KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
1. Konsep Pemikiran Pendidikan
Pemikiran pendidikan adalah istilah lain dari
filosofi
pendidikan atau kajian pendidikan secara filosofis. Pemikiran (thinking) telah mulai dikaji sejak
zaman Plato dan Aristoteles[1]. Sebagaimana Aristoteles
mengatakan bahwa manusia memiliki banyak persamaan dengan hewan. Fitur yang
membedakan manusia dari hewan lain adalah rasionalitas, yaitu kemampuan
berpikir. Pada abad kesembilan belas,
pemikiran didefinisikan sebagai satu jaringan ide yang berasosiasi. Definisi
ini dapat menjelaskan beberapa jenis pemikiran, tapi tidak semua. John Dewey,
1921[2],
mengemukakan tesis bahwa aktivitas berpikir adalah daya upaya reorganisasi
pengalaman dan tingkah laku yang dilaksanakan secara sengaja. Definisi
pemikiran yang paling berpengaruh sampai hari ini adalah oleh John Dewey, 1933,
di mana ia melihat pemikiran sebagai perilaku menyelesaikan masalah. Konsep
Dewey tentang pemikiran menekankan kemungkinan manusia mulai berpikir sebagai
daya upaya untuk beradaptasi ke masalah yang sukar.
Pemikiran
melibatkan pengelolaan operasi-operasi mental tertentu yang terjadi dalam
pikiran atau sistem kognitif seseorang yang bertujuan untuk pemecahan masalah. Selanjutnya
Mayer menyatakan bahwa pemikiran adalah pembentukan ide-ide, pembentukan
kembali pengalaman dan penyusunan informasi-informasi dalam bentuk tertentu.
Menurut Mayer pula, pemikiran merupakan proses luar biasa yang digunakan dalam membuat
keputusan dan pemecahan maalah. Pemikiran manusia telah berkembang sebagai alat
untuk mengontrol dan menguasai permasalahan yang sulit. Konsepnya itu
menyebabkan para ahli psikologi memberi tekanan yang berlebihan pada pemikiran
adaptif dan praktikal. Tujuan berpikir adalah untuk mengumpulkan informasi dan
mengunakannya sebaik mungkin. Karena, cara pikiran bekerja untuk menghasilkan corak-pola
konsep yang ditetapkan tidak menggunakan sepenuhnya informasi baru, melainkan
dengan memodifikasi pola-pola pemikiran lama dan memperbaharuinya. Proses pemikiran terjadi ketika konsentrasi daya usaha
untuk mencapai sesuatu kesimpulan atau menyelesaikan seputar hal-hal tertentu
untuk mendapatkan kesimpulan, usaha itu menggunakan fakultas kognitif untuk
melaksanakannya tanpa dipengaruhi oleh emosi. Ada tiga jenis dalam proses
keterampilan berpikir ini, di antara ketiga keterampilan ini tujuan utamanya
adalah menuju ke arah membuat keputusan dan pemecahan masalah.
Dalam
konteks pendidikan Islam, maka aspek pemikiran selalu mencakup tiga elemen
penting, yaitu process, content dan recipient (proses, isi, penerima)[3]. Yang dimaksud dengan proses adalah
proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk
pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah itu
pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses
penanaman sesuatu kepada manusia” (education is a process of instilling
something into human beings). Dari definisi pendidikan tersebut,
selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?” (what
is instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang ditanam di sini adalah adab,
dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi diatas
adalah adab.
Setelah
pertanyaan “apa yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan
lagi yang perlu dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”,
dalam pengertian ini adalah penerima atau recipient dari
pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang
lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti:
psikologi anak, psikologi remaja, pedagogi, andragogi dan lain-lain. Karena
metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima
isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak tidak sama dengan
mendidik remaja, mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa
dan seterusnya.
Akan
tetapi elemen yang terpenting dari ketiga elemen mendasar yang terdapat dalam
pendidikan Islam tersebut adalah content atau isi. Dan isi yang
dimaksud adalah adab. Hal tersebut sebagaimana yang dipahami oleh
al-Attas, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab sebagai berikut: Adab
adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas
serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.[4]
Kalau
benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik maka konsep ta’dib adalah
konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun
ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa sekarang. Al-Attas mengatakan:
“Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm),
instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga
tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana
yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi “tarbiyah – ta’lim – ta’dib”.[5]
Al-Attas
menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap
sebagai pengertian yang lengkap tentang pendidikan dalam Islam, baik salah satu
(tarbiyah atau ta’lim) atau keduanya (ta’lim wa al-tarbiyah).
Sebab istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian makna (term tarbiyah is
not quite precise nor yet a correct one for connoting education in the
Islamic sense).[6]
Dan
istilah adab, oleh al-Attas diibaratkan layaknya sebuah undangan untuk
menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Karena itulah ilmu
pengetahuan dalam Islam sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an, karena
al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka dalam mencari dan
menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan itu, selayaknya didekati dengan
perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. Sebagaimana yang dijelaskan
al-Attas: Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk
menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang
sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang
lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut[7].
Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu
ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan
tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka
hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati
dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia.[8]
Adapun
istilah Tarbiyah dalam pandangan al-Attas lebih menyinggung aspek
fisikal dalam mengembangkan tanaman-tanaman, dan hanya terbatas pada aspek
fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.
Oleh sebab itu Tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan
emosional daripada manusia.
Diskursus tentang pemikiran pendidikan Islam,
setidak-tidaknya harus mencakup delapan hal, yaitu: pertama, hakikat
pendidikan Islam. Kedua, tugas dan fungsi pendidikan Islam. Ketiga,
dasar dan tujuan pendidikan Islam. Keempat, komponen dasar pelaksanaan pendidikan
Islam. Kelima, kurikulum pendidikan Islam. Keenam, metode
pendidikan Islam. Ketujuh, evaluasi pendidikan Islam. Kedelapan, kelembagaan
pendidikan Islam.[9]
a. Pemikiran Pendidikan tentang Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah proses
pemeliharaan dan penguatan sifat potensi insani untuk menumbuhkan kesadaran
dalarn menemukan kebenaran. Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak bertujuan untuk
meleburkan sifat dan potensi insani ke dalam sifat dan potensi malakiyah,
karena ternyata praduga pada misi kekhalifahan manusia di muka bumi, yang akan
menimbulkan penguasaan manusia atas manusia sehingga akhirnya menimbulkan pertumpahan
darah dan perusakan di atas dunia ini, mendapatkan reaksi negatif dari Allah Swt.
Misi kekhalifahan manusia di muka bumi salah satunya diaplikasikan dalam bentuk
pendidikan sebagai wujud konsekuensi dari tanggung jawab intelektual Adam yang telah
dididik oleh Allah SWT untuk menegakkan kebenaran. Pengakuan malaikat atas
kebenaran ilmiah (kelebihan inteiektualisme Adam) merupakan sikap ibadah
(sujud), dan pengingkaran Iblis atas kebenaran ilmiah itu merupakan sikap
arogansi dan kekufuran.[10]
Hakikat pendidikan Islam, menurut Amrullah Ahmad[11],
dirumuskan dari ajaran tauhid yang menjadi unsur penting dan dominan dalam
agama Islam dan agama-agama langit (dinus samaiyi) lainnya. Ia
mengatakan bahwa proses pendidikan Islam diselenggarakan sebagaimana Luqman
mendidik putra-putriya:
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$#
Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
çm÷Fn=uHxq
¼çmBé&
$·Z÷dur
4n?tã 9`÷dur
¼çmè=»|ÁÏùur Îû
Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î)
çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.[12]
Pertama, Luqman menyampaikan prinsip tauhid dan
larangan syirik kepada putra-putrinya. Kedua, ia mengajarkan ilmu pengetahuan Islami
(hikmah) dan batasan potensi manusia untuk mengetahui sesuatu. Ketiga, ia mengajarkan sholat
untuk menumbuhkan amal sholeh. Keempat, ia mendidik putra-putrinya akhlaqul
karimah, baik pada diri sendiri, sesama manusia, alam dan terutama keapda
Allah SWT. Kelima, ia mendidik untuk melakukan amar matruf nahi munkar.
