Senin, 18 Agustus 2014

Pendidikan dalam Keluarga

B.     Pendidikan di Lingkungan Keluarga
1.       Pengertian Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang pengertian pendidikan di lingkungan keluarga, terlebih dahulu akan dikaji secara parsial pengertian pendidikan dan pengertian lingkungan keluarga. Kemudian setelah dijelaskan makna kata- tersebut akan dilakukan pemaduan sehingga menjadi konsep yang utuh tentang pendidikan di lingkungan keluarga.
a.  Pendidikan
Kata  "pendidikan"  semakna  dengan  "rabba" atau "ta'dib"  dalam bahasa  Arab.  Pendidikan secara  sederhana  berarti usaha  manusia untuk  membina kepribadian yang sesuai dengan  nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.[1]
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam  Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan perkataan ta'dib. Adapun pengertian ta'dib mengacu  kepada pengertian  yang  lebih tinggi dan  mencakup semua unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta'lim), dan  pengasuhan yang  baik  (tarbiyah).  Meskipun ketiga istilah itu dapat digunakan dengan pengertian yang sama, ada beberapa ahli pndidikan yang berpendapat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna yang khusus (tersendiri). Syed Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat sebagai berikut:
Ta'lim hanya berarti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan. Adapun tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan tambahan, membesarkan, memproduksi, dan menjinakan; bukan suatu istilah yang tepat untuk menyatakan pendidikan bagi manusia, karena pendidikan dalam Islam harus khusus hanya untuk menusia.[2]

Menurutnya, yang tepat untuk istilah pendidikan dalam bahasa Islami ialah ta'dib. Ia menjelaskan sebagai berikut: Pendidikan, termasuk pula proses pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang temat-tempat Allah yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Jadi menurut pendapat Al-Attas, ta'dib lebih tepat menunjukkan pengertian pendidikan dalam Islam, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak pula meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta'dib sudah meliputi kata tarbiyah dan ta'lim.
Pendidikan  itu sendiri mempunyai  makna  pengalihan nilai-nilai. Hal ini sejalan dengan pernyataan  Hasan  Langgulung[3] bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berlanjut. Atau denan kata lain berarti penyaluran nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut terpelihara. Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan mengandung arti pengembangan potensi individu." Bila pernyataan  itu diterima,  maka  mengandung konsekuensi  bahwa  pendidikan tidak sekedar "transfer of knowledge", tetapi juga "transper  of  values". Jadi pendidikan itu  harus  sampai  pada memindahkan  nilai-nilai yang dianut, tidak berhenti  pada penyampaian pengetahuan saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan dalam perspektif Islam adalah suatu proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim kepada orang lain agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tpat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
b.  Lingkungan Keluarga
Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan memiliki empat pengertian, yaitu (1) daerah (kawasan dsb) yang termasuk di dalamnya; (2) bagian wilayah di kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan atau kalangan; (4) semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia.[4].
Adapun secara istilah, belum ditemukan pengertian yang baku mengenai lingkungan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini definisi lingkungan, didasarkan kepada pengertian leksikal, yakni kawasan atau lebih cenderung kepada makna yang keempat, yaitu semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia..
Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”keluarga” digunakan dalam pengertian hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam arti hubungan darah,  keluarga dibedakan pada dua istilah, yakni keluarga besar dan keluarga inti.Keluarga besar memasukan kerabat dan orang-orang yang terhubung dengan perkawinan sebagai keluara. Jadi di samping ayah, ibu dan anak-anak, ada pula kakek, nenek, paman, bibi, cucu, ponakan, mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun keluarga inti atau keluarga dalam arti sempit adalah suami istri dan anak-anak yang lahir darinya.
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan; sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya[5]. Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa: ”dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear  family), yakni kelompok sosial terkecil yang  terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum  menikah.[6]
Keluarga batih lazim juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini. Kenyataan demikian diakui oleh William J. Goode yang menyatakan sebagai berikut.
Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu  ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi kuat.[7]

Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih  (ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga  merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar. Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran  sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[8]
Keluarga  itu dapat diartikan pula sebagai  kelompok pertalian  nasab (keturunan) yang dapat  dijadikan  tempat untuk  membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan  kebutuhan hidup  lainnya.[9] Suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila terdiri dari ayah, ibu  dan anak-anak. Apabila salah satunya tidak  ada  maka dikatakan keluarga tidak lengkap. 
Dengan memperhatikan beberapa definisi keluarga sebagaimana dinyatakan  di atas, maka dalam  tulisan  ini keluarga  diartikan secara sempit, yakni  kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak. Dengan  kata lain keluarga adalah orang-orang  yang  hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam), sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama  untuk  mencapai  kesejahteraan  semua   anggota keluarganya itu. Jadi lingkungan keluarga adalah wilayah kewenangan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dalam satu rumah tangga.
c. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan pengertian pendidikan dan lingkungan keluarga sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan di lingkungan keluarga adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim (orang tua) kepada anaknya agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Proses tersebut terjadi di kawasan yang sempit, yakni kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak.

2.       Tujuan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya, tujuan pendidikan di lingkungan keluarga secara umum tidak berbeda dengan tujuan pendidikan di lembaga pendidikan formal maupun non formal, yakni sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[10]


Dalam sebuah keluarga, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan, diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada aspek tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tempat individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[11].
Dalam hal ini Al-Toumy membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu tujuan-tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Dilihat dari pembagian ini selanjutnya Al-Toumy menjelaskan sebagai berikut.
a.       Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu, anakan dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
c.       Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[12]


Tujuan berbeda dengan keinginan. Perbedaannya nampak dalam rencana dan bertindak secara sistematis dalam proses intelektual yang kompleks memerlukan kemahiran dan kecerdasan, perencanaan dan metode, dan bertindak mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga mejadi suatu konsep tujuan yang harus dicapai dalam sebuah proses.
Hasan Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam kepada tiga tinggat, yaitu tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan pendidikan khusus. Tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan khalifah, yang hanya dapat dicapai setelah melalui tahap tujuan khusus dan tujuan umum. Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau perubahan yang dihekendaki, diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat kepada tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus.
Pendidiakan Islam merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem (pendidikan) di dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsur yang sama, itu disebabkan karena pendidikan Islam bersifat terbuka selama tidak bertentengan dengan jiwa Islam.[13]  Mengingat hal tersebut, maka pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu yang dapat dianalisis dari segi sistematik atau pendekatan sistem. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka pelaksanaan pendidikan. Komponen komponen yang dimaksudkan adalah (1) tujuan pendidikan Islam, (2) pendidikan dalam pendidikan Islam, (3) Anak didik, (4) Materi pendidikan Islam, (5) Metode pemikiran Islam, (6) Kegiatan pendidikan Islam. Dari keseluruhan Komponen tersebut yang sangat urgen adalah tujuan pendidikan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan diuraikan mengenai tujuan pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung[14] tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan hanya lah suatu alat yang dipergunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutkan hidupnya sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Ahmad Tafsir[15] menjelaskan sebagai berikut; tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurana, atau manusia yang taqwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah. Muslim yang sempurna adalah manusia yang memiliki:(1) Jasmani yang sehat dan kuat, (2) akal yang cerdas serta pandai, ( 3) hatinya taqwa kepada Allah.
Konfrensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 yang berlangsung di Mekkah telah memberikan rekomondasi tentang tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua asfek ini kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia[16].

Adapaun menurut pendapat Al-Attas[17] bahwa "tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya ialah untuk menjadi seorang manusia yang baik". Abdurrahman An-Nahlawi[18] menyatakan bahwa "tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat." Hasan Langgulung[19] menyatakan, "menurut pandangan Islam perkembangan fitrah adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan Islam." Perkembangan fitrah mencakup aspek perkembangan diri (self actualization), perkembangan spiritual (ruh) dan akal, disamping jasmani dan mental.  Adapun Athiyah Al-Abrasy[20] menyatakan sebagai berikut :
Pendidikan budi pekerti jiwa adalah jiwa pendidikan  Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adaah sebenarnya dari pendidikan, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani, akal, ilmu, atau segi - segi praktis lainnya, tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya.

