain.[81]
Secara atomik, kurikulum pendidikan Islam oleh Syed
Muhammad al-Naquib al-Attas dibagi pada dua macam ilmu, yaitu: pertama,
ilmu-ilmu agama, terdiri dari Al-Qur'an, as-Sunnah, asy-Syari'ah, teologi
(tauhid), metafisika Islam (tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik; kedua, ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis, terdiri dari ilmu-ilmu kemanusiaan,
ilmu-ilmu alam, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu teknologi.[82]
Dalam perspektif historis, Sayyed Hossein Nasr
mengetengahkan teks-teks tradisional yang dipergunakan di madrasah-madrasah
Persia, yang tetap diajarkan sampai sekarang, meliputi sains-sains yang
ditransmisi (at-naqliyah) dan sains intelektual (al-aqliyah),
walaupun semenjak abad ke-8 H/14 M dan abad-abad selanjutnya sekolah-sekolah
tradisionai Islam membatasi kurikulumnya pada sain-sains yang ditransmisi (al-naqliyah).[83]
Teks-teks tersebut meliputi: perform, sains-sains yang ditransmisi (al-naqliyah)
terdiri dari morfologi (sharf), sintaksis (nahw), kesusastraan (ma'ani
wa bayan) dan seni metafora (badi), prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqh),
sains hadits dan sejarahnya (dirayah), dan sains-sains irttelektual
(Al-Qur'an, tafsir); Kedua, sains-sains intelektual (al-aqliyah) terdiri
dari logika (mantiq), filsafat dan teologi (falsafah dan kalam), sufisme
dan gnosis (tashawwuf dan irfan), ilmu kedokteran (thibb),
dan sains-sains matematika (riyadiyah) mencakup geometri, aritmatika (hisab),
dan astronomi (baiat).[84]
Kurikulum pada masa kejayaan pendidikan Islam, menurut
Mahmud Yunus, diklasifikasikan pada: pertama, rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar), yaitu
meliputi:
1) Membaca Al-Qur'an dan
menghafalnya
2) Pokok-pokok agama
Islam, seperti cara berwudhu', sholat, puasa dan sebagainya.
3) Menulis
4) Kisah atau riwayat
orang-orang besar Islam
5) Membaca dan menghafal
syair-syair atau nasar (prosa)
6) Berhitung
7) Pokok-pokok nahwu dan
sharaf ala kadamya.[85]
Kedua, rencana pengajaran tingkat menengah, yaitu
meliputi:
1) Al-Qur'an
2) Bahasa Arab dan
kesusatraannya
3) Fiqh
4) Tafsir
5) Hadits
6) Nahwu/sharaf/balagah
7) Ilmu-ilmu pasti
8) Mantiq
9) Ilmu Falaq
10) Tarikh (sejarah)
11) Ilmu-ilmu alam
12) Kedokteran
Ketiga, rencana pengajaran pada pendidikan tinggi, yaitu terdiri dari dua jurusan:
1)
Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa dan sastra Arab, yang
juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah yang meliputi: Tafsir Al-Qur'an,
Hadits, Fiqh dan ushul fiqh, Nahwu/sharaf, Bahasa Arab dan kesusastraannya.
2)
Jurusan umum, yang disebut sebagai ilmu aqliyah yang
meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu alam dan kimia, Musik, Ilmu pasti, Ilmu ukur, Ilmu
falak, ilmu-ilmu ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu
kedokteran.[87]
Dalam Konferensi
Pendidikan Islam se-Dunia kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun 1980,
berhasil dirumuskan pola kurikulum pendidikan Islam, yaitu: kelompok I,
pengetahuan abadi, terdiri dari: pertama, Al-Qur'an, mencakup bacaan (qira’ah),
hafalan (hifdh) dan tafsir (tafsir), kedua, Sunnah, ketiga, sirah Nabi
mencakup sahabat-sahabat Nabi, dan para pengikut mereka pada awal sejarah
Islam, keempat, tauhid, kelima, ushul fiqh, dan keenam, bahasa Arab Al-Qur'an
mencakup fonologi, sintaksis dan simantik.