Selanjutnya Amrullah Ahmad mengemukakan hakikat
pendidikan Islam adalah keseluruhan aktivitas pendidikan telah terangkum dalam
kisah Luqman seperti yang dikemukakan di atas, yaitu terdiri dari penyadaran
potensi fitri al-dien, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah),
akhlak dan sikap Islami, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal
sholeh, berdakwah (berjuang) memenuhi tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah
kepada Allah WT.[13]
Dalam rumusan yang cukup simpel dan mencakup, Muhaimin
dan Abdul Mujib mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam itu adalah proses
transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak
melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan
dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.[14]
b. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum, tugas pendidikan menurut Arifin,
adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari
tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai titik kesempurnaan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan
di sini difokuskan untuk menumbuh kembangkan fisik dan psikis anak didik, serta
mengembangkan potensi, predesposisi dan bakat yang dimilikinya.[15]
Secara operasional, pendidikan diselenggarakan untuk
melakukan "bimbingan" yang lebih bersifat afektif dan menyangkut
pembinaan moral peserta didik, "pengajaran" yang lebih bersifat
kognitif dan menyangkut pengembangan intelektualitas peserta didik, dan "pelatihan"
yang lebih bersifat psikomotorik dan menyangkut pembentukan skill dan
ketrampilan peserta didik. Selanjutnya, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan
tugas pendidikan Islam secara spesifik, yaitu meliputi tiga hal. Pertama,
membantu anak didik pada ketakwaan dan akhlaqul karimah, yang dijabarkan
dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman dan
multi-aspek keikhlasan. Kedua, meningkatkan kecerdasan dan kemampuan memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi, manfaat dan aplikasinya dalam meningkatkan kualitas
hidup dengan memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.
Ketiga, mewujudkan pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap
keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia serta makhluk yang lainnya.[16]
Sedangkan fungi pendidikan Islam adalah menyediakan
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan
dengan baik dan lancar. Penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang bersifat
struktural dan institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi yang
mengatur perjalanan proses pendidikan, baik vertikal maupun horisontal, dan melembagakan
struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang konsisten,
berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.[17]
Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga
pendidikan Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan tranformasi kebudayaan
Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban
manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan umat Islam[18].
Proses transimisi dan trasnformasi kultural itu dapat berlangsung dengan haik,
apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisir dan terlembaga dengan
baik pula.[19]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam, menurut Jusuf Amir
Faisal, bertitik tolak pada prinsip atau aqidah-ibadah-akhlaq
untuk mencapai kemuliaan manusia dan budaya yang diridlai Allah Swt. Oleh
karena itu, fungsi pendidikan Islam, menurutnya terdiri dari: Individualisasi
nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin
dan bersikap, berpikir dan berperilaku. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran
Islam demi terbentuknya umat Islam. Rekayasa kultur Islam demi terbentuknya dan
berkembangnya peradaban Islam. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu,
teknologi, dan demi terbentuknya para manager dan manusia profesional. Pengembangan
intelektual muslim yang mampu mencari, mengembangkan, serta memelihara ilmu dan
teknologi. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi,
fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olah raga, kesehatan dan
sebagainya. Pengembambangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota
dan pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.[20]
c. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Jusuf Amir Faisal membagi dasar pendidikan Islam pada:
pertama, hukum tertulis, berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah, dan kedua, hukum tidak
tertulis berupa hasil pemikiran manusia.[21]
Dasar-dasar teori pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir
terdiri dari: pertama, Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama,
kedua, hadits sebagai sumber ajaran agama Islam kedua, dan ketiga, akal disuruh
untuk dipergunakan oleh Al-Qur'an dan hadits.[22]
Sedangkan menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, dasar
pendidikan Islam ada dua, yaitu: pertama, dasar ide antara lain Al-Qur'an, Sunnah
Nabi SAW, kata sahabat, kemasyarakatan dan hasil pemikiran para pemikir Islam; kedua,
dasar operasional terdiri dari dasar historis, sosial, ekonomi, politik dan
administrasi, psikologi dan fisiologis.[23]
M. Arifin memandang bahwa pembicaraan tentang
tujuan pendidikan Islam, adalah sama halnya dengan pembicaraan tentang
nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal itu berarti bahwa tujuan pendidikan
Islam itu tidak lain adalah idealitas Islami, yang mengandung nilai-nilai sikap
dan perilaku manusia yang dilandasi dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah Swt.
Idealitas Islami yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tujuan Allah Swt
menciptakan manusia dan menurunkannya ke muka bumi. Pertama, manusia diciptakan
oleh Allah SWT supaya menjadi abdullah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[24]
Kedua, Allah menurunkan manusia ke muka bumi untuk
menjadi khalifah fil ardh.
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_
y#Í´¯»n=yz
ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/
s-öqsù <Ù÷èt/
;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9
Îû !$tB ö/ä38s?#uä
3
¨bÎ)
y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9
7LìÏm§
ÇÊÏÎÈ
dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.[25]
Jadi secara sederhana, tujuan pendidikan Islam itu
adalah untuk meningkatkan kualitas ke-abdullah-an dan ke-khalifah-an
manusia di muka bumi. Namun demikian, dalam Konferensi Pendidikan se-Dunia yang
pertama di Mekkah pada tahun 1977, tujuan pendidikan Islam berhasil dirumuskan
secara sistematik dan komprehensif, yaitu: Pendidikan seharusnya bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh dan seimbang melalui
latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena
itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya:
spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara
individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak
dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi,
komunitas, maupun seluruh umat manusia.[26]
d. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Komponen
Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikut adalah komponen
dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Sebagaimana pendidikan pada umumnya,
komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam terdiri dari pendidik dan anak didik. Dalam
perspektif pendidikan Islam, pendidik adalah murabbi, mu'alim,
dan muaddib sekaligus. Artinya seorang pendidik harus memiliki
sifat-sifat rabbani, bijaksana, terpelajar, tanggung jawab, kasih sayang
terhadap peserta didik, dan harus menguasai ilmu teoritik, kreatif, memiliki
komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu dan sikap menjunjung tinggi
nilai-nilai ilmiah, serta mampu mengintegrasikan ilmu dan aural sekaligus.[27]
Selaku murabbi, pendidik atau guru dalam pendidikan
Islam harus memenuhi syarat-syarat: pertama, guru harus bertakwa kepada Allah Swt.
Kedua, guru harus berilmu. Ketiga, guru harus sehat jasmani. Keempat, harus
berkelakuan baik, yaitu cinta pada jabatannya sebagai guru, berlaku adil kepada
semua murid, sabar dan tenang, berwibawa, bersikap manusiawi, dan dapat bekerja
sama
dengan guru-guru lainnya dan masyarakat.[28]
Syarat-syarat itu berkaitan erat dengan unsur
keilmuan dan kemampuan intelektual yang harus inheren dalam diri pribadi
guru, di samping nilai-nilai ketakwaan dan integritas kepribadian yang
bersenyawa dan menyatu dalam dirinya.