Pernyataan Athiyah tersebut menekankan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna, dengan tidak mengabaikan aspek-aspek lain pada diri manusia. Ini sejalan dengan pendapat Zakiyah[21] yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam  yaitu menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa dan meyakini (Islam) sebagai suatu kebenaran tersebut melalui akal, rasa feeling di dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.
Jika kita perhatikan, semua tujuan yang telah disebutkan  itu dinyatakan sebagai tujuan umum atau diistilahkan pula dengan tujuan akhir. Adapun untuk merealisasikan tujuan umum tersebut diperlukan tujuan sementara atau terminal-terminal tujuan yang secara umum biasa disebut dengan (1) tujuan institusional, (2) tujuan kurikuler, (3) tujuan instruksional atau tujuan operasional umum dan khusus pada lembaga pendidikan formal.
Demikian tujuan pendidikan Islam yang umum yang dapat dijabarkan kepada bentuk-bentuk tujuan yang lebih khusus. Ini dapat terjadi karena, pendidikan dalam Islam merupakan kegiatan atau proses yang melalui tahap demi tahap dan tingkatan demi tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan dalam Islam tidak statis tetapi merupakan suatu keseluruhan yang bergerak maju seiring dengan perkembangan zamannya. Tahapan dan tingkatan dalam pendidikan dan dalam tujuannya berdasar kepada salah satu ayat dalam al-Quran antara lain yang menyebutkan bahwa manusia itu hidup melalui tingkat demi tingkat. Ayat dimaksud adalah Q.S . Al- Insiqoq  ayat 19,  lafadznya sebagai berikut:

Artinya:Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (Q.S. 84:19) (depag RI, 1984:1041).
Dari penjelasan ini atas, nampak ahli pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan sehingga menimbulkan kesan tujuan pendidikan Islam begitu banyak dan berbeda-beda. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya persepsi yang berbeda mengenai prototype manusia ideal yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan.

3.       Sifat Umum dan Fungsi Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pendidikan keluarga, merupakan pendidikan yang pasti dialami seseorang sejak ia dilahirkan, dan biasanya dilaksanakan sendiri oleh orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian pendidikan keluarga memiliki sifat umum, fungsi dan sifat khusus.
a.     Sifat-sifat umum pendidikan keluarga
Sifat-sifat umum yang dimaksud adalah sifat keluarga sebagai lembaga pendidikan yang ikut bertanggungjawab dalam proses pendidikan. Sifat-sifat umum ini meliputi keluarga sebagai lembaga pendidikan tertua, informal, pertama dan utama, dan bersifat kodrati. Untuk lebih jelasnya mengenai ciri umum pendidikan keluarga ini disajikan pernyataan Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso[22] sebagai berikut.
1)      Lembaga pendidikan tertua
Ditinjau sejarah perkembangan pendidikan maka “Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang tertua”. Lembaga pendidikan lahir “sejak adanya manusia di mana orang tua yaitu ayah serta ibu sebagai pendidiknya dan anak sebagai si terdidiknya”.
2)      lembaga pendidikan informal
Dengan lembaga informal yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang tidak terorganisir, tidak mengenal penjenjangan kronologi atas dasar usia maupun pengetahuan/keterampilan. Atau dengan kata lain lembaga pendidikan ini “tidak kita jumpai adanya kurikulum dan daftar jam anakan yang tertulis secara resmi dalam bentuk (form)  yang tertentu dan jelas.
3)      lembaga pendidikan pertama dan utama
Dalam keluargalah, pertama anak memperoleh pendidikan sejak ia dilahirkan dan pendidikan keluarga pula merupakan pembentuk dasar kepribadian anak. Sebagaimana dinyatakan oleh KI HAJAR DEWANTORO :Alam keluarga adalah pusat pendidikan pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti tiap-tiap manusia”.

4)      bersifat kodrat
Pendidikan keluarga bersifat kodrat karena “terdapatnya hubungan darah anatara pendidik dan anak didiknya. Karena sifat ini maka wewenang pendidik (Dalam hal ini orang tua) akhirnya bersifat kodrat dan wajar sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun kecuali dalam hal-hal tertentu. Disamping itu dalam pendidikan keluarga ”hubungan antara anak didik dan pendidik sangat erat pula”.
b.     Fungsi pendidikan keluarga
Fungsi pendidikan keluarga yang terpenting adalah merupakan pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moralm, sosial, dan agama:
1)    Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Dalam pendidikan keluarga, anak memperoleh “pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak” selanjutnya. Dari penyeliddikan para ahli, pengalaman pada masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan individu dalam hidupnya.
2)    Menjamin kehidupan emosional anak
Dalam pendidikan keluarga maka kehidupan emosional atau kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat terjamin dengan baik. Hal ini disebabkan  “karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena oerang tua hanya menghadapi sedikit anak dan karena hubungan tadi atas rasa cinta kasih yang murni. Terjaminnya kehidupan emosionil anak pada waktu kecil berarti menjamin pembentukan pribadi selanjutnya.
3)    Menanamkan dasar pendidikan moril
Dalam pendidikan keluarga berlangsung peniruan tingkah laku yang bersifat moralitas, sehingga pendidikan ini menyentuh pendidikan moril anak-anak “di dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidik moral yang diperoleh melalui contoh-contoh yang konkrit dala perbuatan hidup sehari-hari.
4)    Memberikan dasar pendidikan kesosialan
Dalam kehidupan keluarga sering anak-anak harus membantu (menolong) anggota keluarga yang lain seperti menolong saudaranya sakit, bersama-sama menjaga ketertiban keluarga dan sebagainya. Kesemuanya memberi pendidikan pada anak, terutama memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak.”[23]
5)    Memberi dasar pendidikan agama
Pendidikan keluarga dapat pula “merupakan lembaga pendidikan penting untuk meletakkan dasar pendidikan agama bagi anak.” Seperti tampak adanya anak-anak yang belajar mengaji pada orang tuanya atau tetangganya.
c.     Sifat khusus pendidikan keluarga
Sifat khusus dalam pendidikan keluarga dimaksud adalah beberapa hal khusus yang berhubungan dengan si terdidik dalam lembaga pendidikan keluarga, seperti sifat menggantungkan diri, anak didik kodrat, dan kedudukan anak.
1)      Sifat mengantungkan diri
Anak yang baru lahir memiliki sifat serta tergantung pada orang tuanya. Sehingga tanpa pertolongan orang tua, anak tidak akan bisa berkembang dalam hidupnya atau tidak dapat melanjutkan hidupnya.
2)      Anak didik kodrat
Terbentuknya keluarga karena pernikahan antara ayah danm ibu, maka keluarga merupakan lembaga pendidikan yang mengikat anak secara takdir menjadi anak didik dalam pendidikan tersebut. Kecuali dalam keadaan tertentu, yang menyebabkan anak dipelihara orang lain, maka nilai anal didik kodrat menjadi hilang.
3)      Kedudukan anak dalam keluarga dan kesukaran pendidikan
Kedudukan anak dalam susunan keluarga, sering menimbulkan problema  pendidikan, seperti:Anak tunggal, Anak sulung, Anak bungsu, Anak laki-laki tinggal diantara saudara-saudara perempuannya. Anak perempuan tinggal diantara saudara-saudaralaki-lakinya.




[1] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Lingkungan Keluarga (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hal. 3.
[2] Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
[3] Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
[4] Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
[5] Djudju Sudjana. Sosiologi. (Bandung: Pustaka Satya, 2001), hlm. 4.
[6] Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
[7] William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
[8] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
[9] M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
[10] Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
[11] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
[12] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), 399
[13] Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
[14] Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
[15] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), hal. 64.
[16] Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), hal. 107.
[17] Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), hal 84.
[18] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (bandung: Dipanegoro, 1992), hal. 162.
[19] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm, 59.
[20] Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
[21] Zakiyah Daradzat. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 137.
[22] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
[23] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.

KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

1. Konsep Pemikiran Pendidikan
Pemikiran pendidikan adalah istilah lain dari filosofi pendidikan atau kajian pendidikan secara filosofis. Pemikiran (thinking) telah mulai dikaji sejak zaman Plato dan Aristoteles[1]. Sebagaimana Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki banyak persamaan dengan hewan. Fitur yang membedakan manusia dari hewan lain adalah rasionalitas, yaitu kemampuan berpikir. Pada abad kesembilan belas, pemikiran didefinisikan sebagai satu jaringan ide yang berasosiasi. Definisi ini dapat menjelaskan beberapa jenis pemikiran, tapi tidak semua. John Dewey, 1921[2], mengemukakan tesis bahwa aktivitas berpikir adalah daya upaya reorganisasi pengalaman dan tingkah laku yang dilaksanakan secara sengaja. Definisi pemikiran yang paling berpengaruh sampai hari ini adalah oleh John Dewey, 1933, di mana ia melihat pemikiran sebagai perilaku menyelesaikan masalah. Konsep Dewey tentang pemikiran menekankan kemungkinan manusia mulai berpikir sebagai daya upaya untuk beradaptasi ke masalah yang sukar.
Pemikiran melibatkan pengelolaan operasi-operasi mental tertentu yang terjadi dalam pikiran atau sistem kognitif seseorang yang bertujuan untuk pemecahan masalah. Selanjutnya Mayer menyatakan bahwa pemikiran adalah pembentukan ide-ide, pembentukan kembali pengalaman dan penyusunan informasi-informasi dalam bentuk tertentu. Menurut Mayer pula, pemikiran merupakan proses luar biasa yang digunakan dalam membuat keputusan dan pemecahan maalah. Pemikiran manusia telah berkembang sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai permasalahan yang sulit. Konsepnya itu menyebabkan para ahli psikologi memberi tekanan yang berlebihan pada pemikiran adaptif dan praktikal. Tujuan berpikir adalah untuk mengumpulkan informasi dan mengunakannya sebaik mungkin. Karena, cara pikiran bekerja untuk menghasilkan corak-pola konsep yang ditetapkan tidak menggunakan sepenuhnya informasi baru, melainkan dengan memodifikasi pola-pola pemikiran lama dan memperbaharuinya. Proses pemikiran terjadi ketika konsentrasi daya usaha untuk mencapai sesuatu kesimpulan atau menyelesaikan seputar hal-hal tertentu untuk mendapatkan kesimpulan, usaha itu menggunakan fakultas kognitif untuk melaksanakannya tanpa dipengaruhi oleh emosi. Ada tiga jenis dalam proses keterampilan berpikir ini, di antara ketiga keterampilan ini tujuan utamanya adalah menuju ke arah membuat keputusan dan pemecahan masalah.
Dalam konteks pendidikan Islam, maka aspek pemikiran selalu mencakup tiga elemen penting, yaitu process, content dan recipient (proses, isi, penerima)[3]. Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia” (education is a process of instilling something into human beings). Dari definisi pendidikan tersebut, selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?”  (what is instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang ditanam di sini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi diatas adalah adab.
Setelah pertanyaan “apa yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam pengertian ini adalah penerima atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogi, andragogi dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak tidak sama dengan  mendidik remaja, mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya.
Akan tetapi elemen yang terpenting dari ketiga elemen mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah content atau isi. Dan isi yang dimaksud adalah adab. Hal tersebut sebagaimana yang dipahami oleh al-Attas, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab sebagai berikut: Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.[4]
Kalau benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik maka konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa sekarang. Al-Attas mengatakan: “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi “tarbiyah – ta’lim – ta’dib”.[5]
  Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap tentang pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) atau keduanya (ta’lim wa al-tarbiyah). Sebab istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian makna (term tarbiyah is not quite precise nor yet a correct one for connoting education in the Islamic sense).[6]
Dan istilah adab, oleh al-Attas diibaratkan layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Karena itulah ilmu pengetahuan dalam Islam sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka dalam mencari dan menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan itu, selayaknya didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas: Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut[7]. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia.[8]
Adapun istilah Tarbiyah dalam pandangan al-Attas lebih menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanaman-tanaman, dan hanya terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia. Oleh sebab itu Tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional daripada manusia.
Diskursus tentang pemikiran pendidikan Islam, setidak-tidaknya harus mencakup delapan hal, yaitu: pertama, hakikat pendidikan Islam. Kedua, tugas dan fungsi pendidikan Islam. Ketiga, dasar dan tujuan pendidikan Islam. Keempat, komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Kelima, kurikulum pendidikan Islam. Keenam, metode pendidikan Islam. Ketujuh, evaluasi pendidikan Islam. Kedelapan, kelembagaan pendidikan Islam.[9]
a. Pemikiran Pendidikan tentang Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat potensi insani untuk menumbuhkan kesadaran dalarn menemukan kebenaran. Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak bertujuan untuk meleburkan sifat dan potensi insani ke dalam sifat dan potensi malakiyah, karena ternyata praduga pada misi kekhalifahan manusia di muka bumi, yang akan menimbulkan penguasaan manusia atas manusia sehingga akhirnya menimbulkan pertumpahan darah dan perusakan di atas dunia ini, mendapatkan reaksi negatif dari Allah Swt. Misi kekhalifahan manusia di muka bumi salah satunya diaplikasikan dalam bentuk pendidikan sebagai wujud konsekuensi dari tanggung jawab intelektual Adam yang telah dididik oleh Allah SWT untuk menegakkan kebenaran. Pengakuan malaikat atas kebenaran ilmiah (kelebihan inteiektualisme Adam) merupakan sikap ibadah (sujud), dan pengingkaran Iblis atas kebenaran ilmiah itu merupakan sikap arogansi dan kekufuran.[10]
Hakikat pendidikan Islam, menurut Amrullah Ahmad[11], dirumuskan dari ajaran tauhid yang menjadi unsur penting dan dominan dalam agama Islam dan agama-agama langit (dinus samaiyi) lainnya. Ia mengatakan bahwa proses pendidikan Islam diselenggarakan sebagaimana Luqman mendidik putra-putriya:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.[12]

Pertama, Luqman menyampaikan prinsip tauhid dan larangan syirik kepada putra-putrinya. Kedua, ia mengajarkan ilmu pengetahuan Islami (hikmah) dan batasan potensi manusia untuk mengetahui sesuatu. Ketiga, ia mengajarkan sholat untuk menumbuhkan amal sholeh. Keempat, ia mendidik putra-putrinya akhlaqul karimah, baik pada diri sendiri, sesama manusia, alam dan terutama keapda Allah SWT. Kelima, ia mendidik untuk melakukan amar matruf nahi munkar.
Selanjutnya Amrullah Ahmad mengemukakan hakikat pendidikan Islam adalah keseluruhan aktivitas pendidikan telah terangkum dalam kisah Luqman seperti yang dikemukakan di atas, yaitu terdiri dari penyadaran potensi fitri al-dien, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap Islami, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal sholeh, berdakwah (berjuang) memenuhi tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah WT.[13]
Dalam rumusan yang cukup simpel dan mencakup, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam itu adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.[14]
b. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum, tugas pendidikan menurut Arifin, adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai titik kesempurnaan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan di sini difokuskan untuk menumbuh kembangkan fisik dan psikis anak didik, serta mengembangkan potensi, predesposisi dan bakat yang dimilikinya.[15]
Secara operasional, pendidikan diselenggarakan untuk melakukan "bimbingan" yang lebih bersifat afektif dan menyangkut pembinaan moral peserta didik, "pengajaran" yang lebih bersifat kognitif dan menyangkut pengembangan intelektualitas peserta didik, dan "pelatihan" yang lebih bersifat psikomotorik dan menyangkut pembentukan skill dan ketrampilan peserta didik. Selanjutnya, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan tugas pendidikan Islam secara spesifik, yaitu meliputi tiga hal. Pertama, membantu anak didik pada ketakwaan dan akhlaqul karimah, yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman dan multi-aspek keikhlasan. Kedua, meningkatkan kecerdasan dan kemampuan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, manfaat dan aplikasinya dalam meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan. Ketiga, mewujudkan pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia serta makhluk yang lainnya.[16]
Sedangkan fungi pendidikan Islam adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan dengan baik dan lancar. Penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi yang mengatur perjalanan proses pendidikan, baik vertikal maupun horisontal, dan melembagakan struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang konsisten, berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.[17]
Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga pendidikan Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan tranformasi kebudayaan Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan umat Islam[18]. Proses transimisi dan trasnformasi kultural itu dapat berlangsung dengan haik, apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisir dan terlembaga dengan baik pula.[19]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam, menurut Jusuf Amir Faisal, bertitik tolak pada prinsip atau aqidah-ibadah-akhlaq untuk mencapai kemuliaan manusia dan budaya yang diridlai Allah Swt. Oleh karena itu, fungsi pendidikan Islam, menurutnya terdiri dari: Individualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dan bersikap, berpikir dan berperilaku. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam. Rekayasa kultur Islam demi terbentuknya dan berkembangnya peradaban Islam. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan demi terbentuknya para manager dan manusia profesional. Pengembangan intelektual muslim yang mampu mencari, mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olah raga, kesehatan dan
sebagainya. Pengembambangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.[20]
c. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Jusuf Amir Faisal membagi dasar pendidikan Islam pada: pertama, hukum tertulis, berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah, dan kedua, hukum tidak tertulis berupa hasil pemikiran manusia.[21]
Dasar-dasar teori pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir terdiri dari: pertama, Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, kedua, hadits sebagai sumber ajaran agama Islam kedua, dan ketiga, akal disuruh untuk dipergunakan oleh Al-Qur'an dan hadits.[22]
Sedangkan menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, dasar pendidikan Islam ada dua, yaitu: pertama, dasar ide antara lain Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, kata sahabat, kemasyarakatan dan hasil pemikiran para pemikir Islam; kedua, dasar operasional terdiri dari dasar historis, sosial, ekonomi, politik dan administrasi, psikologi dan fisiologis.[23]
M. Arifin memandang bahwa pembicaraan tentang tujuan pendidikan Islam, adalah sama halnya dengan pembicaraan tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal itu berarti bahwa tujuan pendidikan Islam itu tidak lain adalah idealitas Islami, yang mengandung nilai-nilai sikap dan perilaku manusia yang dilandasi dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah Swt. Idealitas Islami yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tujuan Allah Swt menciptakan manusia dan menurunkannya ke muka bumi. Pertama, manusia diciptakan oleh Allah SWT supaya menjadi abdullah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[24]
Kedua, Allah menurunkan manusia ke muka bumi untuk menjadi khalifah fil ardh.
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[25]