Dan kelompok II pengetahuan yang diperoleh, terdiri dari:
pertama, imajinatif mencakup seni, arsitektur Islam, bahasa dan sastra, kedua,
ilmu-ilmu intelektual mencakup studi sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi,
ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguisfik,
psikologi, dan antroipologi, ketiga, ilmu-ilmu alam
mencakup filsafat ilmu pengetahuan, matematika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan,
astronomi, dan lain-lain sebagainya, keempat, ilmu-ilmu terapan mencakup
rekayasa dari teknologi (sipil, misan), obat-obatan (tibb, aleopati, homeopati
dan fauna) dan lain sebagainya, kelima, ilmu-ilmu praktis mencakup perdagangan,
ilmu-ilmu administrasi (perusahaan, administrasi umum), ilmu perpustakaan,
ilmu-ilmu komunikasi dan lain sebagainya.[88]
f. Metode Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah berkenaan
dengan metode pendidikan Islam. M. Arifin mengemukakan bahwa ayat-ayat
Al-Qur'an apabila dikaji secara filosofis, mengandung nilai-nilai metodologis
dalam pendidikan, yaitu: pertama, mendorong manusia berpikir analitik dan
sintetik melalui proses berpilkir induktif dan dedukfif, kedua, metode perintah
dan larangan serta praktek, ketiga, metode motivatif, baik motivasi teogenetik,
sosiogenetik maupun motivasi biogenetik, keempat, metode situsional, dan
kelima, metode instruksional.[89]
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, metode pendidikan Islam
meliputi: pertama, metode diakronis, kedua, metode singkronik-analitik, ketiga,
metode problem-solving (hulul musykilat), keempat, metode empiris (tajribiyah),
kelima, metode induktif (al-istiqraiyah), dan keenam, metode dedukfif (al-istinbathiyah).[90]
Secara spesifik, An-Nahlawi, seperti yang dikutip oleh
Ahmad Tafsir, mengemukakan metode pembinaan rasa beragama sebagai berikut:
1)
Metode hiwar (percakapan) qur’rani dan nabawi
2)
Metode kisah qur’ani dan nabawi
3)
Metode amtsal (perumpamaan) qur’ani dan nabawi
4)
Metode keteladanan
5)
Metode pembiasaan
6)
Metode ibroh dan mau’izah
7)
Metode targhib dan tarhib[91]
g. Evaluasi Pendidikan
Islam
Sebenarnya, evaluasi pendidikan Islam bukan sekedar suatu
aktivitas untuk mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran. Evaluasi ini dilakukan
untuk mengkontrol dan melakukan "feed-back" terhadap setiap langkah
dari proses manajemen pendidikan.
Dalam merancang evaluasi pendidikan Islam, menurut H.M.
Chabib Thoha, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan evaluasi,
artinya, dalam merancang evaluasi harus memperhatikan tujuan evaluasi itu
sendiri, yaitu bertujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa, kelebihan dan
kekurangan guru dalam mengajar, pencapaian target kurikulum, serta untuk
mengetahui kontribusi program pendidikan pada masyarakat. Kedua, alat ukur yang
dipergunakan, maksudnya evaluasi itu dirancang dengan memperhatikan kelebihan
dan kekurangan alat ukur yang dipergunakan, baik tes tulis, tes lisan maupun
tes tindakan. Ketiga, acuan yang dijadikan standar, artinya dalam merancang
evaluasi harus memperhatikan acuan yang dijadikan standar, yaitu acuan nilai
rata-rata jelas, patokan kurikulum dan nilai etis dan normatif yang berlaku.
Keempat, pelaksanaan pengukuran, apakah berlangsung secara alami atau justru
sebaliknya.
Dalam melakukan pendidikan agama, menurut Abu Ahmadi, ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, terus-menerus (continue),
artinya evaluasi itu dilakukan tidak hanya sewaktu-waktu melainkan terus
menerus, kedua, keseluruhan, artinya evaluasi dilakukan secara integral dan
tidak parsial, dan ketiga, ikhlas, artinya, evaluasi dilakukan dengan tujuan
dan niat yang baik suci. Dalam membuat tes, ada beberapa syarat tes yang baik,
meliputi: pertama, valid, tes yang dibuat harus memiliki ukuran dan standar
yang benar dan sah, kedua, relieble, tes yang dibuat harus dapat
dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan, dan ketiga, objektif, artinya
soal-soal tes yang dibuat harus jelas, tidak kabur dan membingungkan, serta
memiliki jawaban yang pasti.
Evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam memiliki
dua sifat, yaitu: pertama, kuantitatif, hasil evaluasi berbentuk angka dalam
memberikan skor penilaian, kedua, kualitatif, hasil evaluasi berbentuk
pernyataan verbal dalam memberikan penilaian.
Sedangkan jenis evaluasi yang
diterapkan dalam pendidikan Islam ada tiga, yaitu: pertama, tes tertulis (writing
test), kedua, tes lisan (oral test), dan ketiga, tes perbuatan (performance
test). Evaluasi pendidikan Islam terdiri dari:
pertama, evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui
hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan program satuan
pelajaran dalam bidang studi tertentu, kedua, evaluasi sumatif, yaitu evaluasi
yang diselenggarakan setelah siswa menyelesaikan semua bidang studi dalam satu
catur wulan, satu semester atau akhir tahun untuk menentukan jenjang
berikutnya, ketiga, evaluasi penempatan (placement), yaitu evaluasi yang
dilakukan untuk kepentingan penempatan pada jurusan atau fakultas tertentu,
sebelum siswa mengikuti proses belajar-mengajar, keempat, evaluasi diagnosis,
yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kesulitan kesulitan atau
hambatan belajar yang dialami oleh siswa, guna dicari solusi-altematifnya.
h. Kelembagaan Pendidikan
Islam
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, lembaga
pendidikan Islam menurut Zakiah Daradjat, terdiri dari: pertama, keluarga,
kedua, sekolah, dan ketiga, masyarakat. "Keluarga" adalah lembaga
pendidikan Islam yang pertama, sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama
dan utama bagi anak mereka. Aspek-aspek pendidikan Islam dalam keluarga yang
urgens untuk direalisasikan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak mereka,
adalah meliputi: pertama, pendidikan ibadah, kedua, pokok-pokok ajaran Islam
dan membaca Al-Qur'an, ketiga, pendidikan akhlakul karimah, dan keempat, pendidikan akidah Islamiyah.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, kurikulum pendidikan di
dalam keivarga adalah meliputi: pertama, pendidikan kesehatan dan ketrampilan,
kedua, pendidikan akal, ketiga, pendidikan rohani atau pendidikan agama.
"Sekolah" atau lembaga-lembaga perguruan agama
Islam adalah lembaga pendidikan yang paling strategis ketimbang lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang lainnya, karena lembaga ini diselenggarakan secara
sistemik-organisatoris dan dikelola secara profesional. Di lembaga ini, guru
oleh Zakiah Daradjat dikatakan sebagai guru profesional yang memikul tanggung
jawab pendidikan pada anak didik, setelah orang tua mereka menyerahkan tanggung
jawab pendidikannya padanya. Lembaga-lembaga perguruan Islam mencakup madrasah
ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, madrasah diniyah, sekolah
guru agama pondok pesantren, dan perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta.
"Masyarakat" memiliki pengaruh yang besar dalam
mengarahkan pendidikan anak, terutama pemimpin masyarakat, seperti yang diakui
oleh Zakiah Daradjat. Dalam kerangka tanggung jawab social, setiap anggota
masyarakat mempunyai tanggung jawab pendidikan, tak terkecuali pendidikan
Islam. Salah satu rekomendasi.
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia di Mekkah pada tahun
1977, adalah untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, sehat dan
bersih dari kotoran-kotoran ideologi dan nilai-nilai yang bertentangan dengan
tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam berupa masyarakat ini antara
lain instansi-instansi pemerintah, kursus-kursus, rumah-rumah ibadah,
badan-badan masyarakat dan media massa.
2. Konsep Sumber dan Dasar Pendidikan
Secara
konseptual, sumber pendidikan pendidikan menempati tempat yang teramat strategis
dalam diskursus pendidikan. Sumber pendidikan menurut Allan Mahoney merupakan
hal yang terkait dengan bagaimana proses pendidikan berasal.[92].