Sebagai seorang mua’lim, guru dalam pendidikan Islam memiliki tugas:
pertama, membuat persiapan mengajar, kedua, mengajar, dan ketiga, mengevaluasi
hasil pengajaran.[29]
Tugas-tugas tersebut berhubungan dengan tuntutan profesionalisme guru dalam
menyelenggarakan interaksi belajar-mengajar dengan murid di kelas agar proses
belajar mengajar berlangsung dengan baik, lancar dan produktif. Untuk itu,
seorang guru harus mempersiapkan sebaik mungkin segala sesuatu yang dibutuhkan
demi sukses dan lancarnya proses belajar-mengajar, baik mental, fisik, psikis,
materi pelajaran, metode maupun media pengajaran yang akan dipergunakan. Guru
sebagai mu'allim lebih berkonotasi profesionalisme keguruan dan bersifat
pengajaran.
Guru sebagai muaddib harus didukung oleh
sifat: pertama, kasih sayang kepada anak didik; kedua, lemah lembut; ketiga,
rendah hati; keempat, menghormati ilmu yang menjadi pegangannya; kelima, adil; keenam,
menyenangi ijtihad; ketujuh, konsekuensi, perkataan sesuai dengan perbuatannya; kedelapan,
sederhana. Sifat-sifat tersebut berhubungan dengan guru sebagai "public
figur" yang selalu menjadi sorotan dan perhatian murid-murid.[30]
Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi "uswatun hasanah" dalam
setiap sikap dan perilakunya bagi mereka, di samping sebagai pembimbing moral
dan spiritual yang konsisten.
Dalam perspektif pendidikan Islam, anak didik
adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikis, untuk
mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Anak didik pada
hakikatnya adalah: pertama, anak didik bukan miniatur orang dewasa, melainkan
ia mempunyai dunia tersendiri; kedua, anak mengikuti periode perkembangan
tertentu dan memiliki pola perkembangan, tempo dan irama tersendiri; ketiga,
anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut pemenuhan secara maksimal, keempat,
anak didik memiliki perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang
lain, kelima, anak didik merupakan obyek pendidikan aktif, kreatif, dan
produktif.[31]
e. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam sebagai salah satu
unsur dalam pemikiran pendidikan Islam memiliki tempat yang teramat penting. Fadil
al-Jamaly, seperti yang dikutip oleh M. Arifin, mengemukakan bahwa ilmu-ilmu
yang dikehendaki diajarkan oleh Al-Qur'an kepada anak didik meliputi: ilmu agama,
sejarah ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian,
ilmu biologi, ilmu hukum dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi,
ilmu balaghah dan adab, ilmu pertahanan negara dan lain-lain.[32]
Secara atomik, kurikulum pendidikan Islam oleh
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas dibagi pada dua macam ilmu, yaitu: pertama,
ilmu-ilmu agama, terdiri dari Al-Qur'an, as-Sunnah, asy-Syari'ah, teologi
(tauhid), metafisika Islam (tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik; kedua, ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis, terdiri dari ilmu-ilmu kemanusiaan,
ilmu-ilmu alam, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu teknologi.[33]
Dalam perspektif historis, Sayyed Hossein Nasr
mengetengahkan teks-teks tradisional yang dipergunakan di madrasah-madrasah
Persia, yang tetap diajarkan sampai sekarang, meliputi sains-sains yang
ditransmisi (at-naqliyah) dan sains intelektual (al-aqliyah),
walaupun semenjak abad ke-8 H/14 M dan abad-abad selanjutnya sekolah-sekolah
tradisionai Islam membatasi kurikulumnya pada sain-sains yang ditransmisi (al-naqliyah).[34]
Teks-teks tersebut meliputi: perform, sains-sains yang ditransmisi (al-naqliyah)
terdiri dari morfologi (sharf), sintaksis (nahw), kesusastraan (ma'ani
wa bayan) dan seni metafora (badi), prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqh),
sains hadits dan sejarahnya (dirayah), dan sains-sains irttelektual (Al-Qur'an,
tafsir); Kedua, sains-sains intelektual (al-aqliyah) terdiri dari logika
(mantiq), filsafat dan teologi (falsafah dan kalam), sufisme dan gnosis
(tashawwuf dan irfan), ilmu kedokteran (thibb), dan
sains-sains matematika (riyadiyah) mencakup geometri, aritmatika (hisab),
dan astronomi (baiat).[35]
Kurikulum pada masa kejayaan pendidikan Islam,
menurut Mahmud Yunus, diklasifikasikan pada: pertama, rencana pelajaran kuttab (pendidikan
dasar), yaitu meliputi:
1)
Membaca Al-Qur'an dan menghafalnya
2)
Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu,
shalat, puasa dan sebagainya.
3)
Menulis
4)
Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam
5)
Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar
(prosa)
6)
Berhitung
7)
Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya.[36]
Kedua, rencana pengajaran tingkat
menengah, yaitu meliputi:
1)
Al-Qur'an
2)
Bahasa Arab dan kesusatraannya
3)
Fiqh
4)
Tafsir
5)
Hadits
6)
Nahwu/sharaf/balagah
7)
Ilmu-ilmu pasti
8)
Mantiq
9)
Ilmu Falaq
10)
Tarikh (sejarah)
11)
Ilmu-ilmu alam
12)
Kedokteran
Ketiga, rencana pengajaran pada pendidikan tinggi,
yaitu terdiri dari dua
jurusan:
1)
Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa dan sastra
Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah yang meliputi: Tafsir
Al-Qur'an, Hadits, Fiqh dan ushul fiqh, Nahwu/sharaf, Bahasa Arab dan
kesusastraannya.
2)
Jurusan umum, yang disebut sebagai ilmu aqliyah
yang meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu alam dan kimia, Musik, Ilmu pasti, Ilmu ukur, Ilmu
falak, ilmu-ilmu ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu
kedokteran.[38]
Dalam
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun
1980, berhasil dirumuskan pola kurikulum pendidikan Islam, yaitu: kelompok I,
pengetahuan abadi, terdiri dari: pertama, Al-Qur'an, mencakup bacaan (qira’ah),
hafalan (hifdh) dan tafsir (tafsir), kedua, Sunnah, ketiga, sirah Nabi
mencakup sahabat-sahabat Nabi, dan para pengikut mereka pada awal sejarah
Islam, keempat, tauhid, kelima, ushul fiqh, dan keenam, bahasa Arab Al-Qur'an
mencakup fonologi, sintaksis dan simantik.
Dan kelompok II pengetahuan yang diperoleh,
terdiri dari: pertama, imajinatif mencakup seni, arsitektur Islam,
bahasa dan sastra, kedua, ilmu-ilmu intelektual mencakup studi sosial,
filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam,
geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, dan antroipologi, ketiga, ilmu-ilmu
alam mencakup filsafat ilmu pengetahuan, matematika, kimia, ilmu-ilmu
kehidupan, astronomi, dan lain-lain sebagainya, keempat, ilmu-ilmu
terapan mencakup rekayasa dari teknologi (sipil, misan), obat-obatan (tibb, aleopati,
homeopati dan fauna) dan lain sebagainya, kelima, ilmu-ilmu praktis
mencakup perdagangan, ilmu-ilmu administrasi (perusahaan, administrasi umum),
ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu komunikasi dan lain sebagainya.[39]
f. Pemikiran Pendidikan
tentang Konsep Metode
Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah
berkenaan dengan metode pendidikan Islam. M. Arifin mengemukakan bahwa
ayat-ayat Al-Qur'an apabila dikaji secara filosofis, mengandung nilai-nilai metodologis
dalam pendidikan, yaitu: pertama, mendorong manusia berpikir analitik
dan sintetik melalui proses berpilkir induktif dan dedukfif, kedua,
metode perintah dan larangan serta praktek, ketiga, metode motivatif,
baik motivasi teogenetik, sosiogenetik maupun motivasi biogenetik, keempat,
metode situsional, dan kelima, metode instruksional.[40]
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, metode pendidikan
Islam meliputi: pertama, metode diakronis, kedua, metode singkronik-analitik,
ketiga, metode problem-solving (hulul musykilat), keempat, metode
empiris (tajribiyah), kelima, metode induktif (al-istiqraiyah),
dan keenam, metode dedukfif (al-istinbathiyah).[41]
Secara spesifik, an-Nahlawi, seperti yang dikutip
oleh Ahmad Tafsir, mengemukakan metode pembinaan rasa beragama sebagai berikut:
1)
Metode hiwar (percakapan) qur’rani dan
nabawi
2)
Metode kisah qur’ani dan nabawi
3)
Metode amtsal (perumpamaan) qur’ani dan nabawi
4)
Metode keteladanan
5)
Metode pembiasaan
6)
Metode ibroh dan mau’izah
7)
Metode targhib dan tarhib[42]
g. Pemikiran Pendidikan
tentang Konsep Evaluasi
Pendidikan Islam
Sebenarnya, evaluasi pendidikan Islam bukan
sekedar suatu aktivitas untuk mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran.