Jadi secara sederhana, tujuan pendidikan Islam itu adalah untuk meningkatkan kualitas ke-abdullah-an dan ke-khalifah-an manusia di muka bumi. Namun demikian, dalam Konferensi Pendidikan se-Dunia yang pertama di Mekkah pada tahun 1977, tujuan pendidikan Islam berhasil dirumuskan secara sistematik dan komprehensif, yaitu: Pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh dan seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[26]
d.  Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Komponen Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikut adalah komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Sebagaimana pendidikan pada umumnya, komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam terdiri dari pendidik dan anak didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik adalah murabbi, mu'alim, dan muaddib sekaligus. Artinya seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat rabbani, bijaksana, terpelajar, tanggung jawab, kasih sayang terhadap peserta didik, dan harus menguasai ilmu teoritik, kreatif, memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu dan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta mampu mengintegrasikan ilmu dan aural sekaligus.[27]
Selaku murabbi, pendidik atau guru dalam pendidikan Islam harus memenuhi syarat-syarat: pertama, guru harus bertakwa kepada Allah Swt. Kedua, guru harus berilmu. Ketiga, guru harus sehat jasmani. Keempat, harus berkelakuan baik, yaitu cinta pada jabatannya sebagai guru, berlaku adil kepada semua murid, sabar dan tenang, berwibawa, bersikap manusiawi, dan dapat bekerja sama dengan guru-guru lainnya dan masyarakat.[28]
Syarat-syarat itu berkaitan erat dengan unsur keilmuan dan kemampuan intelektual yang harus inheren dalam diri pribadi guru, di samping nilai-nilai ketakwaan dan integritas kepribadian yang bersenyawa dan menyatu dalam dirinya.
Sebagai seorang mualim, guru dalam pendidikan Islam memiliki tugas: pertama, membuat persiapan mengajar, kedua, mengajar, dan ketiga, mengevaluasi hasil pengajaran.[29] Tugas-tugas tersebut berhubungan dengan tuntutan profesionalisme guru dalam menyelenggarakan interaksi belajar-mengajar dengan murid di kelas agar proses belajar mengajar berlangsung dengan baik, lancar dan produktif. Untuk itu, seorang guru harus mempersiapkan sebaik mungkin segala sesuatu yang dibutuhkan demi sukses dan lancarnya proses belajar-mengajar, baik mental, fisik, psikis, materi pelajaran, metode maupun media pengajaran yang akan dipergunakan. Guru sebagai mu'allim lebih berkonotasi profesionalisme keguruan dan bersifat pengajaran.
Guru sebagai muaddib harus didukung oleh sifat: pertama, kasih sayang kepada anak didik; kedua, lemah lembut; ketiga, rendah hati; keempat, menghormati ilmu yang menjadi pegangannya; kelima, adil; keenam, menyenangi ijtihad; ketujuh, konsekuensi, perkataan sesuai dengan perbuatannya; kedelapan, sederhana. Sifat-sifat tersebut berhubungan dengan guru sebagai "public figur" yang selalu menjadi sorotan dan perhatian murid-murid.[30] Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi "uswatun hasanah" dalam setiap sikap dan perilakunya bagi mereka, di samping sebagai pembimbing moral dan spiritual yang konsisten.
Dalam perspektif pendidikan Islam, anak didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikis, untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Anak didik pada hakikatnya adalah: pertama, anak didik bukan miniatur orang dewasa, melainkan ia mempunyai dunia tersendiri; kedua, anak mengikuti periode perkembangan tertentu dan memiliki pola perkembangan, tempo dan irama tersendiri; ketiga, anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut pemenuhan secara maksimal, keempat, anak didik memiliki perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, kelima, anak didik merupakan obyek pendidikan aktif, kreatif, dan produktif.[31]
e. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam sebagai salah satu unsur dalam pemikiran pendidikan Islam memiliki tempat yang teramat penting. Fadil al-Jamaly, seperti yang dikutip oleh M. Arifin, mengemukakan bahwa ilmu-ilmu yang dikehendaki diajarkan oleh Al-Qur'an kepada anak didik meliputi: ilmu agama, sejarah ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hukum dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah dan adab, ilmu pertahanan negara dan lain-lain.[32]
Secara atomik, kurikulum pendidikan Islam oleh Syed Muhammad al-Naquib al-Attas dibagi pada dua macam ilmu, yaitu: pertama, ilmu-ilmu agama, terdiri dari Al-Qur'an, as-Sunnah, asy-Syari'ah, teologi (tauhid), metafisika Islam (tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik; kedua, ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, terdiri dari ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu teknologi.[33]
Dalam perspektif historis, Sayyed Hossein Nasr mengetengahkan teks-teks tradisional yang dipergunakan di madrasah-madrasah Persia, yang tetap diajarkan sampai sekarang, meliputi sains-sains yang ditransmisi (at-naqliyah) dan sains intelektual (al-aqliyah), walaupun semenjak abad ke-8 H/14 M dan abad-abad selanjutnya sekolah-sekolah tradisionai Islam membatasi kurikulumnya pada sain-sains yang ditransmisi (al-naqliyah).[34] Teks-teks tersebut meliputi: perform, sains-sains yang ditransmisi (al-naqliyah) terdiri dari morfologi (sharf), sintaksis (nahw), kesusastraan (ma'ani wa bayan) dan seni metafora (badi), prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqh), sains hadits dan sejarahnya (dirayah), dan sains-sains irttelektual (Al-Qur'an, tafsir); Kedua, sains-sains intelektual (al-aqliyah) terdiri dari logika (mantiq), filsafat dan teologi (falsafah dan kalam), sufisme dan gnosis (tashawwuf dan irfan), ilmu kedokteran (thibb), dan sains-sains matematika (riyadiyah) mencakup geometri, aritmatika (hisab), dan astronomi (baiat).[35]
Kurikulum pada masa kejayaan pendidikan Islam, menurut Mahmud Yunus, diklasifikasikan pada: pertama, rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar), yaitu meliputi:
1)      Membaca Al-Qur'an dan menghafalnya
2)      Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa dan sebagainya.
3)      Menulis
4)      Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam
5)      Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar (prosa)
6)      Berhitung
7)      Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya.[36]
Kedua, rencana pengajaran tingkat menengah, yaitu meliputi:
1)      Al-Qur'an
2)      Bahasa Arab dan kesusatraannya
3)      Fiqh
4)      Tafsir
5)      Hadits
6)      Nahwu/sharaf/balagah
7)      Ilmu-ilmu pasti
8)      Mantiq
9)      Ilmu Falaq
10)  Tarikh (sejarah)
11)  Ilmu-ilmu alam
12)  Kedokteran
13)  Musik[37]
Ketiga, rencana pengajaran pada pendidikan tinggi, yaitu terdiri dari dua jurusan:
1)      Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa dan sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah yang meliputi: Tafsir Al-Qur'an, Hadits, Fiqh dan ushul fiqh, Nahwu/sharaf, Bahasa Arab dan kesusastraannya.
2)      Jurusan umum, yang disebut sebagai ilmu aqliyah yang meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu alam dan kimia, Musik, Ilmu pasti, Ilmu ukur, Ilmu falak, ilmu-ilmu ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu kedokteran.[38]
 Dalam Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun 1980, berhasil dirumuskan pola kurikulum pendidikan Islam, yaitu: kelompok I, pengetahuan abadi, terdiri dari: pertama, Al-Qur'an, mencakup bacaan (qira’ah), hafalan (hifdh) dan tafsir (tafsir), kedua, Sunnah, ketiga, sirah Nabi mencakup sahabat-sahabat Nabi, dan para pengikut mereka pada awal sejarah Islam, keempat, tauhid, kelima, ushul fiqh, dan keenam, bahasa Arab Al-Qur'an mencakup fonologi, sintaksis dan simantik.
Dan kelompok II pengetahuan yang diperoleh, terdiri dari: pertama, imajinatif mencakup seni, arsitektur Islam, bahasa dan sastra, kedua, ilmu-ilmu intelektual mencakup studi sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, dan antroipologi, ketiga, ilmu-ilmu alam mencakup filsafat ilmu pengetahuan, matematika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi, dan lain-lain sebagainya, keempat, ilmu-ilmu terapan mencakup rekayasa dari teknologi (sipil, misan), obat-obatan (tibb, aleopati, homeopati dan fauna) dan lain sebagainya, kelima, ilmu-ilmu praktis mencakup perdagangan, ilmu-ilmu administrasi (perusahaan, administrasi umum), ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu komunikasi dan lain sebagainya.[39]
f. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Metode Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah berkenaan dengan metode pendidikan Islam. M. Arifin mengemukakan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an apabila dikaji secara filosofis, mengandung nilai-nilai metodologis dalam pendidikan, yaitu: pertama, mendorong manusia berpikir analitik dan sintetik melalui proses berpilkir induktif dan dedukfif, kedua, metode perintah dan larangan serta praktek, ketiga, metode motivatif, baik motivasi teogenetik, sosiogenetik maupun motivasi biogenetik, keempat, metode situsional, dan kelima, metode instruksional.[40]
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, metode pendidikan Islam meliputi: pertama, metode diakronis, kedua, metode singkronik-analitik, ketiga, metode problem-solving (hulul musykilat), keempat, metode empiris (tajribiyah), kelima, metode induktif (al-istiqraiyah), dan keenam, metode dedukfif (al-istinbathiyah).[41]
Secara spesifik, an-Nahlawi, seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, mengemukakan metode pembinaan rasa beragama sebagai berikut:
1)      Metode hiwar (percakapan) qur’rani dan nabawi
2)      Metode kisah qur’ani dan nabawi
3)      Metode amtsal (perumpamaan) qur’ani dan nabawi
4)      Metode keteladanan
5)      Metode pembiasaan
6)      Metode ibroh dan mau’izah
7)      Metode targhib dan tarhib[42]


g. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Evaluasi Pendidikan Islam
Sebenarnya, evaluasi pendidikan Islam bukan sekedar suatu aktivitas untuk mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran. Evaluasi ini dilakukan untuk mengkontrol dan melakukan "feed-back" terhadap setiap langkah dari proses manajemen pendidikan.
Dalam merancang evaluasi pendidikan Islam, menurut H.M. Chabib Thoha, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan evaluasi, artinya, dalam merancang evaluasi harus memperhatikan tujuan evaluasi itu sendiri, yaitu bertujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa, kelebihan dan kekurangan guru dalam mengajar, pencapaian target kurikulum, serta untuk mengetahui kontribusi program pendidikan pada masyarakat. Kedua, alat ukur yang dipergunakan, maksudnya evaluasi itu dirancang dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan alat ukur yang dipergunakan, baik tes tulis, tes lisan maupun tes tindakan. Ketiga, acuan yang dijadikan standar, artinya dalam merancang evaluasi harus memperhatikan acuan yang dijadikan standar, yaitu acuan nilai rata-rata jelas, patokan kurikulum dan nilai etis dan normatif yang berlaku. Keempat, pelaksanaan pengukuran, apakah berlangsung secara alami atau justru sebaliknya.
Dalam melakukan pendidikan agama, menurut Abu Ahmadi, ada beberapa prinsif yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, terus-menerus (continue), artinya evaluasi itu dilakukan tidak hanya sewaktu-waktu melainkan terus menerus, kedua, keseluruhan, artinya evaluasi dilakukan secara integral dan tidak parsial, dan ketiga, ikhlas, artinya, evaluasi dilakukan dengan tujuan dan niat yang baik suci. Dalam membuat tes, ada beberapa syarat tes yang baik, meliputi: pertama, valid, tes yang dibuat harus memiliki ukuran dan standar yang benar dan sah, kedua, relieble, tes yang dibuat harus dapat dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan, dan ketiga, objektif, artinya soal-soal tes yang dibuat harus jelas, tidak kabur dan membingungkan, serta memiliki jawaban yang pasti.
Evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam memiliki dua sifat, yaitu: pertama, kuantitatif, hasil evaluasi berbentuk angka dalam memberikan skor penilaian, kedua, kualitatif, hasil evaluasi berbentuk pernyataan verbal dalam memberikan penilaian.
Sedangkan jenis evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam ada tiga, yaitu: pertama, tes tertulis (writing test), kedua, tes lisan (oral test), dan ketiga, tes perbuatan (performance test). Evaluasi pendidikan Islam terdiri dari: pertama, evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan program satuan pelajaran dalam bidang studi tertentu, kedua, evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang diselenggarakan setelah siswa menyelesaikan semua bidang studi dalam satu catur wulan, satu semester atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya, ketiga, evaluasi penempatan (placement), yaitu evaluasi yang dilakukan untuk kepentingan penempatan pada jurusan atau fakultas tertentu, sebelum siswa mengikuti proses belajar-mengajar, keempat, evaluasi diagnosis, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kesulitan kesulitan atau hambatan belajar yang dialami oleh siswa, guna dicari solusi-altematifnya.