Pada umumnya para ahli pendidikan mengatakan bahwa sumber pendidikan adalah
rumah (keluarga), sekolah, dan lingkungan. Sementara itu, dalam konteks
pendidikan Islam sumber pendidikan adalah Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad.[93]
Adapun
dasar pendidikan berkaitan dengan bagaimana meletakkan pondasi yang kokoh bagi
setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan
cara berlatih dan belajar sehingga meski sudah selesai sekolah akan tetap
belajar.[94]
Sementara dalam Islam dasar pendidikan adalah tauhid.[95]
B.
Penelitian yang Relevan
Beberapa
penelitian yang dipandang relevan dengan penelitian ini antara lain: Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Saifuddin (2010) yang berjudul: ”Konsep
Pendidikan Keluarga Menurut An-Nahlawi”. Dalam penelitian ini, peneliti
mengeksplorasi pemikiran An-Nahlawi tentang peran keluarga sebagai fondasi
pelaksanaan pendidikan. Penelitian ini memiliki bobot kualitas yang unik karena
peneliti melakukan komparasi antara pandangan An-Nahlawi dengan pandangan John
Dewey. Akan tetapi, penelitian ini kurang memberikan porsi yang memadai
terhadap pemikiran An-Nahlawi sendiri.
Kedua,
penelitian yang dilakukan oleh Dina Nuriani Iskandar (2011), dengan judul:
Analisis Perbandingan terhadap Tujuan Pendidikan Menurut An-Nahlawi dan Hasan
Langgulung. Penelitian berusaha menggali dua pemikiran tokoh pendidikan Islam,
yaitu An-Nahlawi dan Hasan Langgulung. Keduanya dipandang ahli karena keduanya
banyak melakukan pembahasan di seputar pendidikan Islam. Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa kedua tokoh memiliki pandangan yang hampir sama, yaitu bahwa
pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Bedanya adalah karena
keduanya hidup dalam konteks sosial budaya yang berbeda, sehingga memberikan
aksentuasi yang berbeda pula dalam melihat strategi pencapaian tujuan.
Ketiga,
penelitian yang dilakukan oleh Siti Jubaedah (2009), yang berujudul: ”Pemikiran
Pendidikan Islam Kontemporer (Studi terhadap Pemikiran Pendidikan Al-Attas dan An-Nahlawi)”.
Penelitian ini berusaha membandingkan dua tokoh pemikiran, yaitu Al-Attas dan An-Nahlawi.
Berbeda dengan An-Nahlawi, al-Attas
memiliki pemikiran yang lebih radikal dan berujuan untuk melakukan
islamisasi segala teori dan konsep yang sekuler. Sementara itu, An-Nahlawi
lebih berpikiran evolusioner dan bertahap dalam mengembangkan gagasan ilmu
Islam.
C. Kerangka Berpikir
Kajian
tentang sumber dan dasar pendidikan Islam pada hakikatnya adalah kajian tentang
filsafat atau pemikiran pendidikan. Filsafat pendidikan atau pemikiran
pendidikan menempati posisi sentral sebagai dasar, asas, dan landasan bidang
pendidikan. Sebagai asas, dasar, dan landasan pendidikan, maka pemikiran
pendidikan memiliki kedudukan yang menentukan arah perjalanan suatu teori
pendidikan. Pemikiran pendidikan Kristiani sudah pasti akan berimplikasi pada
praktik dan operasionalisasi pendidikan berbasis Kristiani. Pemikiran pendidikan Barat akan menghasilkan berbagai
teori pendidikan bercorak Barat. Demikian pula dengan pemikiran pendidikan
sekuler juga akan menghasilkan teori dan praktik pendidikan sekuler.
Oleh karena itu, pendidikan Islam, baik sebagai perangkat
teori maupun sebagai pedoman operasional, hanya akan benar-benar Islami apabila
pendidikan Islam itu didasarkan pada pemikiran pendidikan Islami. Apabila
pendidikan Islam didasarkan pada pemikiran pendidikan Barat, maka pendidikan
Islam hanya akan berisi simbol Islam tetapi substansinya adalah pendidikan
Barat. Ibarat sebuah sungai, maka pemikiran pendidikan berada di ujung hulu
sungai yang airnya akan mengalir hingga ke hilir praktik pendidikan.