Evaluasi ini dilakukan untuk mengkontrol dan melakukan "feed-back"
terhadap setiap langkah dari proses manajemen pendidikan.
Dalam merancang evaluasi pendidikan Islam, menurut
H.M. Chabib Thoha, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan
evaluasi, artinya, dalam merancang evaluasi harus memperhatikan tujuan evaluasi
itu sendiri, yaitu bertujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa, kelebihan dan
kekurangan guru dalam mengajar, pencapaian target kurikulum, serta untuk
mengetahui kontribusi program pendidikan pada masyarakat. Kedua, alat ukur yang
dipergunakan, maksudnya evaluasi itu dirancang dengan memperhatikan kelebihan
dan kekurangan alat ukur yang dipergunakan, baik tes tulis, tes lisan maupun
tes tindakan. Ketiga, acuan yang dijadikan standar, artinya dalam merancang
evaluasi harus memperhatikan acuan yang dijadikan standar, yaitu acuan nilai
rata-rata jelas, patokan kurikulum dan nilai etis dan normatif yang berlaku.
Keempat, pelaksanaan pengukuran, apakah berlangsung secara alami atau justru sebaliknya.
Dalam melakukan pendidikan agama, menurut Abu
Ahmadi, ada beberapa prinsif yang harus diperhatikan, yaitu: pertama,
terus-menerus (continue), artinya evaluasi itu dilakukan tidak hanya
sewaktu-waktu melainkan terus menerus, kedua, keseluruhan, artinya evaluasi
dilakukan secara integral dan tidak parsial, dan ketiga, ikhlas,
artinya, evaluasi dilakukan dengan tujuan dan niat yang baik suci. Dalam membuat
tes, ada beberapa syarat tes yang baik, meliputi: pertama, valid, tes yang
dibuat harus memiliki ukuran dan standar yang benar dan sah, kedua, relieble,
tes yang dibuat harus dapat dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan, dan
ketiga, objektif, artinya soal-soal tes yang dibuat harus jelas, tidak
kabur dan membingungkan, serta memiliki jawaban yang pasti.
Evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam
memiliki dua sifat, yaitu: pertama, kuantitatif, hasil evaluasi berbentuk angka
dalam memberikan skor penilaian, kedua, kualitatif, hasil evaluasi berbentuk
pernyataan verbal dalam memberikan penilaian.
Sedangkan jenis evaluasi yang diterapkan dalam
pendidikan Islam ada tiga, yaitu: pertama, tes tertulis (writing test),
kedua, tes lisan (oral test), dan ketiga, tes perbuatan (performance
test). Evaluasi pendidikan Islam terdiri dari: pertama, evaluasi
formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang
dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan program satuan pelajaran dalam bidang studi
tertentu, kedua, evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang diselenggarakan setelah
siswa menyelesaikan semua bidang studi dalam satu catur wulan, satu semester
atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya, ketiga, evaluasi
penempatan (placement), yaitu evaluasi yang dilakukan untuk kepentingan
penempatan pada jurusan atau fakultas tertentu, sebelum siswa mengikuti proses belajar-mengajar,
keempat, evaluasi diagnosis, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui
kesulitan kesulitan atau hambatan belajar yang dialami oleh siswa, guna dicari
solusi-altematifnya.
h. Pemikiran Pendidikan
tentang Konsep Kelembagaan
Pendidikan Islam
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, lembaga
pendidikan Islam menurut Zakiah Daradjat, terdiri dari: pertama, keluarga,
kedua, sekolah, dan ketiga, masyarakat. "Keluarga" adalah lembaga
pendidikan Islam yang pertama, sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama
dan utama bagi anak mereka. Aspek-aspek pendidikan Islam dalam keluarga yang
urgens untuk direalisasikan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak mereka,
adalah meliputi: pertama, pendidikan ibadah, kedua, pokok-pokok ajaran Islam
dan membaca Al-Qur'an, ketiga, pendidikan akhiagul karimah, dan keempat,
pendidikan akidah islamiyah.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, kurikulum
pendidikan di dalam keluarga adalah meliputi: pertama, pendidikan
kesehatan dan ketrampilan, kedua, pendidikan akal, ketiga, pendidikan rohani
atau pendidikan agama.
"Sekolah" atau lembaga-lembaga perguruan
agama Islam adalah lembaga pendidikan yang paling strategis ketimbang
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lainnya, karena lembaga ini
diselenggarakan secara sistemik-organisatoris dan dikelola secara profesional.
Di lembaga ini, guru oleh Zakiah Daradjat dikatakan sebagai guru profesional
yang memikul tanggung jawab pendidikan pada anak didik, setelah orang tua
mereka menyerahkan tanggung jawab pendidikannya padanya. Lembaga-lembaga
perguruan Islam mencakup madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah
aliyah, madrasah diniyah, sekolah guru agama pondok pesantren, dan perguruan
tinggi Islam bail negeri maupun swasta.
"Masyarakat" memiliki pengaruh yang
besar dalam mengarahkan pendidikan anak, terutama pemimpin masyarakat, seperti
yang diakui oleh Zakiah Daradjat. Dalam kerangka tanggung jawab social, setiap
anggota masyarakat mempunyai tanggung jawab pendidikan, tak terkecuali
pendidikan Islam. Salah satu rekomendasi.
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia di Mekkah
pada tahun 1977, adalah untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang baik,
sehat dan bersih dari kotoran-kotoran ideologi dan nilai-nilai yang
bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam berupa
masyarakat ini antara lain instansi-instansi pemerintah, kursus-kursus,
rumah-rumah ibadah, badan-badan masyarakat dan media massa.
2. Konsep Kurikulum
Kurikulum sering menjadi bahan perbincangan oleh
berbagai pihak, misalnya, ketika sebagian anggota masyarakat melihat hasil (out-put)
dari suatu lembaga pendidikan yang belum mencerminkan apa yang diharapkannya,
selalu menuding bahwa kurikulum lembaga tersebut tidak baik[43].
Untuk lebih memahami apa sebenarnya kurikulum tersebut, berikut ini akan
disajikan pembahasan mengenai “Hakikat Kurikulum” meliputi empat sub topik
pembahasan yaitu: 1) Pengertian kurikulum, 2) Empat cara pandang terhadap
kurikulum, 3) Komponen kurikulum, serta 4) Fungsi dan kedudukan kurikulum.
a. Pengertian Kurikulum secara Etimologis
Secara etimologis, istilah kurikulum yang dalam bahasa
Inggris ditulis ‘curriculum’ berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘curir’
yang berarti ‘pelari’, dan ‘curere’[44] yang berarti ‘tempat berpacu’. Tidak heran jika dilihat dari arti
harfiahnya, istilah kurikulum tersebut pada awalnya digunakan dalam dunia olah
raga, seperti bisa diperhatikan dari arti “pelari dan tempat berpacu”, yang
mengingatkan kita pada jenis olah raga Atletik.[45]
b. Pengertian Kurikulum berdasarkan Istilah
Berawal dari makna “curir” dan “curere”
kurikulum berdasarkan istilah diartikan sebagai “jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memeroleh medali atau
penghargaan”[46].