h. Pemikiran Pendidikan tentang Konsep Kelembagaan Pendidikan Islam
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, lembaga pendidikan Islam menurut Zakiah Daradjat, terdiri dari: pertama, keluarga, kedua, sekolah, dan ketiga, masyarakat. "Keluarga" adalah lembaga pendidikan Islam yang pertama, sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi anak mereka. Aspek-aspek pendidikan Islam dalam keluarga yang urgens untuk direalisasikan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, adalah meliputi: pertama, pendidikan ibadah, kedua, pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al-Qur'an, ketiga, pendidikan akhiagul karimah, dan keempat, pendidikan akidah islamiyah.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, kurikulum pendidikan di dalam keluarga adalah meliputi: pertama, pendidikan kesehatan dan ketrampilan, kedua, pendidikan akal, ketiga, pendidikan rohani atau pendidikan agama.
"Sekolah" atau lembaga-lembaga perguruan agama Islam adalah lembaga pendidikan yang paling strategis ketimbang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lainnya, karena lembaga ini diselenggarakan secara sistemik-organisatoris dan dikelola secara profesional. Di lembaga ini, guru oleh Zakiah Daradjat dikatakan sebagai guru profesional yang memikul tanggung jawab pendidikan pada anak didik, setelah orang tua mereka menyerahkan tanggung jawab pendidikannya padanya. Lembaga-lembaga perguruan Islam mencakup madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, madrasah diniyah, sekolah guru agama pondok pesantren, dan perguruan tinggi Islam bail negeri maupun swasta.
"Masyarakat" memiliki pengaruh yang besar dalam mengarahkan pendidikan anak, terutama pemimpin masyarakat, seperti yang diakui oleh Zakiah Daradjat. Dalam kerangka tanggung jawab social, setiap anggota masyarakat mempunyai tanggung jawab pendidikan, tak terkecuali pendidikan Islam. Salah satu rekomendasi.
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia di Mekkah pada tahun 1977, adalah untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, sehat dan bersih dari kotoran-kotoran ideologi dan nilai-nilai yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam berupa masyarakat ini antara lain instansi-instansi pemerintah, kursus-kursus, rumah-rumah ibadah, badan-badan masyarakat dan media massa.
2. Konsep Kurikulum
Kurikulum sering menjadi bahan perbincangan oleh berbagai pihak, misalnya, ketika sebagian anggota masyarakat melihat hasil (out-put) dari suatu lembaga pendidikan yang belum mencerminkan apa yang diharapkannya, selalu menuding bahwa kurikulum lembaga tersebut tidak baik[43]. Untuk lebih memahami apa sebenarnya kurikulum tersebut, berikut ini akan disajikan pembahasan mengenai “Hakikat Kurikulum” meliputi empat sub topik pembahasan yaitu: 1) Pengertian kurikulum, 2) Empat cara pandang terhadap kurikulum, 3) Komponen kurikulum, serta 4) Fungsi dan kedudukan kurikulum.
a. Pengertian Kurikulum secara Etimologis
Secara etimologis, istilah kurikulum yang dalam bahasa Inggris ditulis ‘curriculum’ berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘curir’ yang berarti ‘pelari’, dan ‘curere[44] yang berarti ‘tempat berpacu’. Tidak heran jika dilihat dari arti harfiahnya, istilah kurikulum tersebut pada awalnya digunakan dalam dunia olah raga, seperti bisa diperhatikan dari arti “pelari dan tempat berpacu”, yang mengingatkan kita pada jenis olah raga Atletik.[45]
b. Pengertian Kurikulum berdasarkan Istilah
Berawal dari makna “curir” dan “curere” kurikulum berdasarkan istilah diartikan sebagai “jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memeroleh medali atau penghargaan”[46]. Pengertian tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam dunia pendididikan dan diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal hingga akhir program demi memeroleh ijazah.[47]
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, terdapat tiga unsur penting yang dapat dijadikan dasar pemikiran untuk memahami pengertian kurikulum, yakni sebagai berikut.
1)   Mata pelajaran; yaitu isi kurikulum (content) yang harus dipelajari oleh siswa, agar memeroleh pengalaman belajar (kompetensi) yang diharapkan, sehingga di akhir program layak mendapat penghargaan/sertifikat.[48]
2)   Aktivitas; yang dalam rumusan pengertian di atas berbunyi “yang harus ditempuh” yaitu proses yang harus dilakukan oleh siswa untuk memelajari mata pelajaran/sumber pembelajaran, sehingga memiliki kemampuan (kompetensi) dan akhirnya layak diberi sertifikat/ijazah.
3)   Penghargaan/Ijazah; yaitu suatu bukti yang mengindikasikan bahwa seorang siswa telah melakukan proses pendidikan/pembelajaran, sehingga berhak mendapatkan penghargaan seperti dalam bentuk ijazah atau sertifikat yang menyatakan siswa tersebut telah mencapai kompetensi yang ditentukan.
Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang pengertian kurikulum berdasarkan istilahnya, berikut ini dikemukakan dua pengertian lain, yaitu menurut para ahli dan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Kurikulum menurut Thomas W Hewitt adalah “Curriculum is the plan or program for all experiences which the learner encounters under the direction of the school[49]. Kurikulum adalah suatu program atau rencana yang dikembangkan oleh lembaga (sekolah) untuk memberikan berbagai pengalaman belajar bagi siswa. Definisi tersebut mengandung dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, bahwa kurikulum adalah merupakan program atau rencana yang memuat proyeksi yang akan dilakukan oleh lembaga pendidikan. Kedua, kurikulum merupakan seluruh pengalaman (all experiences)[50]. Batasan kedua ini mengisyaratkan bahwa kurikulum memiliki makna yang lebih luas daripada pengertian yang pertama, artinya selain sebagai rencana, kurikulum juga merupakan seluruh pengalaman atau aktivitas yang terjadi sebagai realisasi dari program atau rencana yang telah dibuat sebelumnya.[51]
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata[52], terdapat tiga konsep kurikulum, yakni kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.[53]
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya[54]. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.[55]
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.[56] Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (Bab I Pasal 1 ayat 19).
c. Empat Dimensi Cara Pandang terhadap Kurikulum
Dalam kenyataan, kurikulum lebih sering diartikan sebagai program atau rencana, bahkan tidak jarang lebih dipersempit menjadi hanya sebatas jadwal pelajaran setiap semester. Pandangan tersesebut tidak seluruhnya salah, namun jika kurikulum dimaknai hanya pada kontek sebatas itu, maka kurikulum sangat sempit dan akibatnya akan mempersempit para guru atau tenaga kependidikan dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Oleh karena itu secara lebih luas Said Hamid Hasan[57] dalam Kurikulum dan Pembelajaran, mengklasifikasikan pengertian kurikulum didasarkan pada empat dimensi atau cara pandang, yaitu: 1) kurikulum sebagai ide, 2) kurikulum sebagai rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai kegiatan, dan 4) kurikulum sebagai hasil.
1) Kurikulum sebagai suatu ide atau gagasan
Kurikulum sebagai suatu ide pada dasarnya merupakan sekumpulan ide-ide yang dipikirkan untuk mengembangkan kurikulum baik dalam skala terbatas (mikro), maupun skala yang luas (makro).[58]
2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
Kurikulum menurut dimensi kedua ini terfokus pada bentuk program yang tertulis atau (document curriculum). Kurikulum dalam dimensi kedua ini merupakan tindak lanjut dari pengertian kurikulum dimensi pertama (ide). Misalnya sebelum mengajar guru terlebih dahulu membuat persiapan tertulis, seperti RPP, skenario pembelajaran, LKS.
3) Kurikulum sebagai Suatu Kegiatan atau Aktivitas
Kurikulum dalam pengertian ini, yaitu dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa maupun para pihak¬pihak yang terkait dengan pengelolaan pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
4) Kurikulum sebagai Suatu Hasil
Kurikulum sebagai suatu hasil meliputi segala sesuatu yang terkait dengan upaya pencapaian sasaran atau tujuan yang diharapkan. Biasanya tekanan utama aspek hasil yang dimaksud dilihat dari segi capaian seluruh kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa, (kompetensi akademik maupun non akademik).
Adapun unsur-unsur yang merupakan komponen pokok kurikulum terdiri dari empat jenis, yaitu:
1) Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran yang menjadi acuan bagi semua aktivitas yang dilakukan untuk mencapainya. Istilah yang lebih populer saat ini yang digunakan sebagai padanan tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus direfleksikan dalam berfikir dan bertindak secara konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek (segera) dengan urutan sebagai berikut.
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran akhir yang harus menjadi inspirasi bagi setiap penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
b) Tujuan Pendidikan Lembaga (Institusional)
Tujuan Pendidikan Lembaga merupakan sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL” Misalnya tujuan lembaga pendidikan dasar ialah “Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”[59]
c) Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)
Tujuan Kurikuler merupakan kemampuan/kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa setelah memelajari suatu mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang saat ini digunakan sebagai padanan tujuan mata pelajaran (kurikuler) yaitu “standar kompetensi”
d) Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Merupakan penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi, yaitu rumusan kemampuan/kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi dasar dan indikator” pembelajaran.
2) Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus dipelajari oleh siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak, web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design) maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
3) Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem pengelolaan pendidikan/pembelajaran yang dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
4) Komponen Evaluasi
 Merupakan alat ukur untuk mengetahui keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan yang telah dicapai dikaitkan dengan rencana yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Alat evaluasi kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (tujuan, isi, metode, evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem.
Kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan harapan atau tujuan pendidikan. Dengan demikian kurikulum memiliki peran yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat untuk menata dan mengelola program pendidikan. Kurikulum sebagai program tertulis (document curriculum) atau disebut juga dengan kurikulum ideal (ideal curriculum) tidak berpengaruh terhadap pencapaian sasaran pendidikan/pembelajaran sebelum kurikulum tersebut diaplikasikan kedalam program nyata (actual curriculum)[60].
Kegiatan nyata penerapan kurikulum yaitu dalam bentuk “Pembelajaran”. Oleh karena itu, untuk melihat sejauhmana kurikulum berjalan secara efektif dan efisien harus dilihat dari proses dan hasil pembelajaran di setiap sekolah.Agar lebih jelas bagaimana hubungan antara pendidikan, kurikulum dan pembelajaran dapat dilihat pada bagan berikut.
d. Perkembangan Teori Kurikulum
Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya. Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918[61]. Bobbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis pengembangan praktik kurikulum. Bobbit adalah orang pertama yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum.
Menurut William Pinar, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia[62]. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam, bergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada serentetan pengalaman yang hams dikuasai anak. Seluruh tujuan beserta pengalaman-pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian teori kurikulum.
Murray Print setuju dengan konsep Pinar tentang analisis kecakapan/pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Charters lebih menekankan pada pendidikan vokasional.[63]
Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters[64]. Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain. Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Bertolak pada hal-hal tersebut mereka menyusun kurikulum secara lengkap dalam bentuk yang sistematis.
Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered).[65] Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan sebagai orang dewasa  kepada kehidupan psikologis anak pada saat ini[66]. Anak menjadi pusat perhatian pendidikan. Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan siswa. Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar melalui pengalaman. Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa.
Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Florida, Virginia), ia mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-guru, berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil, dan sebagainya[67].
Pada tahun 1947 di Univeristas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang teori kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut dirumuskan tiga tugas utama teori kurikulum: (1) mengidentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya, (2) menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnya, (3) mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan masalah tersebut. David Scott[68] mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum:
(a)    Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
(b)   Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?
(c)    Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?
(d)   Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?[69]