Filsafat pendidikan atau pemikiran pendidikan Islam
adalah pemikiran pendidikan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Pemikiran pendidikan Islami juga dapat diasosiasikan dengan
pemikiran para ulama Islam yang kesalehan dan ketaatan beragamanya tidak
diragukan lagi. Oleh karena itu, pemikiran pendidikan Abdurrahman An-Nahlawi
tentang sumber dan dasar pendidikan amat penting dikaji bukan hanya karena ia
adalah seorang muslim melainkan juga pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Skema kerangka berpikir tersebut menjelaskan bahwa
pemikiran pendidikan Islam memiliki acuan utama, yaitu sumber-sumber ajaran
Islam, terutama Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua kitab suci itulah yang menjadi
landasan pemikiran pendidikan Islam,
sehingga pemikiran pendidikan Islam senantiasa disemangati oleh Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi.
Selain mengacu kepada kedua landasan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi itu, pemikiran pendidikan Islam juga sangat bergantung kepada latar
belakang keagamaan dan pendidikan sang tokoh. Pemikiran pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari pribadi sang tokoh. Latar belakang keagamaan dan pendidikan
sang tokoh ini memberi warna dan andil terhadap corak pemikiran pendidikan
Islam. Faktor berikutnya yang diyakini memberi corak dan warna pemikiran
pendidikan Islam adalah kondisi lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik,
geografi semasa tokoh hidup. Situasi dan kondisi lingkungan sosial, budaya, ekonomi,
politik, geografi inilah yang menjadi salah satu faktor membentuk pemikiran
pendidikan Islam. Tidak kalah pentingnya adalah faktor perkembangan pendidikan
pada masa tokoh hidup. Faktor-faktor inilah yang secara berjalin-berkelindan
membentuk dan mempengaruhi warna dan corak pemikiran pendidikan Islam setiap
tokoh termasuk Abdurrahman An-Nahlawi.
[1] A. S. Seetharamu (1978). Philosophies of Education. New Delhi:
S.B. Nangia, hal. 11
[2] Hamm, Correl M. (1989). Philosophical Issue in Education: An
Introduction. London: RoutledgeFalmer, hal. 7
[3] Prayitno (2003). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta:
Grasindo, hal. 259
[4] Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar, PT Rosda Karya, Bandung, 1993, hal. 189
[5] Sumadi Suryabrata (1995). Psikologi Pendidikan, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 317.
[6] H.M. Arifin (1996). Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoretis
dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta,
hal.10
[7] Hamm, Correl M. (1989). Philosophical Issue in Education: An
Introduction. London: RoutledgeFalmer, hal. 34
[8] Allan G. Johnson. (1985). Human Arangements: An Introduction to
Sociology, Harcourt Brace Jovanovich, Inc, Orlando-Florida, hal. 500.
[9] John R. Kelly (1982). Leisure, Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall, Inc, hal. 208
[10] Soedijarto (1993), Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional, PT
Grasindo, Jakarta, hal. 12
[12] John N. Gardner & Jewler A. Jerome (Ed.). (1985) College is
Only the Beginning: A Student Guide to Higher Education, Wardsworth
Publishing Company, Belmont California, hal. 318
[13] Heyting, Frieda, Dieter Lenzen, John White (2002). Methods in
Phiolosophy of Education. London: Routledge, hal. 31
[14] Winch, Christopher and John Gingell (2008) Philosophy of Education:
The Key Concepts. London: Routledge, hal. 64
[15] Raley, Yvone & Gerhard Preyer (2010). Philosophy of Education
in the Era of Globalization. London: Routledge, hal. 156
[16] Ibid, hal. 317
[17] Raley, Yvone & Gerhard Preyer (2010). Philosophy of Education
in the Era of Globalization. London: Routledge, hal. 123
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal. 318
[21] Ibid.
[22] Robert E. Kennedy Jr.,(1986) Life Choice: Applying Sociology CBS
College Publishing, Madison Avenue, New York, hal. 35
[23] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal. 314
[24] John Meyer,
[25] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, (1979), Falsafah Pendidikan
Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 17
[26] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
hal. 6-9
[27] Jalaluddin dan Abdullah Idi, (2007), Filsafat Pendidikan; Manusia,
Filsafat dan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, hal. 32
[30] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
hal. 12
[31] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1989). The Concept of Education in
Islam. Kualalumpur: ISTAC, hal. 4
[32] Makdisi, George (2000). Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Reneisans Barat.
Terjemahan oleh A. Syamsu Rizal. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 92
[33] Abdul Fatah Jalal (1987) Azas-Azas Pendidikan Islam. Bandung:
CV. Diponegoro, hal. 27.
[34] Q.S. Al-An’am 6: 165
[35] Qomar, Mujamil (2009). Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 19
[36] Kartanegara, Mulyadi (2007). Nalar Religius: Memahami Hakikat
Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga, hal. 82
[37] Abdul Fatah Jalal, op.cit., hal. 34
[38] Ibid., hal. 35
[39] Surakhmad, Winarno & St Sularto (2009) Pendidikan Nasional,
Strategi, dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 75
[40] H. A. Tilaar, (2004) Manajemen Pendidikan Nasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 56
[41] Abuddin Nata (1997) Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I/
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hal. 29
[42] Winarno Surakhmad & St Sularto (2009) Pendidikan Nasional,
Strategi, dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 78
[43] Qomar, Mujamil (2009). Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 32
[44] Abdul Fatah Jalal, op.cit., hal. 39
[45] Soedijarto (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita.
Jakarta: Kompas Gramedia, hal. 54
[46] Ibid., hal. 40
[47] Ibid., hal. 60-61
[48] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
hal. 56
[49] Ibid., hal. 56
[50] Mulyadhi Kartanegara (2007) Nalar Religius: Menyelami Hakikat
Tuhan, Manusia, dan Alam. Jakarta: Erlangga, hal. 83
[51] Nur Uhbiyati (1998) Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka
Setia, hal. 69
[52] Zuhairini (1995) Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II.
Jakarta: Bumi Aksara, hal. 78
[53] Moh. Roqib (2009) Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan
Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS, hal. 18
[54] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung:
CitaPustaka Media Perintis, hal. 23
[55] Mujamil Qomar (2008) Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 207
[56] Amrullah Ahmad (2007) Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Dian, hal. 23
[57] QS.Luqman 31:14
[58] Amrullah Ahmad, op.cit., hal. 29
[59] Muhaimin dan Abdul Mujib (1993) Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional. Bandung: Trigenda Karya, hal. 136
[60] M. Arifin (1991) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, hal. 33
[61] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung:
CitaPustaka Media Perintis, hal. 213
[62] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit.,
hal. 67
[68] Ahmad Tafsir (1994) Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, hal. 22
[70] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit.,
hal. 151
[71] Mutahhari, Murtadha (1992). Perspektif
Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan,
hal. 119-123
[72] Q.S. Adz-Dzariyat 51:56
[73] Q.S. Al-An’am 6: 165
[74] Daud, Wan Moh Wan (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, hal. 165-169
[75] Ali Ashraf (1986) Horizon Baru
Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 107
[76] Ibid., hal. 109
[77] Zakiyah Darajat (1992) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara,
hal. 44
[78] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 86
[79] Ibid, hal. 87
[80] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 177
[81] M. Arifin, op.cit., hal.
94
[82] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas
(1994) Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, hal. 90
[83] Sayyed Hossein Nasr (1994) Islam:
Tradisi di Tengah Kancah Modern. Bandung: Mizan, hal. 181
[84] Ibid., hal. 181
[86] Ibid., hal. 103
[87] Ibid., hal. 104
[88] Ali Ashraf, op.cit., hal. 116
[89] M. Arifin, op.cit., hal.
113
[90] Muhaimin-Abdul Mjib, op.cit.,
hal. 247
[91] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 135
[92] Allan Mahoney (2008) The Educational Philosophy. London:
Routledge, hal. 23
[93] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, (1979), Falsafah Pendidikan
Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 17
[94] Sudyarmo (2003) Landasan Pendidikan. Jakarta: Grasindo, hal. 31
[95] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, op.cit., hal. 19