Pengertian tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam dunia pendididikan dan
diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang
siswa dari awal hingga akhir program demi memeroleh ijazah.[47]
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, terdapat
tiga unsur penting yang dapat dijadikan dasar pemikiran untuk memahami
pengertian kurikulum, yakni sebagai berikut.
1)
Mata pelajaran; yaitu isi kurikulum (content)
yang harus dipelajari oleh siswa, agar memeroleh pengalaman belajar
(kompetensi) yang diharapkan, sehingga di akhir program layak mendapat
penghargaan/sertifikat.[48]
2)
Aktivitas; yang dalam rumusan pengertian di atas
berbunyi “yang harus ditempuh” yaitu proses yang harus dilakukan oleh siswa
untuk memelajari mata pelajaran/sumber pembelajaran, sehingga memiliki
kemampuan (kompetensi) dan akhirnya layak diberi sertifikat/ijazah.
3)
Penghargaan/Ijazah; yaitu suatu bukti yang
mengindikasikan bahwa seorang siswa telah melakukan proses
pendidikan/pembelajaran, sehingga berhak mendapatkan penghargaan seperti dalam
bentuk ijazah atau sertifikat yang menyatakan siswa tersebut telah mencapai
kompetensi yang ditentukan.
Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang
pengertian kurikulum berdasarkan istilahnya, berikut ini dikemukakan dua
pengertian lain, yaitu menurut para ahli dan menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Kurikulum menurut Thomas W Hewitt adalah “Curriculum is the plan or program for all experiences which
the learner encounters under the direction of the school”[49].
Kurikulum adalah suatu program atau rencana yang dikembangkan oleh lembaga
(sekolah) untuk memberikan berbagai pengalaman belajar bagi siswa. Definisi
tersebut mengandung dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, bahwa
kurikulum adalah merupakan program atau rencana yang memuat proyeksi yang akan
dilakukan oleh lembaga pendidikan. Kedua, kurikulum merupakan seluruh
pengalaman (all experiences)[50].
Batasan kedua ini mengisyaratkan bahwa kurikulum memiliki makna yang lebih luas
daripada pengertian yang pertama, artinya selain sebagai rencana, kurikulum
juga merupakan seluruh pengalaman atau aktivitas yang terjadi sebagai realisasi
dari program atau rencana yang telah dibuat sebelumnya.[51]
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata[52], terdapat tiga konsep kurikulum, yakni
kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi. Konsep
pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum, dipandang
orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau
sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat
menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat
digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara
para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan
masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu
sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.[53]
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem
kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan
sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan
prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan,
mengevaluasi, dan menyempurnakannya[54].
Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan
fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap
dinamis.[55]
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini
merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran.
Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang
kurikulum dan sistem kurikulum.[56]
Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang
kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan
percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat
bidang studi kurikulum.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, kurikulum
adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I Pasal 1 ayat 19).
c. Empat Dimensi Cara Pandang terhadap Kurikulum
Dalam kenyataan, kurikulum lebih sering diartikan
sebagai program atau rencana, bahkan tidak jarang lebih dipersempit menjadi
hanya sebatas jadwal pelajaran setiap semester. Pandangan tersesebut tidak
seluruhnya salah, namun jika kurikulum dimaknai hanya pada kontek sebatas itu,
maka kurikulum sangat sempit dan akibatnya akan mempersempit para guru atau
tenaga kependidikan dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan di sekolahnya
masing-masing.
Oleh karena itu secara lebih luas Said Hamid Hasan[57]
dalam Kurikulum dan Pembelajaran, mengklasifikasikan pengertian
kurikulum didasarkan pada empat dimensi atau cara pandang, yaitu: 1) kurikulum
sebagai ide, 2) kurikulum sebagai rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai
kegiatan, dan 4) kurikulum sebagai hasil.
1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan
Kurikulum sebagai suatu ide pada dasarnya
merupakan sekumpulan ide-ide yang dipikirkan untuk mengembangkan kurikulum baik
dalam skala terbatas (mikro), maupun skala yang luas (makro).[58]
2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Kurikulum menurut dimensi kedua ini terfokus pada
bentuk program yang tertulis atau (document curriculum). Kurikulum dalam
dimensi kedua ini merupakan tindak lanjut dari pengertian kurikulum dimensi
pertama (ide). Misalnya sebelum mengajar guru terlebih dahulu membuat persiapan
tertulis, seperti RPP, skenario pembelajaran, LKS.
3) Kurikulum sebagai Suatu Kegiatan atau Aktivitas
Kurikulum dalam pengertian ini, yaitu dimaknai
sebagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa maupun para
pihak¬pihak yang terkait dengan pengelolaan pendidikan pada setiap jalur,
jenjang dan jenis pendidikan.
4) Kurikulum sebagai Suatu Hasil
Kurikulum sebagai suatu hasil meliputi segala
sesuatu yang terkait dengan upaya pencapaian sasaran atau tujuan yang
diharapkan. Biasanya tekanan utama aspek hasil yang dimaksud dilihat dari segi
capaian seluruh kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa, (kompetensi akademik
maupun non akademik).
Adapun unsur-unsur yang merupakan komponen pokok
kurikulum terdiri dari empat jenis, yaitu:
1) Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran yang
menjadi acuan bagi semua aktivitas yang dilakukan untuk mencapainya. Istilah yang lebih populer saat ini yang
digunakan sebagai padanan tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan
rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang harus direfleksikan dalam berfikir dan bertindak secara konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai
tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang sampai pada tujuan lebih
spesifik atau jangka pendek (segera) dengan urutan sebagai berikut.
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran akhir
yang harus menjadi inspirasi bagi setiap penyelenggara pendidikan pada setiap
jenjang, jalur dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam Undang-undang
no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
b) Tujuan Pendidikan Lembaga (Institusional)
Tujuan Pendidikan Lembaga merupakan sasaran,
harapan atau arah yang harus menjadi acuan untuk dicapai oleh setiap lembaga
pendidikan sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah yang
digunakan saat ini sebagai padanan tujuan institusional ialah “Standar
Kompetensi Lulusan/SKL” Misalnya tujuan lembaga pendidikan dasar ialah “Meletakkan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”[59]
c) Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)
Tujuan Kurikuler merupakan kemampuan/kompetensi
yang harus dimiliki oleh siswa setelah memelajari suatu mata pelajaran atau
kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang saat ini digunakan sebagai padanan
tujuan mata pelajaran (kurikuler) yaitu “standar kompetensi”
d) Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Merupakan penjabaran lebih lanjut dari standar
kompetensi, yaitu rumusan kemampuan/kompetensi (pengetahuan, sikap,
keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan bisa diketahui hasilnya
setelah setiap pembelajaran berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai padanan
tujuan pembelajaran adalah “kompetensi dasar dan indikator” pembelajaran.
2) Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus
dipelajari oleh siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum
sebagai bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai sumber yang luas dan
bervariasi (cetak, noncetak, web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)
maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
3) Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem
pengelolaan pendidikan/pembelajaran yang dilakukan di setiap lembaga
pendidikan, sehingga program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
4) Komponen Evaluasi
Merupakan
alat ukur untuk mengetahui keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan yang
telah dicapai dikaitkan dengan rencana yang telah ditetapkan oleh kurikulum.
Alat evaluasi kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat menilai seluruh
aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (tujuan, isi, metode,
evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi, saling memengaruhi dan
menentukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian kurikulum
dikatakan sebagai suatu sistem.