Empat pertanyaan pokok tentang kurikulum dari Scoot ini banyak dipakai oleh para pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith[70]. Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum. Menurut Beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitianpenelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum.[71]
Dalam makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan (3) perumusan bahasa khusus kurikulum.[72]
James B. MacDonald melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem dalam persekolahan yaitu kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar[73]. Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep kurikulum. Penggunaan model sistem juga dapat membantu para ahli teori kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.
Broudy, Smith, dan Burnett[74] menjelaskan masalah persekolahan dalam suatu skema yang menggambarkan komponen-komponen dari keseluruhan proses mempengaruhi anak.[75] Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu: landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori.
Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya.[76] Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum, (2) sistem kurikulum, (3) unit analisis dan unsurunsurnya, (4) struktur sistem kurikulum, (5) fungsi sistem kurikulum, (6) proses kurikulum, dan (7) prosedur analisis struktural-fungsional.[77]
Alizabeth S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori kurikulum-formal (formal-curriculum theory), (3) teori kurikulum valuasional (valuational curriculum theory), dan (4) teori kurikulum praksiologi (praxiological curriculum theory).[78]
Teori kurikulum (curriculum theory atau event theory) merupakan teori yang menguraikan pemilihan dan pemisahan kejadian/peristiwa kurikulum atau yang berhubungan dengan kurikulum dan yang bukan. Teori kurikulum formal memusatkan perhatiannya pada struktur isi kurikulum. Teori kurikulum valuasional mengkaji masalah-masalahpengajaran apa yang berguna bagi keadaan sekarang. Teori kurikulum praksiologi merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai tujuan-tujuan kurikulum. Walaupun mungkin, ada yang tidak setuju dengan seluruh pendapat Maccia, tetapi ia telah berhasil menunjukkan sejumlah dimensi kurikulum yang cukup berharga untuk menjelaskan teori kurikulum.
Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan kurikulu.[79]Kurikulum merupakan hasil dari sistem pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan bukan kurikulum. Menurut Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar yang terstruktur. Jadi, kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan. Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi bagian dari pengajaran.
Johnson menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu: (1)  A curriculum is a structured series of intended learning out comes. (2)  Selection is an essential aspect of curriculum formulation. (3) Structure is an essential characteristic of curriculum. (4) Curriculum guide instrcution. (5) Curriculum evaluation involves validation of both selection and structure. (6) Curriculum is the criterion for instructional evaluation.[80] Maksudnya adalah bahwa (1) Kurikulum adalah serangkaian keluaran belajar secara tersetruktur. (2) Pemilihan merupakan aspek penting dari formulasi kurikulum. (3) Struktur merupakan karakteristik penting dari kurikulum. (4) Kurikulum memandu pengajaran. (5) Evaluasi kurikulum mencakup validasi dari kedua seleksi dan struktur. (6) Kurikulum adalah kriteria untuk evaluasi pembelajaran.
Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum[81]. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Saat ini aliran kurikulum yang populer adalah aliran progresivisme dan rekonstruksionisme. Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan[82].
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.[83] Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.[84]
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.[85]
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.[86]
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis.[87] Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
Ciri Progresivisme : (a) Suka melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. (b) Oposisi bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut. (c) Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. (d) Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. (e) Mencoba menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang memadai. (f) Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-centered. (h) Pendidik adalah motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i) Bergerak sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau masyarakat.[88]
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusai itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetuju adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagiana utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi. Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.
Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progrevisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti ini.
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative Intelligence, mengatakan bahwa: “…….. Sifat utama dari pragmatisme mengenali realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum”.[89] Di antara kaum pragmatis (jadi progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain seperti George Santanya, John Chlids tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang eksistensi, alam bukanlah ditentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.[90]
Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses atau tata dimana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim dengan kosmos, realita dan alam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yang kuat. Untuk ini, pengalaman, diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuata. Berarti pengalaman adalah perjuangan pula.
Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epsitimologi dari pada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain agar dapat dimengerti arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut bahw pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.[91]
Untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, diberlkaukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif, rasional, dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya adanya pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara induktif.
Rasional berasal dari kata rasio yang berarti akal atau budi. Dalam epistimologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu adalah instrumen utama baig manusia untuk memperleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme tidak menyetujui adanya semua bentuk generalisasi baik yang apriori atau yang aposteriori. Pengalaman sebagai suatu unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan pertikular.
Progresivisme mengadakan pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran[92]. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman, yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaan kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang berujud sebagai lingkungan fisik,m maupun kebudayaan atau manusia.[93]
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Disamping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana ekspresi tentulah mendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh karena ada faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadakan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional, bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti kesehatan akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati faedah kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial pula.
Pragmatisme sebagai aliran filsafat dan pragmatisme bagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah dituliskan oleh John Dewey. Sumbangan John Dewey[94] ini dipandang sebagai kekuatan intelektual yang dapat menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan berbagai teori dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan. Tokoh-tokoh lain ini, misalnya William James, Harace Mann, Francis Parker, dan Felix Adler.
Selain dari pada tokoh tersebut di atas, yang hidup pada Abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai progresivisme dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato membuat konsep pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai persiapan ketangguhan dalam peperangan. Johanna Amos Comenius menghendaki pengajaran yang cocok, yang sesuai akan adanya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh lain yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friderich Frobel.[95]
Dalam pendidikan historis dapat dipelajari bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progerisivisme didukung oleh organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive Education Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamaya untuk menerapkan pendidikan baru disamping yang tradisional. Selain itu Assosiation for Childhoor Education, the American Federation of Teachers, Association for Development, adalah organisasi-organisasi yang mengembangkan metode mengajar menurut progresivisme.[96]
Pandangan progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagian makhluk, anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamusi dan kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problema. Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitar-nya. Hal ini terutama kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam lingkungan sekolah.[97]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang dimaksudnya dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.[98]
Sementara itu, aliran rekonstruksionisme saat ini menjadi salah satu landasan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali[99]. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[100] Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Ciri Rekonstruksionisme : (a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn by doing (belajar sambil bertindak).[101]
B. Penelitian Yang Relevan
Gagasan atau pemikiran pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sudah beberapa diteliti. Ada yang meneliti aspek filsafat pendidikannya, ada yang meneliti aspek kontribusinya dalam perkembangan pendidikan Malaysia, ada pula yang meneliti aspek pemikiran politik pendidikannya.
Penelitian tentang aspek filsafat pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas antara lain dilakukan oleh Ibrahim Lutfi berjudul: “Filsafat Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”, penelitian disertasi untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Islam Internasional Malaysia (Melayu: Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Inggris: International Islamic University Malaysia (IIUM), Arab: الجامعة الإسلامية العالمية ماليزيا) adalah salah satu universitas di Malaysia yang didirikan pada tahun 1983 oleh Kerajaan Malaysia. Kampus universitas ini berlokasi di Gombak, Selangor. Walaupun universitas ini berasaskan ajaran Islam, namun mahasiswa non-muslim juga diterima sebagai mahasiswa. Dalam disertasinya itu, Ibrahim Lutfi mengelaborasi pemikiran filsafat Al-Attas yang menurutnya mengandung corak tasawuf. Jadi pemikiran pendidikan Islam Al-Attas merupakan kombinasi antara pemikiran filsafat dan tasawuf.
Penelitian tentang Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang lain dilakukan oleh Salah Ahmad Muzaffar berjudul “Konsep Manusia Menurut Al-Attas” yang dilakukan pada tahun 2009 sebagai tesis di Sekolah Pascasarjana  Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini ditemukan pandangan Al-Attas bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu Ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Menurut Al-Attas, akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia. Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam, ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut Al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan.
C. Kerangka Berpikir
Pemikiran tentang kurikulum adalah bagian penting dalam keseluruhan kajian pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kurikulum. Pendidikan amat bergantung pada pemikiran di bidang kurikulum. Pemikiran kurikulum pendidikan sebagai bagian dari aktivitas pemikiran pendidikan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem berpikir manusia. Manusia berpikir, termasuk berpikir tentang kurikulum pendidikan, sesuai dengan pandangan dunianya. Maka, pandangan dunia Islam (Islamic world view) yang dimiliki seseorang akan mengantarkannya pada pemikiran pendidikan yang Islami. Sebaliknya pandangan dunia sekuler (secularis world view) juga akan melahirkan pemikiran pendidikan sekuler.
Mencermati kondisi pendidikan dewasa ini yang sarat dengan permasalahan, maka peniruan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan cita-cita masyarakat Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita Islam. Paradigma pendidikan yang sesuai dengan cita-cita Islam adalah paradigma pendidikan yang digali dari sumber-sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi) serta pemikiran ulama dan cendekiawan Muslim baik klasik maupun kontemporer.
Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya membangun paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Di samping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Di sini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu. Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan. Kurikulum pendidikan Islam, termasuk pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang kurikulum, dapat dihasilkan dari suatu sistem pendidikan Islam. Sementara sistem pendidikan Islam harus dideduksi dari teks-teks kitab suci, pemikiran para ulama dan cendekiawan Islam klasik dan kontemporer.






[1] Dhiman, O.P. (2006). Understanding Education: An Overview of Education. New Delhi: Excel Prints, hal. 65
[2] Eames, S. Morris (2010). Essays on John Dewey and Pragmatic Naturalism. Illinois: Sothern Illinois University Press, hal. 3-11.
[3] Al-Attas, Syed Muhammd Naquib (1985) Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited. 1985. hak. 173.
[4] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1980) The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan. 1980. hal 7
[5] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1995) Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC), hal. 56
[6] Al-Attas, Syed Muhammd Naquib (1985). Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London-New York: Mansell Publishing Limited, hal. 173.
[7] Daud, Wan Mohd Wan (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, 167
[8] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1993)  Islam and Secularism.  Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd, hal 149.
[9] Moh. Roqib (2009) Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS, hal. 18
[10] Mujamil Qomar (2008) Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 207
[11] Amrullah Ahmad (2007) Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Dian, hal. 23
[12] QS.Luqman 31:14
[13] Amrullah Ahmad, op.cit., hal. 29
[14] Muhaimin dan Abdul Mujib (1993) Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional. Bandung: Trigenda Karya, hal. 136
[15] M. Arifin (1991) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 33
[16] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 67
[17] Ibid., hal. 143
[18] Qutb, Muhammad (1993). Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, hal. 351
[19] Prayitno (2007) Dasar, Teori, dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo, hal. 13
[20] Jusuf Amir Faisal (1995) Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press, hal. 95-96
[21] Ibid., hal. 118
[22] Ahmad Tafsir (1994) Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, hal. 22
[23] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 151
[24] Q.S. Adz-Dzariyat 51:56
[25] Q.S. Al-An’am 6: 165
[26] Ali Ashraf (1986) Horizon Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 107
[27] Ibid., hal. 109
[28] Zakiyah Darajat (1992) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 44
[29] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 86
[30] Ibid, hal. 87
[31] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 177
[32] M. Arifin, op.cit., hal. 94
[33] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1994) Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, hal. 90
[34] Sayyed Hossein Nasr (1994) Islam: Tradisi di Tengah Kancah Modern. Bandung: Mizan, hal. 181
[35] Makdisi, George (1990). Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 88
[36] Zuhairini (1992) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 102
[37] Ibid., hal. 103
[38] Ibid., hal. 104
[39] Ali Ashraf, op.cit., hal. 116
[40] M. Arifin, op.cit., hal. 113
[41] Muhaimin-Abdul Mjib, op.cit., hal. 247
[42] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 135
[43] Srivastava, D. S.  & Sarita Kumari (2005) Curriculum and Instruction. New Delhi: Isha Book, hal. 81
[44] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media Perintis
[45] Ellis, Arthur K., (2004). Exemplars of Curriculum Theory. Seattle: Seattle Pasific University Press, hal. 15
[46] Wiles, Jon (2009) Leading Curriculum Development. California: Corwin Press, hal. 19
[47] Squires, David A. (2006) Curriculum Alignment: Research-Based Strategies for Increasing Student Achievement. California: Sage Publication, hal. 54
[48] Ediger, Marlow (2003) Elementary Curriculum. New delhi: Discovery Publishing House, hal. 12
[49] Hewitt, Thomas W.  (2006) Understanding and Shaping Curriculum: What We Teach and Why?. London: Sage Publication Ltd., hal. 8
[50] James, Michael E.  (1992) Social Reconstruction Through Education: The Philosophy, History, and Curricula of a Radical Idea. New Jersey: Greenwood, hal. 18
[51] Chandra, S.S. & Rajendra K. Sharma (2004). Principles of Education. New Delhi: Atlantic Publisher, hal. 45
[52] Sukmadinata, Nana Syaodih (2002) Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya, hal. 27
[53] Ibid.
[54] Ramly, Ishak (2009). Inilah Kurikulum Sekolah. Kualalumpur: PTS, hal. 15
[55] Ibid.
[56] Winch, Christopher & John Gingell (2008). Philosophy of Education: The Key Concepts. London: Routledge, hal. 34
[57] Hasan, Said Hamid (2009) Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Grasindo, hal. 7
[58] Kelly, A. V.  (2004) The Curriculum: Theory and Practice. London: Sage Publication Ltd., hal. 18
[59] Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
[60] Kridel, Craig (2010) Encyclopedia of Curriculum Studies. London: Sage Publication Ltd., hal. 562
[61] Sukmadinata, Nana Syaodih (2002) Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya, hal. 28
[62] Pinar, William (1994) Understanding Curriculum: An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses. New York: Peter Lang Inc., hal. 76
[63] Print, Murray (1993) Curriculum Development and Design. New South Wales: Allen & Unwin, hal. 74
[64] Marsh, Colin J.  (2004) Key Concepts for Understanding Curriculum. New York: RoutledgeFalmer, hal. 18
[65] Brighouse, Harry (2006). On Education. London : Routledge, hal. 14
[66] Marsh, Colin J., op.cit., hal. 29
[67] Ibid.
[68] Scott, David (2001) Curriculum and Assessment. London: Ablex Publishing
[69] Ibid.
[70] Slatery, Patrick (1995), Curriculum Development in the Postmodern Er. New York: Garland Publishing, Inc., hal. 261
[71] Ibid. hal. 30
[72] Ibid.
[73] Srivastava, D. S.  & Sarita Kumari (2005) Curriculum and Instruction. New Delhi: Isha Book, hal. 172.
[74] Ravi, S. Samuel (2011) A Comprehensive Study of Education. New Delhi: PHI Learning Private Limited, hal. 56
[75] Ibid.
[76] Ibid.
[77] Ibid.
[78] Ibid., hal. 31
[79] Ibid., hal. 32
[80] Ibid., hal. 32
[81] Ibid., hal. 32
[82] Isjoni (2008), Membangun Visi Bersama: Aspek-aspek Penting dalam Reformasi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 232
[83] James M. Wallace (2006) The Promise of Progressivism: Angelo Patri & Urban Education. New York: Peter Lang Publication, hal. 76
[84] D. S. Srivastava & Sarita Kumari (2005) Curriculum and Instruction. New Delhi: Isha Book, hal. 2
[85] James M. Wallace op.cit., hal. 77
[86] Ibid., hal. 79
[87] Marlow Ediger (2003) Elementary Curriculum. New delhi: Discovery Publishing House, hal. 5
[88] Ibid., hal. 80
[89] John Dewey (1917), Creative Intelligence. New York: Henry Holt and Company, hal. 90
[90] Colin J. Marsh (2004) Key Concepts for Understanding Curriculum. New York: RoutledgeFalmer, hal. 6
[91] David Scott (2001) Curriculum and Assessment. London: Ablex Publishing, hal.9
[92] Hamm, Cornel M. (1999). Philosophical Issues in Education: An Introduction. London: RoutledgdFalmer, hal.  3
[93] A. V. Kelly (2004) The Curriculum: Theory and Practice. London: Sage Publication Ltd., hal. 7
[94] Ibid., hal. 48
[95] Ibid., hal. 89
[96] James M. Wallace, op.cit., hal. 87
[97] Ibid., hal. 198
[98] Ibid., hal. 201
[99] Heyting, Frieda, Dieter Lenzen & John White (2002). Methods in Philosophy of Education. London: Routledge, hal. 5
[100] James, Michael E.  (1992) Social Reconstruction Through Education: The Philosophy, History, and Curricula of a Radical Idea. New Jersey: Greenwood, hal. 139
[101] Ibid., hal. 89