Kurikulum
merupakan alat untuk merealisasikan
harapan atau tujuan pendidikan. Dengan demikian kurikulum memiliki peran yang
sangat penting karena berfungsi sebagai alat untuk menata dan mengelola program
pendidikan. Kurikulum sebagai program tertulis (document curriculum)
atau disebut juga dengan kurikulum ideal (ideal curriculum) tidak
berpengaruh terhadap pencapaian sasaran pendidikan/pembelajaran sebelum
kurikulum tersebut diaplikasikan kedalam program nyata (actual curriculum)[60].
Kegiatan
nyata penerapan kurikulum yaitu dalam
bentuk “Pembelajaran”. Oleh karena itu, untuk melihat sejauhmana kurikulum
berjalan secara efektif dan efisien harus dilihat dari proses dan hasil
pembelajaran di setiap sekolah.Agar lebih jelas bagaimana hubungan antara
pendidikan, kurikulum dan pembelajaran dapat dilihat pada bagan berikut.
d. Perkembangan
Teori Kurikulum
Perkembangan
teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya.
Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan
McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun
1918[61].
Bobbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis
pengembangan praktik kurikulum. Bobbit adalah orang pertama yang mengadakan
analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam
penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam
mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar
pengembangan kurikulum.
Menurut
William Pinar, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia[62].
Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh
sejumah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya mempersiapkan
kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan
yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam,
bergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan
lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap,
kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk
mencapai hal-hal itu ada serentetan pengalaman yang hams dikuasai anak. Seluruh
tujuan beserta pengalaman-pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian
teori kurikulum.
Murray Print setuju dengan konsep Pinar tentang analisis
kecakapan/pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Charters lebih
menekankan pada pendidikan vokasional.[63]
Ada
dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters[64].
Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan ilmiah
dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan
lain-lain. Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi
mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk mencapai hal
tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum
disusun keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan
untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Bertolak pada hal-hal tersebut
mereka menyusun kurikulum secara lengkap dalam bentuk yang sistematis.
Mulai
tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan
yang berpusat pada anak (child centered).[65]
Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan
pada kehidupan sebagai orang dewasa
kepada kehidupan psikologis anak pada saat ini[66].
Anak menjadi pusat perhatian pendidikan. Isi kurikulum harus didasarkan atas
minat dan kebutuhan siswa. Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa
belajar melalui pengalaman. Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa.
Perkembangan
teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell. Dalam peranannya
sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat (Tennessee, Alabama, Florida, Virginia), ia mengembangkan konsep
kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan (society centered)
maka Caswell mengembangkan kurikulum yang bersifat interaktif. Dalam
pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-guru,
berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari
penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan,
memilih isi, menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil, dan
sebagainya[67].
Pada
tahun 1947 di Univeristas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang
teori kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama
teori kurikulum: (1) mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam
pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya, (2) menentukan
hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnya, (3)
mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk
memecahkan masalah tersebut. David Scott[68]
mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum:
(a)
Tujuan
pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
(b)
Pengalaman
pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
(c)
Bagaimana
mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
(d)
Bagaimana
kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?[69]
Empat
pertanyaan pokok tentang kurikulum dari Scoot ini banyak dipakai oleh para
pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional perhimpunan
pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua makalah penting dari
George A. Beauchamp dan Othanel Smith[70].
Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori
dalam kurikulum. Menurut Beauchamp, teori kurikulum secara konseptual
berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang
penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah
teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan,
penggunaan penelitianpenelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi
atau kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam
menjelaskan fenomena kurikulum.[71]
Dalam
makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan
teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga sumbangan utama
filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan
mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan (3) perumusan
bahasa khusus kurikulum.[72]
James
B. MacDonald melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem dalam
persekolahan yaitu kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching),
dan belajar[73].
Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn.
Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu
persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep kurikulum. Penggunaan
model sistem juga dapat membantu para ahli teori kurikulum menentukan jenis dan
lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.
Broudy,
Smith, dan Burnett[74]
menjelaskan masalah persekolahan dalam suatu skema yang menggambarkan
komponen-komponen dari keseluruhan proses mempengaruhi anak.[75]
Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai
dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang
studi, yaitu: landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rekayasa
kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori.
Thomas
L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari
biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi
kurikulum dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan
strukturnya.[76] Ada
sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini.
Topik dan subtopik dari pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum.
Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena
kurikulum, (2) sistem kurikulum, (3) unit analisis dan unsurunsurnya, (4)
struktur sistem kurikulum, (5) fungsi sistem kurikulum, (6) proses kurikulum,
dan (7) prosedur analisis struktural-fungsional.[77]
Alizabeth
S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori
kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori
kurikulum-formal (formal-curriculum theory), (3) teori kurikulum
valuasional (valuational curriculum theory), dan (4) teori kurikulum
praksiologi (praxiological curriculum theory).[78]
Teori
kurikulum (curriculum theory atau event theory) merupakan teori
yang menguraikan pemilihan dan pemisahan kejadian/peristiwa kurikulum atau yang
berhubungan dengan kurikulum dan yang bukan. Teori kurikulum formal memusatkan
perhatiannya pada struktur isi kurikulum. Teori kurikulum valuasional mengkaji
masalah-masalahpengajaran apa yang berguna bagi keadaan sekarang. Teori
kurikulum praksiologi merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai
tujuan-tujuan kurikulum. Walaupun mungkin, ada yang tidak setuju dengan seluruh
pendapat Maccia, tetapi ia telah berhasil menunjukkan sejumlah dimensi
kurikulum yang cukup berharga untuk menjelaskan teori kurikulum.
Mauritz
Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan kurikulu.[79]Kurikulum
merupakan hasil dari sistem pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan
bukan kurikulum. Menurut Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan
belajar yang terstruktur. Jadi, kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan
dengan kegiatan. Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar
anak menjadi bagian dari pengajaran.
Johnson
menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu: (1) A curriculum is a structured series of
intended learning out comes. (2) Selection is an essential aspect of curriculum
formulation. (3) Structure is an essential characteristic of curriculum. (4) Curriculum
guide instrcution. (5) Curriculum evaluation involves validation of both
selection and structure. (6) Curriculum is the criterion for instructional evaluation.[80]
Maksudnya adalah bahwa (1) Kurikulum adalah serangkaian keluaran belajar secara
tersetruktur. (2) Pemilihan merupakan aspek penting dari formulasi kurikulum.
(3) Struktur merupakan karakteristik penting dari kurikulum. (4) Kurikulum
memandu pengajaran. (5) Evaluasi kurikulum mencakup validasi dari kedua seleksi
dan struktur. (6) Kurikulum adalah kriteria untuk evaluasi pembelajaran.
Jack
R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu aktor,
artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam
pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum[81].
Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi
kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
Saat
ini aliran kurikulum yang populer adalah aliran progresivisme dan
rekonstruksionisme. Aliran
progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam
sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua
tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan[82].
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme
ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant
Schiller, dan Georges Santayana.[83]
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan
saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara
berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu,
filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.[84]
John Dewey memandang bahwa pendidikan
sebagai proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik
dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka
dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab
belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.[85]
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah
sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena
sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat
mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar
atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini,
sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan
kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan
bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.[86]
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak
didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak
hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis.[87]
Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
Ciri Progresivisme : (a) Suka melihat
manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. (b) Oposisi bagi
setiap upaya pencarian kebenaran absolut. (c) Lebih tertarik kepada perilaku
pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. (d) Pendidikan
dipandang sebagai suatu proses. (e) Mencoba menyiapkan orang untuk mampu
menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang memadai.
(f) Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan
masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-centered. (h) Pendidik adalah
motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i) Bergerak sebagai
eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau
masyarakat.[88]
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat
menekan atau mengancam adanya manusai itu sendiri. Berhubung dengan itu
progresivisme kurang menyetuju adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik
yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat
diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik),
karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada
kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu
adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan
atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti
perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagiana utama dari
kebudayaan. Kelompok ini meliputi. Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu
Alam.
Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress,
lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progrevisme. Sehubungan
dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu
tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini
haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain.
Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup
yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti ini.
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative
Intelligence, mengatakan bahwa: “…….. Sifat utama dari pragmatisme
mengenali realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori
realita yang umum”.[89]
Di antara kaum pragmatis (jadi progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang
ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain seperti George Santanya, John Chlids tidaklah
demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme
mempunyai berbagai konsep tentang eksistensi, alam bukanlah ditentang
eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai
pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut
prosesnya.[90]
Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam
semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses atau tata
dimana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim
dengan kosmos, realita dan alam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi
progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yang kuat.
Untuk ini, pengalaman, diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup
adalah perjuangan, tindakan dan perbuata. Berarti pengalaman adalah perjuangan
pula.
Tinjauan mengenai realita di atas memberikan
petunjuk bahwa pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epsitimologi
dari pada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan
pengalaman yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain agar dapat
dimengerti arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut
bahw pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.[91]
Untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud,
diberlkaukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif,
rasional, dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan
dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan
kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya adanya
pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa dalil
atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara induktif.
Rasional berasal dari kata rasio yang berarti akal
atau budi. Dalam epistimologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu
adalah instrumen utama baig manusia untuk memperleh pengetahuan. Empirik adalah
sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi
manusia untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme tidak menyetujui adanya semua bentuk
generalisasi baik yang apriori atau yang aposteriori. Pengalaman sebagai suatu
unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan
pertikular.
Progresivisme mengadakan pembedaan antara
pengetahuan dan kebenaran[92].
Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang
terhimpun dari pengalaman, yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil
tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen
pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi
tertentu, yang mungkin keadaan kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor
utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat
mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang
berujud sebagai lingkungan fisik,m maupun kebudayaan atau manusia.[93]
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada
faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai
bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti
yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai-nilai. Disamping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana ekspresi
tentulah mendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan
kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh karena ada faktor-faktor yang menentukan
adanya nilai, maka makna nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat
dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang
dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak
mengadakan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua
jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan
kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik
tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan
akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi
yang bersifat operasional, bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan
kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti
kesehatan akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati
faedah kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial
pula.
Pragmatisme sebagai aliran filsafat dan
pragmatisme bagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah
dituliskan oleh John Dewey. Sumbangan John Dewey[94]
ini dipandang sebagai kekuatan intelektual yang dapat menggerakkan perkembangan
progresivisme selanjutnya. Ia dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan
pentingnya peranan berbagai teori dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh
lain bagi pendidikan. Tokoh-tokoh lain ini, misalnya William James, Harace
Mann, Francis Parker, dan Felix Adler.
Selain dari pada tokoh tersebut di atas, yang
hidup pada Abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai progresivisme
dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato membuat konsep
pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai persiapan
ketangguhan dalam peperangan. Johanna Amos Comenius menghendaki pengajaran yang
cocok, yang sesuai akan adanya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh lain
yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friderich Frobel.[95]
Dalam pendidikan historis dapat dipelajari bahwa
tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis
timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari
tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progerisivisme didukung oleh
organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive Education
Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamaya untuk menerapkan pendidikan
baru disamping yang tradisional. Selain itu Assosiation for Childhoor Education,
the American Federation of Teachers, Association for Development, adalah
organisasi-organisasi yang mengembangkan metode mengajar menurut progresivisme.[96]
Pandangan progresivisme mengenai belajar bertumpu
pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya
dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan
ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagian makhluk, anak didik mempunyai akal dan
kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamusi dan kreatif dan dengan
kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan
problema-problema. Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan
adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah dipandang
tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga
manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam
arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya
lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak
mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di
sekitar-nya. Hal ini terutama kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi
kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan atau
kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat
perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk
kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat,
perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam lingkungan sekolah.[97]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu
berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis tercermin
dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif,
bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan
pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang dimaksudnya dengan pengalaman yang edukatif
adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang
digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang
universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya
peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi
pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan
kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan setempat.[98]
Sementara itu, aliran rekonstruksionisme saat ini
menjadi salah satu landasan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kata
Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang
berarti menyusun kembali[99].
Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran
yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[100]
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme,
yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut memandang
bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu
oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan
kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat
akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa
masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh
rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti
diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.
Ciri Rekonstruksionisme : (a) Promosi pemakaian problem
solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial
yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan
tambal-sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang
tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun
menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu
diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada
penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur
kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia
adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn
by doing (belajar sambil bertindak).[101]
B. Penelitian
Yang Relevan
Gagasan
atau pemikiran pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sudah beberapa
diteliti. Ada yang meneliti aspek filsafat pendidikannya, ada yang meneliti
aspek kontribusinya dalam perkembangan pendidikan Malaysia, ada pula yang
meneliti aspek pemikiran politik pendidikannya.
Penelitian
tentang aspek filsafat pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas antara lain
dilakukan oleh Ibrahim Lutfi berjudul: “Filsafat Pendidikan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas”, penelitian disertasi untuk memperoleh gelar doktor di Universitas
Islam Internasional Malaysia (Melayu: Universiti Islam Antarabangsa Malaysia
(UIAM), Inggris: International Islamic University Malaysia (IIUM), Arab: الجامعة الإسلامية العالمية ماليزيا) adalah
salah satu universitas di Malaysia yang didirikan pada tahun 1983 oleh Kerajaan
Malaysia. Kampus universitas ini berlokasi di Gombak, Selangor. Walaupun
universitas ini berasaskan ajaran Islam, namun mahasiswa non-muslim juga
diterima sebagai mahasiswa. Dalam disertasinya itu, Ibrahim Lutfi mengelaborasi
pemikiran filsafat Al-Attas yang menurutnya mengandung corak tasawuf. Jadi
pemikiran pendidikan Islam Al-Attas merupakan kombinasi antara pemikiran
filsafat dan tasawuf.
Penelitian
tentang Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang lain dilakukan oleh Salah Ahmad
Muzaffar berjudul “Konsep Manusia Menurut Al-Attas” yang dilakukan pada tahun
2009 sebagai tesis di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini ditemukan
pandangan Al-Attas bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani,
maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu
Ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman
dan riset manusia). Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia
dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia,
adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra
ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra
jasmaniyah. Menurut Al-Attas, akal merupakan mata rantai yang menghubungkan
antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah
substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran
ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan
kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia. Karena itu, dalam
sistem pendidikan Islam, ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat
rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena
universitas menurut Al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling
tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan.
C. Kerangka
Berpikir
Pemikiran
tentang kurikulum adalah bagian penting dalam keseluruhan kajian pendidikan.
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kurikulum. Pendidikan amat bergantung
pada pemikiran di bidang kurikulum. Pemikiran kurikulum pendidikan sebagai
bagian dari aktivitas pemikiran pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
keseluruhan sistem berpikir manusia. Manusia berpikir, termasuk berpikir
tentang kurikulum pendidikan, sesuai dengan pandangan dunianya. Maka, pandangan
dunia Islam (Islamic world view) yang dimiliki seseorang akan
mengantarkannya pada pemikiran pendidikan yang Islami. Sebaliknya pandangan
dunia sekuler (secularis world view) juga akan melahirkan pemikiran
pendidikan sekuler.
Mencermati
kondisi pendidikan dewasa ini yang sarat dengan permasalahan, maka peniruan
terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan
dengan cita-cita masyarakat Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk
mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita Islam.
Paradigma pendidikan yang sesuai dengan cita-cita Islam adalah paradigma
pendidikan yang digali dari sumber-sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah
Nabi) serta pemikiran ulama dan cendekiawan Muslim baik klasik maupun
kontemporer.
Dalam
wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang
pentingnya membangun paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai
wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan
di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan
setelah melalui pendidikan. Di samping itu secara fungsional Nabi Muhammad,
sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu
pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat
dengan norma-norma tertentu. Di sini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk
dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu. Ketiga, dalam
memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung
mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun
mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan
Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu,
nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara
kritis fenomena kependidikan. Kurikulum pendidikan Islam, termasuk pemikiran Syed Muhammad Naquib
al-Attas tentang kurikulum, dapat dihasilkan dari suatu sistem pendidikan
Islam. Sementara sistem pendidikan Islam harus dideduksi dari teks-teks kitab
suci, pemikiran para ulama dan cendekiawan Islam klasik dan kontemporer.
[1] Dhiman, O.P. (2006).
Understanding Education: An Overview of Education. New Delhi: Excel
Prints, hal. 65
[2] Eames, S. Morris
(2010). Essays on John Dewey and Pragmatic Naturalism. Illinois: Sothern
Illinois University Press, hal. 3-11.
[3] Al-Attas, Syed Muhammd Naquib (1985) Islam, Secularism and the
Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited.
1985. hak. 173.
[4] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1980) The Concept of Education in
Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to
the Second World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan. 1980. hal 7
[5] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1995) Prolegomena to The
Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Islamic Civilization (ISTAC), hal. 56
[6] Al-Attas, Syed Muhammd Naquib (1985). Islam, Secularism and the
Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited, hal.
173.
[7] Daud, Wan Mohd
Wan (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas.
Bandung: Mizan, 167
[8] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1993)
Islam and Secularism. Kuala
Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd, hal 149.
[9] Moh. Roqib (2009) Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan
Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta :
LKiS, hal. 18
[10] Mujamil Qomar (2008) Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 207
[11] Amrullah Ahmad (2007) Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta : Dian, hal. 23
[12] QS.Luqman 31:14
[13] Amrullah Ahmad, op.cit., hal. 29
[14] Muhaimin dan Abdul Mujib (1993) Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional. Bandung:
Trigenda Karya, hal. 136
[15] M. Arifin (1991) Filsafat Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 33
[16] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit.,
hal. 67
[22] Ahmad Tafsir (1994) Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, hal. 22
[24] Q.S. Adz-Dzariyat 51:56
[25] Q.S. Al-An’am 6: 165
[26] Ali Ashraf (1986) Horizon Baru
Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 107
[27] Ibid., hal. 109
[28] Zakiyah Darajat (1992) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, hal. 44
[29] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 86
[30] Ibid, hal. 87
[32] M. Arifin, op.cit., hal.
94
[33] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas
(1994) Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, hal. 90
[34] Sayyed Hossein Nasr (1994) Islam:
Tradisi di Tengah Kancah Modern. Bandung: Mizan, hal. 181
[35] Makdisi, George (1990). Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, hal. 88
[37] Ibid., hal. 103
[38] Ibid., hal. 104
[39] Ali Ashraf, op.cit., hal. 116
[40] M. Arifin, op.cit., hal.
113
[41] Muhaimin-Abdul Mjib, op.cit.,
hal. 247
[42] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 135
[43] Srivastava, D. S. & Sarita
Kumari (2005) Curriculum and Instruction. New Delhi: Isha Book, hal. 81
[44] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung:
Citapustaka Media Perintis
[45] Ellis, Arthur K.,
(2004). Exemplars of Curriculum Theory. Seattle: Seattle Pasific
University Press, hal. 15
[47] Squires, David A. (2006)
Curriculum Alignment: Research-Based Strategies for Increasing Student
Achievement. California: Sage Publication, hal. 54
[49] Hewitt, Thomas W. (2006) Understanding
and Shaping Curriculum: What We Teach and Why?. London: Sage Publication
Ltd., hal. 8
[50] James, Michael E. (1992) Social
Reconstruction Through Education: The Philosophy, History, and Curricula
of a Radical Idea. New Jersey: Greenwood, hal. 18
[51] Chandra, S.S. &
Rajendra K. Sharma (2004). Principles of Education. New Delhi: Atlantic
Publisher, hal. 45
[52] Sukmadinata, Nana Syaodih (2002) Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek. Bandung: Rosda Karya, hal. 27
[53] Ibid.
[55] Ibid.
[56] Winch, Christopher
& John Gingell (2008). Philosophy of Education: The Key Concepts.
London: Routledge, hal. 34
[57] Hasan, Said Hamid (2009) Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Grasindo, hal. 7
[58] Kelly, A. V. (2004) The
Curriculum: Theory and Practice. London: Sage Publication Ltd., hal. 18
[60] Kridel, Craig (2010) Encyclopedia of Curriculum Studies.
London: Sage Publication Ltd., hal. 562
[61] Sukmadinata, Nana Syaodih (2002) Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek. Bandung: Rosda Karya, hal. 28
[62] Pinar, William (1994) Understanding Curriculum: An Introduction to
the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses. New York : Peter Lang
Inc., hal. 76
[63] Print, Murray
(1993) Curriculum Development and Design. New South Wales: Allen &
Unwin, hal. 74
[64] Marsh, Colin
J. (2004) Key Concepts for
Understanding Curriculum. New York: RoutledgeFalmer, hal. 18
[70] Slatery, Patrick (1995), Curriculum Development in the Postmodern Er. New York : Garland Publishing, Inc., hal. 261
[73] Srivastava, D. S. & Sarita
Kumari (2005) Curriculum and Instruction. New Delhi: Isha Book, hal. 172.
[74] Ravi, S. Samuel (2011) A Comprehensive Study of Education. New
Delhi: PHI Learning Private Limited, hal. 56
[82] Isjoni (2008), Membangun Visi Bersama: Aspek-aspek Penting dalam
Reformasi Pendidikan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia ,
hal. 232
[83] James M. Wallace (2006) The Promise of Progressivism: Angelo Patri
& Urban Education. New York :
Peter Lang Publication, hal. 76
[84] D. S. Srivastava & Sarita Kumari (2005) Curriculum and
Instruction. New Delhi :
Isha Book, hal. 2
[85] James M. Wallace op.cit., hal. 77
[86] Ibid., hal. 79
[87] Marlow Ediger (2003) Elementary Curriculum. New delhi : Discovery Publishing House, hal. 5
[88] Ibid., hal. 80
[89] John Dewey (1917), Creative Intelligence. New York : Henry Holt and Company, hal. 90
[90] Colin J. Marsh (2004) Key Concepts for Understanding Curriculum.
New York :
RoutledgeFalmer, hal. 6
[91] David Scott (2001) Curriculum and Assessment. London : Ablex Publishing, hal.9
[92] Hamm, Cornel M. (1999). Philosophical Issues in Education:
An Introduction. London: RoutledgdFalmer, hal. 3
[93] A. V. Kelly (2004) The Curriculum: Theory and Practice. London : Sage Publication
Ltd., hal. 7
[94] Ibid., hal. 48
[95] Ibid., hal. 89
[96] James M. Wallace, op.cit., hal. 87
[97] Ibid., hal. 198
[98] Ibid., hal. 201
[99] Heyting, Frieda, Dieter Lenzen & John White (2002). Methods in
Philosophy of Education. London: Routledge, hal. 5
[100] James, Michael E. (1992) Social
Reconstruction Through Education: The Philosophy, History, and Curricula
of a Radical Idea. New Jersey : Greenwood , hal. 139
[101] Ibid., hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar