Senin, 15 September 2014

POLIGAMI MENYELEMATKAN DUAFA

POLIGAMI MENYELAMATKAN PENDIDIKAN DUAFA


A.    Poligami
1.      Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari kata “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata “gamein” atau “gamos”, yang berarti kawin atau perkawinan.[1] Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah perkawinan antara seorang laki- laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ﺕﺎﺟﻭﺰﻟﺍ ﺩﺪﻌﺗ berarti suatu perkawinan yang banyak.[2] Poligami secara bahasa adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Secara bahasa, poligami yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa digunakan untuk seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri. Demikian pula, poligami juga bisa digunakan untuk seorang wanita yang memiliki lebih dari satu suami.
Sedangkan poligami secara istilah yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama.[3] Jadi nampaknya telah terjadi penyempitan makna poligami. Poligami yang semula bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyempit untuk laki-laki saja. Boleh jadi hal ini karena secara fitrah manusia bisa menerima atau paling tidak bisa memberikan toleransi pada praktek poligami (atau poligini), dengan syarat-syarat cukup ketat, tetapi tidak pada poligini (poliandri).
Berdasarkan makna tersebut dipahami bahwa poligami berarti perkawinan yang banyak. Maksudnya, poligami adalah sistem perkawinan yang laki-laki memiliki atau mengawini beberapa perempuan dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.[4]
Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat dan bahkan lebih dari sembilan isteri. Tentunya terjadinya perbedaan seperti itu karena perbedaan penafsiran terhadap surat al-Nisa/4:3.
Konsep awal poligami sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. pada awal masa Islam bukanlah suatu bentuk perkawinan yang mencitrakan dominasi dan hegemoni lelaki terhadap perempuan, apalagi sampai ke tingkat dehumanisasi perempuan, melainkan bentuk perkawinan yang memiliki tujuan yang sama seperti perkawinan lainnya (monogami).[5] Bahkan dalam perkawinan poligami ini terkandung tujuan lain yang sangat mulia, sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran (Q.S.4:3, al-Nisa), yaitu
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisaa`:3)[6]
Ayat di atas adalah satu-satunya ayat yang membicarakan masalah poligami dalam Islam dan membicarakan hukum-hukum yang berkenaan dengan perempuan.[7] Ayat tersebut menjelaskan Islam memolehkan laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Dan Islam memberikan batasan sampai empat.[8]  Tujuannya antara lain untuk penegakan keadilan di antara isteri-isteri, dan perlindungan hak anak-anak yatim dan perempuan, baik perlindungan yang menyangkut harta maupun pribadinya dari perlakuan kesewenang-wenangan yang sudah mentradisi pada masa itu. Sebelumnya, mereka tidak mendapat hak waris, begitu pula ketika mereka dikawinkan maka hak mahar dikuasai oleh walinya, atau bahkan si wali sama sekali tidak membolehkan anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya, kawin dengan lelaki lain, agar ia dapat terus menguasai hartanya.[9]
Beristeri lebih dari seorang atau istilah popularnya poligami, telah dikenal luas dalam masyarakat di seluruh dunia. Dari generasi ke generasi, praktek poligami terdapat dalam berbagai lingkungan komunitas, dilakukan oleh semua bangsa di barat dan di timur. Perkawinan dengan isteri lebih dari satu ini telah berlangsung lama bahkan jauh sebelum datang masa Islam. Jumlah isteri yang dikawini pun sesukanya, tidak mengenal batasan. Sejarah para Nabi menunjukkan kepada kita bahwa ada Nabi-Nabi yang memiliki banyak istri seperti Nabi Daud, A.s., yang menikahi 99 istri, Nabi Sulaiman memiliki 700 istri dan 300 selir.[10]
Kehadiran Islam memberikan pengaturan dan batasan kebolehan melakukan poligami maksimal empat isteri. Untuk pelaksanaannya pun ditetapkan persyaratan mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Dengan demikian, tudingan terhadap Islam bahwa Islam yang mula-mula memperkenalkan praktek perkawinan poligami, sungguh tidak beralasan dan berlawanan dengan fakta. Tradisi perkawinan poligami telah ada jauh sebelum Islam datang, terutama dilakukan di kalangan raja-raja, yang dalam pandangan rakyatnya dianggap sebagai simbol ketuhanan, oleh karena itu mereka dipandang suci. Poligami boleh dilakukan oleh mereka dengan tidak mengenal batas jumlah isteri yang dikawininya. Gereja telah menjalankan praktek poligami sampai abad ke 17. [11]
Dalam agama Hindu, poligami telah dilakukan sejak dahulu kala.  Berkenaan dengan poligami yang dilakukaolepenganuagama Hindu di  Indonesia,  Ahmad H. Syerif[12] menjelaskan bahwa di kalangan orang beragama Hindu berlaku ketentuan, bahwa seorang laki-laki hanydibolehkan  beristeri  seorang  dari  kastanya  sendiri,  dan  seorang  dari masing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri. Dengan demikian, seorang yang berkasta Brahmana dapat beristeri empat orang. Yakni beristeri seorang dari sesama kastanya, ditambah tiga orang isteri dari kasta-kasta yang berada di bawah kastanya. Selanjutnya seorang Ksatria dapat beristeri tiga orang, dan begitu seterusnya berkurang masing-masing seorang isteri pada masing-masing tingkatan kasta di bawahnya. Namun peraturan ini sering dilanggar oleh para penguasa. Mereka sering mempunyai tiga, empat, atau lima orang isteri. Bahkan di antara para raja tidak jarang yang mempunyai 80 isteri, bahkan sampai 100 isteri. Dalam agama Hindu tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang boleh dikawininya.
Sikap masyarakat merendahkan martabat perempuan bahkan memperlakukannya seperti binatang atau harta benda, yakni dapat diperjual-belikan dan diwariskan terjadi di kalangan bangsa yang dikenal berperadaban tinggi, yaitu bangsa Yunani. Mereka dalam perkawinannya melakukan poligami. Orang-orang Athena misalnya, membolehkan kaum lelaki mengawini sebanyak-banyaknya perempuan yang disukainya. Di sisi lain, orang Sparta melakukan poliandri, membolehkan perempuan mengawini lelaki sesukanya. [13]
Perkawinan di kalangan orang Yahudi juga menganut poligami. Dalam perkawinan mereka membolehkan lelaki mengawini perempuan dengan jumlah tanpa batas tertentu. Sementara di kalangan orang Kristen, poligami dilakukan selain tanpa batas juga disertai perlakuan diskriminatif antara isteri pertama dengan isteri yang lain. Perempuan-perempuan yang dimadu tidak mendapatkan hak dan jaminan yang layak sebagai isteri, seperti yang diterima isteri pertama.
Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, poligami sudah dikenal di samping bentuk perkawinan lainnya dan dilaksanakan dengan jumlah isteri yang tidak terbatas. Jadi poligami, yakni seorang laki-laki memiliki banyak istri, atau seorang istri mempunyai banyak suami, telah terjadi sejak jaman dahulu, merupakan bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang perkawinan yang diperbaiki oleh Nabi Muhammad SAW. Stigma poligami terjadi akibat pengaruh sejarah perkawinan masyarakat pra-Islam, pola budaya kehidupan patriarkhi dalam masyarakat, dan pemahaman yang keliru terhadap sumber ajaran agama (Islam), karena pengaruh pola budaya tersebut.[14]

2.      Ketentuan Poligami dalam Hukum Islam
Islam sebagai agama wahyu mendasarkan setiap hukum pada firman Allah (al-Quran) dan sabda Nabi Muhammad Saw. (hadis). Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang menjadi dasar utama dalam membicarakan tentang poligami, baik yang membolehkan maupun yang tidak membolehkannya. Ayat tersebut terdapat dalam Surah al-Nisa/4: 3 dan 129.[15] Atas dasar al-Quran dan hadis, para ulama membolehkan poligami dengan persyaratan tertentu.  Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, Islam mewajibkan seorang suami untuk melakukan monogami, yakni menikahi seorang istri saja. Di saat yang bersamaan Islam dengan tegas melarang praktik perzinaan tanpa prasarat apa pun. Segala bentuk perzinaan dilarang dalam Islam, bahkan hal-hal yang mengarah ke perzinaan juga dilarang (QS. al-Isra’ (17): 32).

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.[16]
Al-Quran surat al-Nisa (4): 3 yang berbunyi:
 






Artinya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[17]
Berdasarkan ayat ini sebagian besar ulama memahami bahwa poligami boleh dilakukan dengan syarat suami mampu bersikap adil dan dibatasi maksimal empat isteri. [18]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirumuskan lebih spesifik, bahwa "perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".[19] Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan merupakan penjelasan dari ungkapan lahir batin yang terdapat dalam undang-undang yang mengandung artin bahwa akan perkawinan itu bukan semata perjanjian yang bersifat perdata.[20] Kalimat tersebut diambil dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Nisa (4:21)



Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (An-Nisa: 21).[21]
Perjanjian yang kokoh itu, menurut pendapat sebagian Mufasir (ulama ahli tafsir al-Quran) maksudnya adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami, untuk memperlakukan istri dengan baik.[22] Sesuai dengan maksud ayat dalam al-Quran surat al-Baqarah (2: 231):





Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. [23]
Ayat di atas memberikan penegasan bahwa isteri harus diperlakukan dengan baik, tetapi jika tidak hendaknya diceraikan dengan baik pula. Hanya ada dua pilihan bagi suami yaitu pertama: hidup bersama isteri dan memperlakukannya dengan baik atau kedua: menceraikannya dengan cara yang baik pula. Tidak ada pilihan lain. Karena itu, hidup bersama isteri dengan menyengsarakannya, baik secara lahir maupun batin, dibenci oleh Allah. [24]
Pasal 2 KHI yang memuat ungkapan kalimat miitsaaqan gholiidhan mempertegas kalimat "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam Pasal 1 UUP No.1/1974. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa perkawinan bukan merupakaperjanjian yang semata-mata bersifat keperdataan saja sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 26 KUH-Perdata, dan juga seperti perikatan-perikatan yang lain dalam keperdataan tetapi perkawinan  merupakan  ikatan  atau  perjanjian  yang  bersifat  lahir  dan  batin. Dengan demikian, perkawinan itu menentramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari yang  dilarang Allah dan untuk mendapatkan kasih saying suami-istri yang halal.[25]
Dalam kaitan dengan aspek batin inilah, maka seseorang yang bermaksud melaksanakan poligami harumempertimbangkan dengan matang  dan  bertanya pada nuraninya, apakah dirinya mampu berlaku adil di antara isteri-isterinya dan anak-anaknya, apakah ia mampu mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material mereka. Pertimbangan tidak hanya bersandar pada kekayaan material dan kekuasaan yang menunjukkan  keperkasaan (superioritas) dan dominasi lelaki terhadap perempuan, Begitu pun pertimbangan alasan memilih poligami sebagai penyaluran hasrat seksual  secara  halal  daripada memilih penyaluran  syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak tepat, malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum lelaki dalam melampiaskan keserakahan  libidonya, sekaligus merendahkan martabat  kaum  perempuan,  dengan  menempatkannya  sebagai objek, dan bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum lelaki dalam perkawinan.
Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia, poligami dibolehkan dengan alasan-alasan sebagimana dijelaskan dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan, yakni (1) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (2) istri mendapat catat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syaratnya adalah (1) ada izin istri; (b) ada kepastian mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak; dan (3) ada jaminan suami berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.[26]
Poligami yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad s.a.w. bertujuan mulia. Ragam perkawinan ini bertujuan, antara lain, menghindarkan dehumanisasi perempuan, yakni dengan melindungi hak-hak mereka sebagai manusia (terutama kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan). Perlindungan terhadap mereka, dalam perkawinan poligami, dilakukan  dengan  menegakkan  keadilan  sebagai  essensi ajaran Islam, dan kesetaraan jender (gender equality) antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, yang  sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut.[27]
Selain ayat di atas, para ulama juga mendasari kajiannya tentang poligami dengan QS. al-Nisa’: 129 yang artinya: ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara  isteri-isterimu,  walaupun  kamu  sangat  ingin  berbuat  demikian,  karena  itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”.[28] Dari ayat ini, dipahami bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim. Jadi perlu berusaha untuk berbuat adil, meskipun manusia tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang non-materi. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus  ada  upaya  maksimal  dari  seorang suami  untuk  dapat  berbuat  adil  kepada  para isterinya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa perbuatan baik dalam safar, bermalam, dan memenuhi kebutuhan lainnya sebagaimana diisyarahkan dalam beberapa hadits.[29]
Dari Aisyah r.a.  bahwasanya dia ditanya oleh Urwah  mengenai firman Allah SWT: “Dan  jika kamu  khawatir  tidak dapat  berlaku adil terhadap anak-anak yatim…”  (an-Nisa:3) kemudian  Aisyah  mengatakan kepada  Urwah  : Wahai  putra  saudara  perempuanku ! anak perempuan  yatim  yang   dimaksu dalam  ayat   itu  berad dalam  asuha walinya  yang mengurus  hartanya, kemudian  wali  tersebut  terpikat  oleh  harta  dan  kecantikan  anak  yatim itu sehingga  dia ingin mengawininya tanpa  berlaku adil dalam memberikan maskawin,  yakni hanya  memberinya  maskawin  sebanding  dengan  apa  yang  diberikan  kepadanya oleh  laki- laki  lain.  Denga adany kasus  tersebu maka   wali  yang  mengasuh  perempuan  yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan  memberinya maskawin  lebih tinggi daripad apa  yang  diberikan  oleh laki-laki  lain  pada  umumnya. Para  wali  yatim  tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka  (jika mereka khawatir  tidak  dapat   berlaku  adil  terhadap  anak-anak  yatim  yang  ada  dalam  perwalian mereka).  Aisyah  r.a  melanjutkan  :  sesudah   ayat  ini,  orang-orang memint fatwa  kepada Rasulullah  saw  maka  Allah  menurunkan ayat  lagi  :   Mereka  memint fatwa  kepadamu mengenai para  wanita   (an-Nisa: 127) adapun  lanjutan ayat  : sedangkan kamu  ingin mengawini    mereka…”    (an-Nisa:127)   adalah   karena    kebiasaan    wal yan tida suka mengawini  perempuan yatim  dalam perwaliannya yang  hartanya hanya  sedikit  dan  tidak seberapa  cantik.   Dengan    demikian,    mereka    para    wal yan mengurus    perempuan- perempuan yatim  yang  menyukai  harta  dan  kecantikan  mereka  dilarang menikahi  mereka kecuali dengan  adil, karena  seandainya yatim-yatim tersebut  hanya  berharta sedikit dan tidak menikahi  mereka.[30]
Sementara itu al-Maraghi, seorang ahli tafsir kondang, menyatakan bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat.[31]  Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang- orang yang benar-benar membutuhkan.  Dia kemudian mencatat kaidah hukum Islam “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat).[32] Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang  membolehkan  poligami,  menurut  al-Maraghi,  adalah:  1)  karena  isteri  mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak; dan 4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat perang juga membolehkan dilakukannya poligami. Terkait dengan QS. al-Nisa’: 129 al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal suami untuk berbuat adil.[33]
Sehubungan dengan masalah keadilan ini perintah syari’at kepada para suami untuk selalu berusaha berbuat adil. Maksuk adil terhadap istri adalah sekedar yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk berlaku adil, misalnya dalam soal membagi waktu, nafkah, pakaian dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, seperti melebihkan cintanya kepada salah seorang istri, maka tidak termasuk dosa. Rosulullah saw. Bersabda: Artinya: Ya Allah inilah pembagianku yang mampu saya laksanakan, janganlah Engkau mencela tentang yang Engkau miliki dan tidak saya miliki (keadilan bercinta).[34]
Hadits ini memberi gambaran bahwa berbuat tidak adil akan menemui konsekwensinya di hari kiamat nanti. Dari sini akan nampak hahwa  syari’at juga masih memperhatikan masalah  keadilan, jika ada  ketidakadilan, maka berarti seorang  suami termasuk  bagian  dari merendahkan atau  meremehkan derajat  perempuan, dan hal ini bagian dari kejahatan. Keadilan dalam konteks ini diterapkan dalam masalah materi semacam pembagian harta, hadiah, waktu dan lain-lain. Sedangkan untuk masalah emosi semacam perasaan cinta terhadap salah seorang istri, di luar kontrol laki-laki.[35]
Pendapat Aisyah  r.a tentang surat an-Nisa’:3, dijelaskan bahwa: Dari Aisyah r.a. bahwasanya dia ditanya mengenai firman Allah SWT: “Dan  jika kamu  khawatir  tidak dapat  berlaku adil terhadap anak-anak yatim…”  (an-Nisa’:3), beliau menjelaskan, anak perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat itu berada dalam asuhan walinya, tidak cenderung kepada hartanya. kemudian wali  tersebut terpikat oleh harta dan kecantikan anak yatim itu sehingga dia ingin mengawininya tanpa berlaku adil dalam memberikan maskawin, yakni hanya memberinya maskawin sebanding dengan apa yang diberikan kepadanya oleh  laki- laki  lain. Dengan   adanya   kasus  tersebut   maka   wali  yang  mengasuh  perempuan  yatim dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan memberinya maskawin  lebih tinggi daripada  apa  yang  diberikan  oleh laki-laki  lain  pada  umumnya. Para wali yatim tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik bagi mereka (jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang ada dalam perwalian mereka).  Aisyah  r.a  melanjutkan:  sesudah   ayat  ini,  orang-orang meminta   fatwa  kepada Rasulullah saw, maka Allah menurunkan ayat lagi: “Mereka meminta fatwa  kepadamu mengenai para  wanita  adapun  lanjutan ayat: “ … sedangkan kamu ingin mengawini  mereka…” (an-Nisa’:127) adalah karena kebiasaan wali yang tidak suka mengawini perempuan yatim dalam perwaliannya yang hartanya hanya sedikit dan tidak seberapa cantik. Dengan demikian, mereka para wali yang mengurus perempuan- perempuan yatim yang menyukai harta dan kecantikan mereka dilarang menikahi mereka kecuali dengan adil, karena seandainya yatim-yatim tersebut hanya berharta sedikit dan tidak menikahi mereka.[36]
Dari  keterangan  tersebut  menunjukkan  bahwa   para   wali  tidak  boleh menikah dengan anak yatim yang hartanya ada dalam perwaliannya,  kecuali  dengan  syarat,  yakni tidak  bermaksud   menguasai  atau  mencampuradukkan hartanya dengan   harta  anak  yatim tersebut,   namun jika  para  wali  tersebut  dapat  berlaku  adil,  maka  ia  dibolehkan  menikah dengan mereka, akan  tetapi  mahar  yang  diberikan  tidak boleh sedikit,  bahkan  harus  lebih daripada  biasanya.
Sepintas  lalu jika memperhatikan hadits  di atas,  memang itu seolah-oleh ijtihad dari Aisyah  sendiri, namun jika diperhatikan, akan ditemukan bahwa pendapat Aisyah tersebut  lebih banyak benarnya, karena  ia termasuk yang mengetahui maksud ayat dari surat an-Nisa’: 3,  jadi  dia termasuk bagian dari sejarah  yang  mengetahui  sebab-sebab  turunnya ayat  tersebut, dan pendapat ini sesuai  dengan maksud ayat tersebut. Ayat tersebut turun setelah perang uhud dimana sebanyak 70 orang muslim gugur sebagai suhada, sehingga meninggalkan janda dan anaknya. Hal ini merupakan masalah sosial yang krusial, dan hal ini diselesaikan dengan turunnya ayat yang memerintahkan orang yang mampu untuk mengurus anak yatim dengan menikahi jandanya, dan menjaga anak yatim itu dibawah pengawasan mereka.[37]
Keberadaan ayat poligami ini telah memberikan gambaran tentang sisi positif dan negatifnya jika mengambil istri lebih dari satu. Tetapi dalam kategori sulit berbuat adil diantara mereka dan al-Qur’an telah memberikan penekanan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil, lebih baik tidak mengawininya, melainkan memberi bantuan sekedarnya. Itu akan selamat dari penilaian ketidakadilan dihadapan Allah.
Persyaratan yang dibuat bagi orang yang hendak melaksanakan poligami  itu sebenarnya bukan untuk melaksanakan nafsu sahwat, atau untuk bersenang-senang saja, akan tetapi bertujuan untuk  menyelamatkan kaum wanita  yang  tidak bersuami, dan  hal ini pun  jika bisa berbuat  adil menurut  kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya, maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna.[38] Namun jika belum mampu maka dalam hal ini larangan dari Islam untuk melakukan poligami hingga Allah memberikan kemampuannya. Hal ini sebagaimana firmanNya yang artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu  kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga  Allah memampukan mereka  dengan  karunia-Nya.[39]
Menjaga diri untuk tidak berpoligami itu lebih baik dari pada memaksakan diri karena nafsu sahwatnya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada diri Rasulullah saw ketika masih beristri Khadijah, ia tidak pernah nikah lagi, namun setelah Khadijah wafat, barulah ia nikah lagi. Ketika Khadijah wafat, masalah poligami di kalangan bangsa Arab adalah merupakan hal  biasa,  bahkan  dalam sejarahnya masalah poligami ini sudah  dikenal  sejak Nabi Ibrahim as. Namun Rasul semasa dengan Khadijah merasa  cukup dengan satu istri saja. Selanjutnya setelah Khadijah wafat, Rasul baru melaksanakan pernikahan lagi, namun pernikahan ini bukan bermaksud untuk melaksanakan nafsu sahwatnya, akan tetapi untuk menjalin kekeluargaan dengan anak dari shahabatnya Abu Bakar,  yakni Aisyah. Setelah itu baru menikah dengan   Hafshah binti Umar bin Khattab, ia adalah seorang janda muda, setelah itu menikah dengan Ummu Salamah, ia adalah janda panglima perang beliau sendiri yang gugur di medan perang sebagai pahlawan syahid. Kemudian  menikah  dengan  Saudah, ia  adalah seorang   wanita  bernasib malang yang  tidak  mempunyai suami,  karena  usianya sudah  tua.  Sebagai  contoh lainnya adalah  pernikahan Rasul dengan Zainab binti Jahsyi, pernikahan  ini  adalah merupakan  pernikahan  yang  berat bagi Rasul karena Zainab itu sendiri mantan dari isteri anak  angkatnya sendiri, dan termasuk dari kerabat Rasul  sendiri. Juga pernikahan Rasul dengan Ummu Habibah ia adalah putri dari tokoh dan penguasa Quraisy Makkah yakni Abu Sofyan bin Harb. Jadi pernikahan Rasul setelah wafatnya Khadijah itu pada dasarnya didorong atas rasa dan kondisi mereka semua dan untuk menjalin persauadaraan dengan para shahabatnya. [40]
Dari kisah kehidupan Rasul yang melakukan poligami itu sebenarnya kehidupan yang  sangat  berat  dihadapi  oleh  Rasul,  jika  tidak  dibantu  oleh  wahyu kemungkinan tidak akan mampu untuk melakukannya, dari itu jika ingin berpoligami yang syar’ie, dan penuh perjuangan yang mendapat nilai amal shaleh, maka  hendaklah mengambil yang janda-janda yang ada anaknya, sebagaimana yang dihadapi oleh Rasul.[41] Jika janda yang ada anak yatimnya itu mempunyai anak dan kehidupan ekonominya sangat  berat,  maka  pernikahan itu akan menopang bagi mantan janda tersebut, begitu pula dengan anak-anak yang dibawanya, dari  itu ada nilai perjuangan yang syar’ie terhadap mereka dan mempunyai  nilai amal shaleh disisi Allah, atau dengan cara lainnya tidak mengawini janda tersebut,  akan  tetapi  memberi  bantuan  hanya  sekedarnya tanpa mengikat, sebagaimana dalam perkawinan. Tetapi  jika janda itu ada  mempunyai harta  termasuk yang dimiliki  oleh  anak-anaknya, maka  Islam  melarang bagi laki-laki yang mengawini mantan janda itu untuk mencampuradukkan hartanya dengan  harta  dirinya, jadi dalam hal ini harta mereka  tetap  akan menjadi milik mereka  yang harus dijaga dengan  baik.[42]
Atas dasar itu semua bukan berarti Islam melarang ummatnya untuk  menikmati kehidupan yang baik dan bersenang-senang, namun jejak Rasul dalam persoalan ini sudah sangat jelas, dan bukan merupakan satu alasan jika berargumentasi bahwa di zaman Rasul kehidupan ekonomi masyarakat saat itu sangat  rendah, tidak seperti  di zaman  sekarang  ini sehingga melupakan tuntunan ayat dan hadits dalam masalah ini.  Hal  ini dapat  dibuktikan  dalam sejarah bahwa  kehidupan para  istri Rasul saat itu bukan berarti serba berkecukupan, bahkan mereka  merasa  kekurangan, salah satu  bukti bahwa  para  istri Rasul juga pernah menuntut kepada Rasul tentang kehidupan yang lebih, sebagaimana yang dipelopori oleh Aisyah binti Abi Bakar, Hafshah binti Umar bin Khattab, kemudian diikuti oleh para istri Rasul yang lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa poligami sebagai suatu perbuatan rukhshah (keringanan). Sebagian yang lain menyatakan Al-Ibahah (boleh). Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri.[43] Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam. Bagi suami yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup seorang isteri saja.[44]
Itulah pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat. Tidak ada di antara mereka yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang. Mereka tidak berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang memang tidak pernah melarangnya. Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama klasik dalam menetapkan hukum.
Jika memperhatikan semua ayat-ayat tentang pernikahan secara cernat, akan didapati bahwa poligami dengan cara menikahi janda yang ada anak yatimnya itu tetap diutamakan persyaratan keadilan terwujud, khususnya pada anak-anak yatim yang dibawa oleh janda, perintah pada ayat itu ditujukan kepada orang laki-laki yang telah beristri, bukan yang masih bujang. Dan jika laki-laki yang masih bujang, maka hal ini bukan dikatakan poligami, karena ayat tersebut dijelaskan mengawini dua, atau tiga, atau empat. Jadi berpoligami itu memang dianjurkan bagi laki-laki yang telah beristri.
Tentang perlakuan adil dalam ayat-ayat poligami diatas itu bukan perlakuan  adil terhadap para istri, yakni dalam hubungan suami  istri, pendapat ini tidaklah tepat, karena konteks ayat tersebut berbicara masalah poligami dalam kaitannya dengan sosial kemasyarakatan, bukan  konsep  biologis, dan  juga pembicaraannya berkisar pada masalah anak yatim. Jadi perintah poligami dalam ayat diatas itu sebenarnya untuk yang sudah bersuami dan itupun diutamakan kepada janda yang banyak anaknya.[45] Dan perintah untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim, jika mereka ada harta, maka harta mereka itu tidak boleh dicampur dengan harta orang lain, disamping itu syarat lainnya adalah berbuat adil di antara mereka. Selanjutnya jika tidak dapat berbuat adil atau tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka hendaklah mengawini seorang saja. Akan tetapi jika melihat kembali firman Allah dalam surat an-Nisa’: 129, maka hal ini sudah merupakan ketetapan Allah tentang keadilan.
Dalam undang-undang modern yang diberlakukan di negara-negara Islam, ketentuan poligami masih bervariasi. Ada yang memberikan ketentuan yang longgar dan ada yang memberikan ketentuan yang sangat ketat hingga mengharamkannya. Indonesia termasuk negara yang menetapkan ketentuan yang ketat untuk poligami. Dalam UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang apabila  dikehendaki  oleh  pihak-pihak  yang  bersangkutan  dan  mendapat  izin  dari pengadilan.[46]  Adapun alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untuk memberi izin poligami ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu: 1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; 2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ketentuan seperti ini juga ditegaskan dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57. Pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut: 1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Di samping ketentuan ini UU Perkawinan juga mengatur prosedur yang harus ditempuh suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses di pengadilan. Mesir dan Pakistan, dua negara Islam, juga mengatur masalah poligami dalam undang-undangnya. Aturan poligami dalam undang- undang di dua negara ini juga cukup ketat.[47]
Quraish Shibab menyatakan, “Poligami itu mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu.”[48] Hal serupa disampaikan pula oleh Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, “Poligami tak ubahnya sebuah pintu darurat (emergency exit) yang memang disediakan bagi yang membutuhkannya.” Dalam kesempatan yang lain, beliau juga mengatakan, “Poligami atau monogamy adalah sebuah pilihan yang diberikan Islam untuk manusia, keduanya tak perlu dikontradiksikan.”[49]
Miftah Faridh, juga memiliki pandangan yang sama, “Poligami dalam pandangan Islam merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan umtuk memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi manusia. Poligami tidak perlu dipertentangkan, apalagi sampai menimbulkan keretakan ukhuwah Islamiyah, adapun jika ada yang belum siap melakukannya, itu lain persoalan.”[50] Direktur utama Pusat Konsultasi Syariah, Surahman Hidayat, mengatakan, “Nikah itu, baik poligami atau monogamy, tidak untuk menzalimi siapa pun.  Justru untuk tegaknya kebahagiaan, yang pada gilirannya terwujud rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahman.”[51]
Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam (syariah) adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami. Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan.
Dengan demikian, pada prinsipnya hukum Islam membolehkan adanya poligami dengan berbagai persyaratan yang cukup ketat. Perlu ditegaskan kembali, disyariatkannya poligami, seperti ketentuan hukum Islam lainnya, adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah harus disadari bahwa siapa pun boleh melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun, jika ia tidak dapat mewujudkan kemaslahatan ketika melakukan poligami, maka ia dilarang berpoligami. Persyaratan yang ditentukan oleh al-Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami.[52]

3.      Modus dan Prosedur Poligami
Kaum wanita sebelum Islam dianggap sebagai hal yang tidak berharga, hingga mereka diperjual belikan dan banyak yang dijadikan selir. Di sebagian bangsa Barat kaum wanita tidak memiliki hak apa-apa selain sebagai pelayan kaum pria.[53] Poligami menjadi hal yang lumrah dengan jumlah yang tidak dibatasi. Namun demikian, setelah Rosulullah saw., menyampaikan ajaran Islam dan melakukan poligami, seolah-olah poligami itu berawal dari ajaran Islam, yang kemudian banyak disorot oleh masyarakat non muslim.
Masyarakat Barat non muslim (Eropa dan Amerika Serikat) berdalih bahwa sistem poligami akan membuat pertentangan dan perpecahan antara suami dan isteri serta anak-anaknya. Kondisi seperti ini pula yang mengakibatkan tumbuhnya perilaku yang buruk pada anak-anak. Mereka juga berpendapat bahwa poligami akan mengikis kemuliaan perempuan. Menurut mereka, perempuan tidak dapat merasa memiliki hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa orang lain juga memiliki hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Poligami dipandang sebagai perlakuan diskriminatif Islam, sebab hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk memiliki pasangan lebih dari satu, sementara perempuan tidak boleh. Pandangan seperti ini tidak lepas dari background agama yang dianut di Barat. Agama Nasrani menurut penganutnya melarang poligami.[54]
Banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk melakukan poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat, tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.
a.    Faktor Biologis
1)      Istri yang sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya. Kondisi demikian memungkinkan seorang suami untuk melakukan poligami, tanpa menceraikan istrinya yang sakit karena membutuhkan perawatan dan ia bertanggungjawab akan kesehatannya.
2)      Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut, dibolehkan poligami dengan tujuan memelihara diri dari zina.
3)      Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari saja istrinya mengalami haid, dikhawatirkan sang suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa menjadi pilihannya.
4)      Masa Subur Pria Lebih Lama
Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan wanita. Berbeda dengan wanita, pria tidak memiliki "deadline" untuk memiliki anak.[55] Meski kualitas, kuantitas, dan pergerakan sperma menurun drastis di usia 50 tahun, cukup banyak pria yang mampu menghamili wanita bertahun-tahun setelahnya. Meski demikian, bukan berarti pria tidak memiliki masalah dengan kesuburan. Fertilitas pria akan berkurang setiap dekade, terutama setelah ia berusia di atas 35 tahun. Jumlah sperma usia 50-80 tahun hanya 75 persen dibanding pria usia 20-50 tahun. Kemampuan berenang sperma juga berkurang seiring dengan usia. Mobilitas sperma yang paling baik adalah di usia 25 tahun dan paling rendah di usia 55 tahun. Dari usia 35-55 tahun, mobilitas sperma berkurang sampai 54 persen, tak peduli berapa banyak ia berhubungan seks.
b.    Faktor Internal Rumah Tangga
1)      Kemandulan
Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah kemandulan, baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dilakukannya. Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati dan ridha bila sang suami menikahi wanita lain yang dapat memberikan keturunan.
2)      Istri yang Lemah
Ketika sang suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya, serta bentuk-bentuk kekurangan lainnya. maka pada saat itu,kemungkinan suami melirik wanita lain yang dianggapnya lebih baik, bisa saja terjadi poligami.
3)      Kepribadian yang Buruk
Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, gampang marah, tidak mau menerima nasihat suami dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah, apalagi jika watak dan karakter buruk sang istri tidak bisa diperbaiki lagi.[56]

c.    Faktor Sosial
1)      Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia 50,35%  laki-laki dan 49,65% perempuan. Namun demikian, pada tingkat cerai hidup laki-laki 1.03% dan perempuan 2.34%. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak janda dan tentunya anak-anak yang umumnya dibawa oleh perempuan, membutuhkan bantuan ekonomi.[57]
2)      Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
Sebagian pendapat juga mengatakan bahwa harapan hidup kaum wanita, lebih panjang daripada harapan hidup kaum pria, perbedaannya berkisar 5-6 tahun. Sehingga tidak heran jika lebih banyak suami yang lebih dahulu meninggal dunia, sedangkan sang istri harus hidup menjanda dalam waktu yang sangat lama, tanpa ada yang mengayomi, melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara layak.[58]
3)      Berkurangnya Jumlah Kuam Pria
Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum pria adalah semakin bertambahnya jumlah perempuan yang kehilangan suami dan terpaksa harus hidup menjanda. Lalu siapakah yang akan bertanggung jawab mengayomi, memberi perlindungan dan memenuhi nafkah lahir dan batinnya, jika mereka  terus  menjanda?  solusinya  tida  lain,  kecuali  menikah  lagi  dengan  seorang jejaka, atau duda, atau memasuki kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri. Itulah solusi yang lebih mulia, halal dan baradab.
4)      Lingkungan dan Tradisi
Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan poligami, jika ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi poligami. Sebaliknya ia akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap poligami sebagai hal yang tabu dan buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para pelakunya.
5)      Kemampuan Ekonomi
Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri lebih dari satu.

B.     Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan; sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya. Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto,[59] yang menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear  family). Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial terkecil yang  terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum  menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini.
Kenyataan demikian diakui oleh William J. Goode.[60] Dalam hal ini ia menyatakan bahwa keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu  ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi kuat. Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih  (ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga  merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar.
 Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran  sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[61] Keluarga  itu dapat diartikan pula sebagai  kelompok pertalian nasab (keturunan) yang dapat  dijadikan  tempat untuk  membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan  kebutuhan hidup  lainnya.[62] Menurut M.I. Soelaeman[63],  suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila terdiri dari ayah, ibu  dan anak-anak. Apabila salah satunya tidak  ada  maka dikatakan keluarga tidak lengkap. 
Dengan memperhatikan beberapa definisi keluarga sebagaimana dinyatakan  di atas, maka dalam  tulisan  ini keluarga  diartikan secara sempit, yakni  kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak. Dengan  kata lain keluarga adalah orang-orang  yang  hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam), sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama  untuk  mencapai  kesejahteraan  semua   anggota keluarganya itu.
1.      Fungsi Keluarga
Keluarga   memiliki  fungsi  tertentu,  baik   untuk masyarakat,   anggota  keluarga,  maupun   negara   secara keseluruhan. Karena fungsinya itulah maka urgensinya  bagi berbagai  hal  perlu dikaji,  khususnya  urgensi  keluarga dalam pendidikan anak. Sedikitnya ada tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi ketuhanan,  sosial, dan  ekonomi. Secara lebih rinci, dari keriga fungsi tersebut dikembangkan menjadi Sembilan fungsi keluarga, yaitu biologis,  ekonomi, kasih saying, edukatif, perlindungan, sosialisasi anak, rekreatif, status dan religious (beragama). Fungsi-fungsi tersebut dijelaskan oleh Melly Sri[64] sebagai berikut.
a.       Fungsi Biologis
Pembentukan  keluarga  bermula  dengan   terciptanya hubungan  suci  yang  menjalin  seorang  laki-laki  dengan seorang  wanita  melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya.[65] Sehingga sebagai suatu organisme, keluraga memiliki fungsi  biologis.  Memenuhi  kebutuhan  sandang, pangan,  dan papan serta kebutuhan hubungan  kelamin  yang memungkinkan memberikan keturunan (anak). Hal ini  disebut juga dengan fungsi reproduksi atau pengembangbiakan.  Oleh karena  itu kehidupan keluarga perlu diikat dengan suatu ikatan perkawinan yang memungkinkan suami istri  memenuhi kebutuhan  dasar  tersebut dengan  bebas  dan  bertanggung jawab.[66] Keterangan tersebut  bersesuaian  dengan  al-Quran surat An-Nisa ayat 1.




Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[67]
b.      Fungsi Ekonomi
Fungsi  ini  mempunyai hubungan erat  dengan  fungsi biologis,  terutama  dalam  hal  memenuhi  kebutuhan  yang bersifat  vegetatif,  seperti kebutuhan makan,  minum  dan tempat tinggal. Fungsi  ekonomis  dalam  suatu  keluarga  ditunjukan dengan  keadaan keluarga yang merupakan kesatuan  ekonomi. Aktivitas dalam fungsi ekonomi berkaitan dengan  pencarian nafkah,  pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran  biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.
Dalam ajaran Islam, memenuhi nafkah keluarga  adalah kewajiban  suami. Namun demikian tidak disalahkan  apabila istri  turut  membantu suami  dalam  memperoleh  pemenuhan nafkah  asal tetap dapat memenuhi kewajiban  utama  selaku istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Keterangan yang menunjukkan bahwa suami bertanggung jawab atas pemenuhan nafkah keluarga diterangkan dalam al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 233 sebagai berikut:


Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.[68] (Al-Baqoroh : 233).
c.       Fungsi Kasih Sayang
Keluarga dituntut memerankan fungsi sebagai lembaga interaksi yang   harmonis antara anggota-anggotanya, membentuk ikatan  batin yang kuat sesuai dengan status peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga tersebut.
Di dalam suatu keluarga idealnya terbentuk kehidupan rumah  tangga yang rukun, damai, serta tenang dan  bahagia yang  dilandasi  oleh cinta dan kasih  sayang.[69] Hal ini bersesuaian dengan tujuan dari pernikahan sebagai awal pembentukan keluarga sebagaimana dijelaskan dalam surat Ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:



Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[70]
d.      Fungsi Pendidikan 
Fungsi pendidikan dalam lingkungan keluarga merupakan fungsi utama bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi  lainnya.  Di dalam keluarga sejak  awal  diberikan pendidikan dan pembentukan sikap. Di samping itu ditumbuhkan  juga  jasmani, akal,  rasa,  seni,  emosi, spiritual, akhlak dan tingkah laku sosial untuk menyiapkan anak-anak menyongsong masa depan.[71] Dengan perkataan lain, keluarga bertanggung jawab untuk mengembangkan anak-anak yang dilahirkan  dalam  keluarga untuk berkembang menjadi orang yang diharapkan oleh bangsa, negara, dan agamanya.
Dalam  keluarga, orang tua adalah pendidik utama  dan pertama  yang  mendidik dengan penuh  tanggung  jawab  dan kasih  sayang. Mereka mendidik semata-mata  rasa  tanggung jawab dan sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada Allah atas  nikmat  dan  karunia-Nya. Dan keluarga merupakan institusi pendidikan yang muncul seiring dengan adanya kehidupan manusia di dunia ini. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam mendidik dan membina bangsa, sebab dari keluarga yang rukun dan sehat akan lahir anak-anak yang sealu rukun dan sehat pula, baik jasmani maupun rohaninya. Dan dari anak-anak anggota keluarga yang sehat akan terjadi suatu bangsa yang  sehat dan kuat. Pada keluargalah terletak kewajiban pertama untuk mendidik seorang anak menjadi sehat, beradab, tahu sopan santun, serta mempunyai sifat-sifat yang baik, menjadi anggota masyarakat yang cakap dan berguna.[72]
e.       Fungsi Perlindungan
Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak di lingkungan keluarga berhubungan erat dengan perlindungan secara mental dan moral di samping perlindungan fisik bagi kelanjutan hidup orang-orang yang ada dalam keluarga itu.[73] Dengan demikian maka keluarga juga dalam melaksanakan pembinaannya berfungsi sebagai lembaga perlindungan  dari kelaparan,  kehausan,  kedinginan,  kepanasan, kesakitan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan sebagainya. Fungsi perlindungan (protektif) dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota  keluarga lainnya  dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam keluarga maupun dari luar kehidupan  keluarga.[74]
Fungsi perlindungan ini terutama agar keluarga terhindar dari berbuat dosa dan kesalahan yang menyebabkan dimasukan ke dalam neraka. Dalam Al-Quran surat At-Tahrim ayat 6 dijelaskan:
 





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[75]

f.       Fungsi Memasyarakatkan
Keluarga memiliki fungsi sosial atau memasyarakatkan.  Maksudnya orang tua mengemban amanat masyarakat, bahwa anak itu diharapkan oleh masyarakat dapat tumbuh menjadi asset masyarakat. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa keluarga mempunyai tugas untuk mengantarkan anak-anak ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih luas.  Anak dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang baik yang memahami norma-norma sosial sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak.[76]
g.      Fungsi Rekreasi
Dalam  kehidupan  manusia, rekreasi  cukup  penting. Rekreasi  dalam hal ini adalah sebagai aktivitas  seseorang atau anggota keluarga atas dasar kemauan sendiri sehinggga merasakan  adanya kesenangan dalam melakukan sesuatu  itu. Melalui   rekreasi   ini   dapat   mengimbangi   kekakuan, kekesalan, kelelahan, dan kecapaian setelah  mempergunakan energi dalam aktivitas sehari-hari.
h.      Fungsi Status
Fungsi  status ini menunjukkan pada kadar kedudukan keluarga  dibanding  dengan keluarga lainnya. Hal ini terealisasi dari hasil penilaian anggota masyarakat terhadap keluarga. Dalam hal-hal tertentu  status sosial keluarga  ditentukan oleh usaha setiap anggota keluarga (achieved  status),  ada pula status yang  diberikan  oleh orang lain, dan status berdasarkan keturunan.[77]
i.        Fungsi Beragama
Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga dalam menjalankan ketentuan-ketentuan  agama. Menurut Djudju,[78] fungsi  ini mengharuskan orang tua sebagai  seorang  tokoh inti  panutan  dalam keluarga,  untuk  menciptakan  iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.

2.      Pengertian Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami
a.  Pendidikan
Kata  "pendidikan"  semakna  dengan  "rabba" atau "ta'dib"  dalam bahasa  Arab.  Pendidikan secara  sederhana  berarti usaha  manusia untuk  membina kepribadian yang sesuai dengan  nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan Islam menurut Yusuf Qordowi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, adalah pendidikan manusia seutuhnya; akan dan hatinya, rohani dan jasmanisnya, akhlak dan keterampilannya.[79]
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam  Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan perkataan ta'dib. Adapun pengertian ta'dib mengacu  kepada pengertian  yang  lebih tinggi dan  mencakup semua unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta'lim), dan  pengasuhan yang  baik  (tarbiyah).  Meskipun ketiga istilah itu dapat digunakan dengan pengertian yang sama, ada beberapa ahli pndidikan yang berpendapat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna yang khusus (tersendiri). Syed Muhammad Naquib Al-Attas berpendapat sebagai berikut:
Ta'lim hanya berarti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan. Adapun tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan tambahan, membesarkan, memproduksi, dan menjinakan; bukan suatu istilah yang tepat untuk menyatakan pendidikan bagi manusia, karena pendidikan dalam Islam harus khusus hanya untuk menusia.[80]
Menurutnya, yang tepat untuk istilah pendidikan dalam bahasa Islami ialah ta'dib. Ia menjelaskan sebagai berikut: Pendidikan, termasuk pula proses pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang temat-tempat Allah yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Jadi menurut pendapat Al-Attas, ta'dib lebih tepat menunjukkan pengertian pendidikan dalam Islam, sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak pula meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta'dib sudah meliputi kata tarbiyah dan ta'lim. Pendidikan  itu sendiri mempunyai  makna  pengalihan nilai-nilai. Hal ini sejalan dengan pernyataan  Hasan  Langgulung[81] bahwa pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama dari sudut pandang masyarakat, dan kedua dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berlanjut. Atau denan kata lain berarti penyaluran nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut terpelihara. Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan mengandung arti pengembangan potensi individu." Bila pernyataan  itu diterima,  maka  mengandung konsekuensi  bahwa  pendidikan tidak sekedar "transfer of knowledge", tetapi juga "transper  of  values". Jadi pendidikan itu  harus  sampai  pada memindahkan  nilai-nilai yang dianut, tidak berhenti  pada penyampaian pengetahuan saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan dalam perspektif Islam adalah suatu proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim kepada orang lain agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tpat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
b.  Lingkungan Keluarga
Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lingkungan memiliki empat pengertian, yaitu (1) daerah (kawasan dsb) yang termasuk di dalamnya; (2) bagian wilayah di kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa; (3) golongan atau kalangan; (4) semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia.[82].
Adapun secara istilah, belum ditemukan pengertian yang baku mengenai lingkungan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini definisi lingkungan, didasarkan kepada pengertian leksikal, yakni kawasan atau lebih cenderung kepada makna yang keempat, yaitu semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia..
Dalam kehidupan sehari-hari, kata ”keluarga” digunakan dalam pengertian hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam arti hubungan darah,  keluarga dibedakan pada dua istilah, yakni keluarga besar dan keluarga inti.Keluarga besar memasukan kerabat dan orang-orang yang terhubung dengan perkawinan sebagai keluara. Jadi di samping ayah, ibu dan anak-anak, ada pula kakek, nenek, paman, bibi, cucu, ponakan, mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun keluarga inti atau keluarga dalam arti sempit adalah suami istri dan anak-anak yang lahir darinya.
Menurut pandangan sosiologis, keluarga dalam arti luas meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan; sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orang tua dengan anak-anaknya. Pendapat ini sejalan dengan Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa: ”dalam setiap masyarakat manusia pasti akan dijumpai keluarga batih (nuclear  family), yakni kelompok sosial terkecil yang  terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum  menikah.[83]
Keluarga batih lazim juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup. Keluarga dipandang sebagai lembaga sosial yang telah lama ada, yakni sejak adanya kehidupan manusia di bumi ini. Kenyataan demikian diakui oleh William J. Goode yang menyatakan sebagai berikut: Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat, sehingga istilah struktur sosial dalam ilmu antropologi sering sekali dipergunakan dalam pengertian struktur keluarga dan kekeluargaan. Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang keluarga, lebih dari pengertian bangunan rumah dengan segala perabotannya, tetapi lebih dari itu  ada pengertian yang lebih luas, yakni suasana yang mengikat anggota-anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus lagi kuat.[84]
Dapat pula dikatakan bahwa keluarga atau rumah tangga ialah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu batih  (ayah-ibu), ditambah dengan beberapa warga lain yang tinggal hidup bersama dalam suatu rumah, sehingga  merupakan satu kesatuan ke dalam dan ke luar. Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pandangan pemikiran  sosial modern yang mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat, di mana hubungan-hubungan di dalamnya sebagian besar bersifat hubungan langsung.[85]
Keluarga itu dapat diartikan pula sebagai  kelompok pertalian  nasab (keturunan) yang dapat  dijadikan  tempat untuk  membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan  kebutuhan hidup  lainnya.[86] Suatu keluarga baru dikatakan lengkap apabila terdiri dari ayah, ibu  dan anak-anak. Apabila salah satunya tidak  ada  maka dikatakan keluarga tidak lengkap. 
Dengan memperhatikan beberapa definisi keluarga sebagaimana dinyatakan  di atas, maka dalam  tulisan  ini keluarga  diartikan secara sempit, yakni  kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak. Dengan  kata lain keluarga adalah orang-orang  yang  hidup bersama dalam suatu rumah tangga secara sah (menurut hukum Islam), sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan ada kerjasama  untuk  mencapai  kesejahteraan  semua   anggota keluarganya itu. Jadi lingkungan keluarga adalah wilayah kewenangan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dalam satu rumah tangga.
c. Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan pengertian pendidikan dan lingkungan keluarga sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan di lingkungan keluarga adalah sebuah proses bantuan yang diberikan oleh orang dewasa muslim (orang tua) kepada anaknya agar mencapai kedewasaan melalui pengenalan dan penanaman secara berangsur-angsur tentang tepat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Allah yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Proses tersebut terjadi di kawasan yang sempit, yakni kelompok  sosial terkecil  yang  terdiri  dari ayah,  ibu,  dan  anak-anak.

3.      Tujuan Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pada dasarnya, tujuan pendidikan di lingkungan keluarga secara umum tidak berbeda dengan tujuan pendidikan di lembaga pendidikan formal maupun non formal, yakni sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan adalah sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[87]
Dalam sebuah keluarga, tujuan pendidikan adalah perubahan yang diinginkan, diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada aspek tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tempat individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[88].
Dalam hal ini Al-Toumy membagi tujuan pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu tujuan-tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Dilihat dari pembagian ini selanjutnya Al-Toumy menjelaskan sebagai berikut.
a.       Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu, anakan dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.
c.       Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.[89]

Tujuan berbeda dengan keinginan. Perbedaannya nampak dalam rencana dan bertindak secara sistematis dalam proses intelektual yang kompleks memerlukan kemahiran dan kecerdasan, perencanaan dan metode, dan bertindak mengambil kesimpulan-kesimpulan sehingga mejadi suatu konsep tujuan yang harus dicapai dalam sebuah proses.
Hasan Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam kepada tiga tinggat, yaitu tujuan tertinggi, tujuan umum dan tujuan pendidikan khusus. Tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan khalifah, yang hanya dapat dicapai setelah melalui tahap tujuan khusus dan tujuan umum. Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau perubahan yang dihekendaki, diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat kepada tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan khusus.
Pendidiakan Islam merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem (pendidikan) di dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsur yang sama, itu disebabkan karena pendidikan Islam bersifat terbuka selama tidak bertentengan dengan jiwa Islam.[90]  Mengingat hal tersebut, maka pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu yang dapat dianalisis dari segi sistematik atau pendekatan sistem. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka pelaksanaan pendidikan. Komponen komponen yang dimaksudkan adalah (1) tujuan pendidikan Islam, (2) pendidikan dalam pendidikan Islam, (3) Anak didik, (4) Materi pendidikan Islam, (5) Metode pemikiran Islam, (6) Kegiatan pendidikan Islam. Dari keseluruhan Komponen tersebut yang sangat urgen adalah tujuan pendidikan. Oleh sebab itu pada bagian ini akan diuraikan mengenai tujuan pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung[91] tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan hanya lah suatu alat yang dipergunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutkan hidupnya sebagai individu dan sebagai masyarakat.
Ahmad Tafsir[92] menjelaskan sebagai berikut; tujuan umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurana, atau manusia yang taqwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah. Muslim yang sempurna adalah manusia yang memiliki:(1) Jasmani yang sehat dan kuat, (2) akal yang cerdas serta pandai, ( 3) hatinya taqwa kepada Allah.
Konfrensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 yang berlangsung di Mekkah telah memberikan rekomondasi tentang tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
Pendidikan harus bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua asfek ini kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia[93].
Adapaun menurut pendapat Al-Attas[94] bahwa "tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya ialah untuk menjadi seorang manusia yang baik". Abdurrahman An-Nahlawi[95] menyatakan bahwa "tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat." Hasan Langgulung[96] menyatakan, "menurut pandangan Islam perkembangan fitrah adalah salah satu aspek utama tujuan pendidikan Islam." Perkembangan fitrah mencakup aspek perkembangan diri (self actualization), perkembangan spiritual (ruh) dan akal, disamping jasmani dan mental.  Adapun Athiyah Al-Abrasy[97] menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan budi pekerti jiwa adalah jiwa pendidikan  Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak jiwa pendidikan Islam. Mencapai akhlak yang sempurna adaah sebenarnya dari pendidikan, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani, akal, ilmu, atau segi-segi praktis lainnya, tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya.
Pernyataan Athiyah tersebut menekankan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna, dengan tidak mengabaikan aspek-aspek lain pada diri manusia. Ini sejalan dengan pendapat Baharudin[98] yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam  yaitu menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa dan meyakini (Islam) sebagai suatu kebenaran tersebut melalui akal, rasa feeling di dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.
Jika kita perhatikan, semua tujuan yang telah disebutkan  itu dinyatakan sebagai tujuan umum atau diistilahkan pula dengan tujuan akhir. Adapun untuk merealisasikan tujuan umum tersebut diperlukan tujuan sementara atau terminal-terminal tujuan yang secara umum biasa disebut dengan (1) tujuan institusional, (2) tujuan kurikuler, (3) tujuan instruksional atau tujuan operasional umum dan khusus pada lembaga pendidikan formal.
Demikian tujuan pendidikan Islam yang umum yang dapat dijabarkan kepada bentuk-bentuk tujuan yang lebih khusus. Ini dapat terjadi karena, pendidikan dalam Islam merupakan kegiatan atau proses yang melalui tahap demi tahap dan tingkatan demi tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan dalam Islam tidak statis tetapi merupakan suatu keseluruhan yang bergerak maju seiring dengan perkembangan zamannya. Tahapan dan tingkatan dalam pendidikan dan dalam tujuannya berdasar kepada salah satu ayat dalam al-Quran antara lain yang menyebutkan bahwa manusia itu hidup melalui tingkat demi tingkat. Ayat dimaksud adalah Q.S . Al- Insiqoq  ayat 19,  lafadznya sebagai berikut:
Artinya:Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat.[99]
Dari penjelasan ini atas, nampak ahli pendidikan mempunyai persepsi dan visi yang berbeda dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan sehingga menimbulkan kesan tujuan pendidikan Islam begitu banyak dan berbeda-beda. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya persepsi yang berbeda mengenai prototype manusia ideal yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan.

4.      Sifat Umum dan Fungsi Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pendidikan keluarga, merupakan pendidikan yang pasti dialami seseorang sejak ia dilahirkan, dan biasanya dilaksanakan sendiri oleh orang tua dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian pendidikan keluarga memiliki sifat umum, fungsi dan sifat khusus.
a.     Sifat-sifat umum pendidikan keluarga
Sifat-sifat umum yang dimaksud adalah sifat keluarga sebagai lembaga pendidikan yang ikut bertanggungjawab dalam proses pendidikan. Sifat-sifat umum ini meliputi keluarga sebagai lembaga pendidikan tertua, informal, pertama dan utama, dan bersifat kodrati. Untuk lebih jelasnya mengenai ciri umum pendidikan keluarga ini disajikan pernyataan Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso[100] sebagai berikut.
1)      Lembaga pendidikan tertua
Ditinjau sejarah perkembangan pendidikan maka “Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang tertua”. Lembaga pendidikan lahir “sejak adanya manusia di mana orang tua yaitu ayah serta ibu sebagai pendidiknya dan anak sebagai si terdidiknya”.
2)      lembaga pendidikan informal
Dengan lembaga informal yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang tidak terorganisir, tidak mengenal penjenjangan kronologi atas dasar usia maupun pengetahuan/keterampilan. Atau dengan kata lain lembaga pendidikan ini “tidak kita jumpai adanya kurikulum dan daftar jam anakan yang tertulis secara resmi dalam bentuk (form)  yang tertentu dan jelas.

3)      Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama
Dalam keluargalah, pertama anak memperoleh pendidikan sejak ia dilahirkan dan pendidikan keluarga pula merupakan pembentuk dasar kepribadian anak. Sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro Alam keluarga adalah pusat pendidikan pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti tiap-tiap manusia”. Pendidikan Akhlak dalam keluarga Islam merupakan hal yang sangat penting setelah pendidikan tauhid.[101]
4)      bersifat kodrat
Pendidikan keluarga bersifat kodrat karena “terdapatnya hubungan darah anatara pendidik dan anak didiknya. Karena sifat ini maka wewenang pendidik (Dalam hal ini orang tua) akhirnya bersifat kodrat dan wajar sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun kecuali dalam hal-hal tertentu. Disamping itu dalam pendidikan keluarga ”hubungan antara anak didik dan pendidik sangat erat pula”.
b.     Fungsi pendidikan keluarga
Fungsi pendidikan keluarga yang terpenting adalah merupakan pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moral, sosial, dan agama. Keluarga yang ada di bawah didikan Nabi secara langsung telah menumbuhkan manusia-manusia sempurna.
1)    Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Dalam pendidikan keluarga, anak memperoleh “pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak” selanjutnya. Dari penyeliddikan para ahli, pengalaman pada masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan individu dalam hidupnya.
2)    Menjamin kehidupan emosional anak
Dalam pendidikan keluarga maka kehidupan emosional atau kebutuhan rasa kasih sayang anak dapat terjamin dengan baik. Hal ini disebabkan  “karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena oerang tua hanya menghadapi sedikit anak dan karena hubungan tadi atas rasa cinta kasih yang murni. Terjaminnya kehidupan emosionil anak pada waktu kecil berarti menjamin pembentukan pribadi selanjutnya.
3)    Menanamkan dasar pendidikan moril
Dalam pendidikan keluarga berlangsung peniruan tingkah laku yang bersifat moralitas, sehingga pendidikan ini menyentuh pendidikan moril anak-anak “di dalam keluargalah terutama tertanam dasar-dasar pendidik moral yang diperoleh melalui contoh-contoh yang konkrit dala perbuatan hidup sehari-hari.
4)    Memberikan dasar pendidikan kesosialan
Dalam kehidupan keluarga sering anak-anak harus membantu (menolong) anggota keluarga yang lain seperti menolong saudaranya sakit, bersama-sama menjaga ketertiban keluarga dan sebagainya. Kesemuanya memberi pendidikan pada anak, terutama memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak.”[102]
5)    Memberi dasar pendidikan agama
Pendidikan keluarga dapat pula “merupakan lembaga pendidikan penting untuk meletakkan dasar pendidikan agama bagi anak.” Seperti tampak adanya anak-anak yang belajar mengaji pada orang tuanya atau tetangganya. Keluarga adalah lingkungan yang paling banyak mempengaruhi kondisi psikologis dan spiritual anak.[103]
c.     Sifat Khusus Pendidikan Keluarga
Sifat khusus dalam pendidikan keluarga dimaksud adalah beberapa hal khusus yang berhubungan dengan si terdidik dalam lembaga pendidikan keluarga, seperti sifat menggantungkan diri, anak didik kodrat, dan kedudukan anak.
1)      Sifat mengantungkan diri
Anak yang baru lahir memiliki sifat serta tergantung pada orang tuanya. Sehingga tanpa pertolongan orang tua, anak tidak akan bisa berkembang dalam hidupnya atau tidak dapat melanjutkan hidupnya.
2)      Anak didik kodrat
Terbentuknya keluarga karena pernikahan antara ayah danm ibu, maka keluarga merupakan lembaga pendidikan yang mengikat anak secara takdir menjadi anak didik dalam pendidikan tersebut. Kecuali dalam keadaan tertentu, yang menyebabkan anak dipelihara orang lain, maka nilai anal didik kodrat menjadi hilang.
3)      Kedudukan anak dalam keluarga dan kesukaran pendidikan
Kedudukan anak dalam susunan keluarga, sering menimbulkan problema pendidikan, seperti: Anak tunggal, Anak sulung, Anak bungsu, Anak laki-laki tinggal diantara saudara-saudara perempuannya. Anak perempuan tinggal diantara saudara-saudaralaki-lakinya.
5.      Tugas dan Tanggung Jawab Mendidik Anak
Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam anggota masyarakat, umumnya terdiri dari orang tua dan anak-anak. Orang tua memiliki hak dan kewajiban tertentu atas anak-anaknya, sebagaimana anak-anaknya juga memilki kewajiban dan hak tertentu pula. Menurut ajaran Islam, salah satu kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah membimbing agar tidak terjerumus ke dalam api neraka,agar anak-anaknya mentaati dan patuh kepada kehendak Allah juga  kepada orang tuanya, agar anak tidak menjadi beban orang tua dan orang lain setelah ia dewasa. Rungkasnya agar anak menjadi anak yang shaleh.
Dalam keluarga, orang tua adalah pendidik utama dan pertama yang mendidik dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Mereka mendidik bukan karena tugas dan upah dari orang lain, tetapi semata-mata rasa tanggung jawab dan sebagai perwujudan  dari rasa syukur atas nikmat  dan karuna dari Allah. Masalahnya, kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat bergantung kepada pendidikan yang diberikan kedua orang tuanya. Dengan kata lain, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak Secara lebih rinci, urgensi dan orientasi bimbingan orang tua terhadap anak-anaknya dapat diterangkan sebagai berikut.
a.    Anak adalah amanah Allah yang perlu dipelihara
Setiap anak yang lahir ke dunia tidak lain merupakan amanah Allah kepada kedua orang tuanya. Amanah itu harus dipelihara, dijaga dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak. Menjaga anak sebagai amanah Allah adalah dengan memberikan bimbingan, pendidikan serta pengajaran yang berguna bagi kehidupan anak di dunia dan di akhirat. Untuk itu orang tua dituntut untuk menumbuhkan potensi-potensi yang dimiliki anak, sehingga perkembangan dan pertumbuhan dirinya sesuai dengan masanya, serta mampu memenuhi tuntutan hidupnya kelak.
Bagi umat Islam memberikan bimbingan kepada anak merupakan salah satu bentuk menjalankan amanah Allah, sementara meninggalkan atau tidak memberikan bimbingan kepada anak dengan bimbingan yang selaras dengan ajaran Islam merupakan perbuatan meninggalkan amanah Allah. Menurut Umar Hasyim[104] sesungguhnya amanah itu adalah segala hak yang dipertanggung jawabkan atau dipertaruhkan kepada seseorang, baik itu kepunyaan Allah atau hamba, baik berupa perkataan, kepercayaan hati atau barang-barang.
Perbuatan memelihara amanah bukan pekerjaan yang ringan, dalam hal ini Rosulullah telah menjelaskan sebagai berikut. Artinya: Seberat-berat agama adalah memelihara amanah sesungguhnya tidak ada agama bagi orang-orang yang tidak memelihara amanah, bahkan tidak ada shalat dan zakat baginya.[105]
Dari hadits tersebut nampak bahwa amenjalankan amanah merupakan perbuatan yang sangat penting, karena dengan tidak melaksanakan amanah yang dipikulkan kepadanya berarti melanggar ajaran agama, sehingga shalat dan zakatnya pun menjadi tidak berarti. Sangat terpujilah orang-orang yang memelihara amanah. Membimbing anak sebagai amanah Allah merupakan kewajiban yang tidak dapat dihindarkan bagi setiap keluarga, membiarkannya berarti menyia-nyiakan amanah yang konsekuensinya dinyatakan sebagai orang yang tidak beragama, shalat dan zakatnya tidak berguna.

b.    Anak Memiliki Potensi Tetapi belum Berdaya
Potensi atau fitrah mengandung arti kemampuan dasar yang dimiliki oleh setiapanak yang lahir. Fitrah atau potensi tersebut hanya akan berkembang dan berguna bila mendapat pembinaan yang memadai, dibimbing oleh orang dewasa secara benar dan teratur. Menurut ajaran Islam, semua manusia yang lahir telah memiliki potensi dasar untuk percaya kepada Allah. Dalam hal ini Anwar Mas'ary.[106] menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama (fitrah), yaitu agama tauhid. Jika kenyataannya manusia banyak yang tidak beragama tauhid, hal ini disebabkan oleh lingkungan disekitarnya. Pernyataan tersebut setidak-tidanya didasarkan kepada hadits Nabi Artinya: dari Abu Hurairah r.a. berkata, nabi Saw., telah bersabda; tidak seorangpun dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.[107]
Hadits di atas menyatakan bahwa setiap anak yang lahir memilki fitrah. Inti fitrah menurut adalah kecenderungan untuk beriman kepada Allah. Sementara Allah sendiri sifatnya yang paling pokok adalah Ada (wujud), Esa (ahad), dan Sempurna (kamal). Karena itu kejadian manusia secara alamiah dibekali oleh potensi ketauhidan. Lebih dari itu sesuai dengan Ada-Nya, Esa-Nya dan Sempur-Nya Allah, fitrah manusia juga berarti potensi untuk mencintai yang benar dan membenci yang salah. Dilihat dari relevansinya fitrah manusia itu ada kesesuaian dengan teori ilmu jiwa daya yang menyatakan bahwa manusia memilki daya-daya yang mesti dilatih sesuai dengan kemampuannya., sehingga berkembang sampai pada tingkat yang wajar. Hanya masalahnya, fitrah yang memantul berupa potensi dan daya-daya tertentu pada manusia tidak dapat berkembang begitu saja, melainkanperlu sentuhan tangan orang lain. Orang tua sebagai salah satu bentuk lingkungan sosial dinyatakan sebagai orang yang menentukan apakah seseorang dijadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Karena itu setelah anak lahir kedua orang tuanyalah yang memberikan corak atau pengarauh kepadanya.
Anak dengan ketidakberdayaannya secara bertahap akan menerima pengaruh, tidak saja dari anggota keliuarga, tetapi juga dari lingkungan masyarakat di sekitarnya. Karena sifat anak yang tidak atau belum berdaya itu tentu belum dapat menolong dirinya sendiri yang tidak lain kepada kedua orang tuanya. Namun ada yang menguntungkan dari hubungan anak dengan oang tuanya, yaitu anak dapat mengembangkan  potensi yang ada pada dirinya karena ia mengalami latihan dan bimbingan dari orang tua. Kepada manusia Allah memberi kelebihan struktur dasar, supaya hidupnya dibina atas dasar norma-norma dan kode etik di dalam membentuk hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.[108]
Setiap anak memiliki bakat, kemampuan serta potensi yang perlu dikembangkan oleh orang tua. Bakat anak perlu dipupuk sehingga setelah ia dewasa dapat melakukan tugas yang sesuai dengan baktnya itu. Demikian pula halnya dengan kemampuan  yang ada pada diri anak, setiap orang tua yang bijaksana akan memperhatikan kemampuan yang dimiliki anaknya untuk kemudian  mengarahkan dan membinanya sehingga kemampuan itu dapat berguna bagi anak. Setiap anak pada dasarnya memiliki kesiapan untuk menerima, diberi pemahaman  dan menyerap pengetahuan, itu terbukti dengan kebiasaan anak bertanya kepada orang tuanya bila menemukan sesuatu yang belum diketahui dan hal lain yang mengarah kepada masalah itu.
c.    Orang Tua Pembina Keluarga
Dilihat dari status  anak dan orang tua secara struktural, jelas orang tua dalam setiap keluarga berperan sebagai pemimpin, semenrtara anak adalah yang dipimpin. Pemimpin memiliki tanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa baik burukbya suatu keluarga akan banyak bergantung kepada bagaimanakah kepemimpinan orang tua dalam keluarga. Orang tua sebagai pemimpin dalam lingkungan keluarga memilki kewajiban untuk memenuhi hak-hak yang dipimpinnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits sebagai berikut:
Artinya : kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah memberi nama yang baik, membaguskan akhlaknya, mengajar baca tulis, mengajar berenang, mengajar memanah atau menmbak. Memberi makan yang halal, dan menjodohkannya bila telah dewasa dan orang tuanya mampu.[109]
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga, tentu saja setiap orang tua perlu mengamalkan dan menerapkan perintah di atas sehingga anak memiliki nama yang baik, enak dipanggil, senang yang dipanggil, dan memiliki makna. Demikian pula halnya dalam membina prilaku atau akhlak, setiap orang tua berkewajiban untuk membina akhlak anak-anaknya sehingga dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat ia akan mampu berprilaku sesuai dengan norma-norma ajaran Islam. Keadaan anak yang masih memerlukan pembinaan menuntut pembinaan intensif dari orang tua.

a.       Orientasi Pendidikan dari Orang Tua Kepada Anaknya
Pendidikan yang dilkaukan oleh orang tua terhadap setiap anak, dilihat dari sudut pandang ajaran Islam, tiada lain diorientasikan kepada hal-hal sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a.    Mengharap Ridha Allah
Tujuan yang hakiki dari hidup muslim adalah mendapatkan keridhaan Allah swt., Menurut Hamka,[110] ridha Allah mestilah menjadi tujuan dari semua aktivitas manusia, sehingga daripadanya ia akan rela melakukan perintah serta menajuhkan diri dari apa-apa yang dilarang-Nya. Bila tujuan hidupnya hanya mengejar keuntungan di dunia saja, maka bimbingan agama kepada anak-anak kurang begitu penting. Tetapi bila tujuan hidupnya adalah meliputi kebahagiaan di dunia dan di akhirat, demi keridhaan Allah, maka bimbingan agama kepada anak merupakan suatu hal sangat penting. Dan tentu saja tujuan bimbingan agama kepada anak, kita arahkan kepada upaya untuk mencapai ridha Allah.
Membimbing anak dalam masalah agama merupakan perintah Allah. Artinya, Allah akan ridha melihat hambanya membina anak sebagai amanah dengan cara yang benar, yakni sesuai dengan ketentuan Islam. Bila tujuan membimbing anak bukan didasarkan kepada keinginan mendapat ridha Allah, maka orang tersebut rugi hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 85.
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam  maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhir termasuk orang-orang yang rugi.
b.    Memberi Bekal Hidup
Telah maklum bagi orang Islam bahwa anak adalah amanah Allah. Artinya, tidaklah ringan beban orang tua yang telah mendapatkan amanah dari Allah it. Anak sebagai barang amanah harus dipelihara dan dirawat sesuai dengan pesan dari pihak yang memberi amanah. Yang dalam hal ini adalah Allah. Perputaran zaman yang menyertai kehidupan setiap manusia, membawa konsekuensi tersendiri tanggung jawab orang tua dalam mebina anak sebagai amanah Allah. Bimbingan yang diberikan  oleh orang tua kepada anak-anak haruslah berorientasi kepada upaya memberikan bekal hidup, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat.Anak-anak perlu diberi pengetahuan, dibimbing dan diarahkan hidupnya, karena  mereka akan menghadapi suatu zaman yang berbeda dengan zaman orang tuanya. Sebagaimana dalam hadits : Artinya : Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu dijadikan  untuk menghadapi zaman yang sama sekali berbeda dengan  zamanmu[111].
Berdasarkan hadits tersebut, maka menjadi jelas bahwa mendidik, membina dan mengarahkan anah harus diorientasikan pada upaya memberi bekal hidup untuk menghadapi masa yang akan datang. Sejalan dengan  pekembangan zaman, maka yang perlu dibekalkan kepada anak-anak adalah iman  dan ilmu.
Allah mengajarkan kepada manusia bahwa bekal hidup di masa mendatang harus diperhatikan, sebagaimana diterangkan dalam al-Quran surat  an-nisa ayat 9 sebagai berikut :
Artinya : Dan hendaklah kamu takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan  dibelakang mereka anak-anak  yang lemah, yang mereka itu mengkhawatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[112]
Berdasarkan ayat tersebut, setiap generasi perlu merasa khawatir akan siksa Allah, jika mereka meninggalan anak-anak yang lemah, baik lemah iman, lemah ekonomi maupun lemah pengetahuannya. Ketiga kelemahan tersebut dapat menjerumuskan manusia kepada kejahatan, yang tentunya tidak saja merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan orang lain.
c.    Membentuk Pribadi Anak yang Shaleh
Bagi umat Isam, idealnya setiap orang tua yang telah memiliki anak, mengharapkan putra putrinya menjadi anak shaleh. Hal demikian sangat wajar, karena anak shaleh dapat menjungjung tinggi nama baik orang tuanya. Ia merupakan hiasan rumah tangga . Dengan demikian bimbingan yang diberikan kepada  mereka harus diupayakan dalam rangka membentuk anak yang shaleh. Anak yang shaleh akan senantiasa memberikan kebaikan kepada kedusa orang tuanya di dunia  mapupun di akhirat, sebagaimana diterangkan dalam hadits. Artinya: Apabila anak Adam telah meninggalkan dunia, maka hapuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.[113]
Karena anak yang shlaeh akan memberikan manfaat selagi orang tua hidup dan setelah matinya, maka setiap orang tua idealnya selalu mengharapkan anak yang shaleh. Terbentuknya anak yang shaleh salah satunya adalah melalui pembinaan agama. Jadi sangat wajar jika pembinaan orang tua terhadap anaknya diorientasikan kepada pembentukan anak yang shaleh.
b.      Pola Komunikasi Edukatif dalam Mendidik Anak
Hubungan dalam pendidikan sebagian besar berjalan dalam pola hubungan langsung. Demikian pula dalam komunikasi pendidikan. Komunikasi pendidikan merupakan bagian dari komunikasi interpersonal yang dipengaruhi oleh komponen persepsi, konsep diri, atraksi, dan hubungan. Dan  pola komunikasi pendidikan akan dipengaruhi pula oleh struktur pendidikan itu sendiri.
Pola-pola komunikasi pendidikan dapat dikelompokkan pada komunikasi formal, komunikasi semi formal dan komunikasi non formal.
a.       Pola Komunikasi Formal
Yang dimaksud dengan pola komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi untuk membicarakan hal-hal yang bersifat prinsip dalam pendidikan yakni dalam proses belajar mengajar, dilakukan dalam waktu tertentu, tempat tertentu, dan menggunakan cara-cara tertentu yang lazim dalam sebuah pendidikan.[114] Dalam hal ini dapat dicontohkan saat orang tua memberikan petuah kepada ana-anaknya secara bersama dengan anak lain atau anggota keluarga lainnya. Dalam keadaan seperti ini komunikasi mengambil pola kelompok, di mana tahapannya adalah sebagai berikut:
Kebergantungan pada otoritas. Pada umumnya pemegang otoritas dalam sebuah pendidikan keluarga adalah suami atau ayah dari anak-anak. Keputusan-putusan yang diambil oleh pemegang otoritas menjadi dasar pemecahan masalah yang dihadapi dan informasi atau pesan dari pemegang otoritas menjadi semacam aturan yang mesti ditaati.
Kebergantungan satu sama lain. Pada tahap berikutnya, setelah disadari adanya kelebihan dan kekurangan dalam diri semua angota pendidikan, maka akan muncul kebergantungan satu sama lain melalui keterbukaan interpersonal.
b.      Pola Komuniasi Semiformal
Dalam pola komuniasi semacam ini, baik masalah, situasi dan waktu penyampaian pesan dari komuniktor kepada komunikate tidak dalam kondisi yang tertentu, tetapi isi pesan yang disampaikan mungkin saja merupakan hal-hal yang sangat penting untuk mengubah sikap dan tingkah laku, memberikan pengertian, menggugah minat, dan menumbuhkan harapan-harapan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung kepada pokok pesan atau menggunakan variasi penyampaian. Yang penting diperhatikan disini adalah sampainya pesan/informasi secara benar kepada pihak komunikate.
Dalam kehidupan nyata di keluarga dapat dicontohkan, bila seorang ayah sambil duduk-duduk di ruang makan mengingatkan kepada anaknya akan pentingnya belajar dengan sungguh-sungguh, menceritakan pengalaman hidupnya, dan menyampaikan harapan-harapan dirinya kepada mereka. Metode untuk komunikasi semi formal misalnya bertanya kepada anak tentang suatu masalah, berdiskusi tentang suatu masalah yang spontan tetapi mengandung faidah, bercerita dan sebagainya.
c.       Pola Komunikasi Nonformal
Pada pola komukasi yang non formal, baik waktu maupun tempatnya sama sekali tidak direncanakan. Namun demikian, isi pesan yang disampaikan dapat saja hal-hal yang sangat penting bagi pendidikan. Misalnya pada saat bermain, liburan, pada waktu-waktu senggang yang pelaksanaan komunikasinya secara langsung atau tiba-tiba, tidak melalui persiapan. Hal-hal yang dipesankan bukan merupakan hal yang prinsip dalam pempolaan sikap, minat dan pribadi peserta didik.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dengan anak usia anak adalah komunikasi yang benar, tepat pada sasaran. Efektivitas komunikasi ditentukan oleh beberapa faktor. Antara lain komunkator, komunikate, dan media yang digunakan untuk berkomunikasi.
Dan ada beberapa hal yang dapat menghambat efektivitas komunikasi, seperti hambatan psikologis, hambatan kultural, dan hambatan lingkungan. Hambatan-hambatan ini dalam komunikasi dikenal dengan istilah  barriers atau noises.
Secara umum, komunikasi dikatakan efektif apabila ada kesamaan; pesan dari sumber pesan yang disampaikan dengan menggunakan media kepada komunikate, sama dengan pesan yang diterima komunikate dari sumber pesan (komunikator). Dalam pola sederhana proses pesan yang efektif dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Oval Callout: A
Oval Callout: A
 




Oval Callout: A                                                                                          

Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani dan sebagai penyebab berkenalannya dengan dunia luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh oleh sikap terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Perasaan anak kepada orang tuanya sebenarnya sangat kompleks, ia adalah campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang selalu melakukan interaksi, pertentangan dan memuncak pada umur-umur tertentu.[115]
Anak yang merasakan komunikasi harmonis di lingkungan pendidikannya, ia berkesempatan untuk berpikir logis, dan mengkritik pendapat-pendapat yang tidak masuk akal. Perkembangan anak ke arah berpikir logis juga mempengaruhi pola komunikasi yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan.
Secara lebih mendalam tentang komunikasi yang efektif antara orang tua dengan anak usia peserta didik,  dapat dikaji dari indikator a) Menimbulkan pengertian; b) Menimbulkan Kesenangan; c) Menimbulkan pengaruh pada sikap; d) Menimbulkan hubungan yang makin baik; e) Menimbulkan Tindakan
Masing-masing indikasi komunikasi edukatif tersebut dapat dijelaskan secara lebih rinci pada uraian berikut ini.
a.       Menimbulkan Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa komunikasi yang efektif itu adalah timbulnya pengertian pada komunikate tentang pesan yang disampaikan oleh komunikator melalui media yang digunakan. Kita pahami bahwa tujuan komunikasi itu untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik, dimana hubungan sosial merupakan kebutuhan sosial, dan kebutuhan sosial ini hanya akan terpenuhi jika terjadi komunikasi interpresonal yang efektif, yakni yang menimbulkan pengertian.[116]
Kegagal pendidikan dalam menciptakan komunikasi yang menimbulkan pengertian tergolong kegagalan primer. Agar tidak terjadi kegagalan dalam komunikasi interpersonal dan supaya tetap survival dalam bermasyarakat, maka setiap individu harus terampil memahami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal, seperti persepsi dan hubungan interpersonal. Sebaliknya, komunikasi yang tidak menimbulkan pengertian pada komunikan (komunakator dan komunikate), maka tergolong komunikasi yang tidak efektif).
Dalam hubungan pendidikan adakalanya pesan yang disampaikan oleh orang tua atau pesan yang disampaikan oleh anggota pendidikan tidak menimbulkan pengertian pada pihak lain. Misalnya orang tua menyampaikan kepada peserta didiknya agar bersikap baik, tidak berbohong, tetapi anak tetap berperilaku tidak baik. Adakalanya juga peserta didik, dengan perilaku-perilakunya menyampaikan pesan kepada orang tua, tetapi orang tua tidak respon terhadap perilaku anak tersebut. dalam keadaan seperti ini maka terjadi komunikasi yang tidak efektif.
Ditinjau dari sumber ajaran Islam, komunikasi yang menimbulkan pengertian itu adalah komunikasi yang menimbulkan kepatuhan atas hal yang menjadi isi pesan. Hal ini tersirat dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 9 sebagai berikut:
 



Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka peserta didik-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.[117]
Ucapan yang benar mengandung makna ucapan yang dapat dimengerti, jelas sasaran, memiliki sumber atau landasan yang kuat, serta dapat dipertangungjawabkan karena mengandung kebenaran, ketegasan dan disampaikan dengan cara-cara yang benar.

b.      Menimbulkan Kesenangan
Ciri lain dari komunikasi yang efektif adalah menimbulkan kesenangan pada kedua belah pihak karena adanya kesamaan pengertian dan kesamaan kepentingan. Dalam kenyataannya, tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan mempola pengertian. Ada perkataan-perkataan dan perbuatan dalam komunikasi yang hanya bertujuan menyenangkan orang lain, seperti ucapan selamat pagi, dan komunikasi lain yang bersifat fatis, yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menyebabkan di antara manusia menjadi akrab dan menyenangkan.[118]
Unsur perasaan senang dalam berkomunikasim perlu diwujudkan agar dalam melaksanakan anak tidak merasa terpaksa. Dengan terlebih dahulu menjelaskan hal yang akan diterima/dijelaskan atau dipesankan  itu adalah untuk kepentingan anak dan kepentingan pendidikan, maka anak yang telah memahami dan mengerti keadaan tersebut umumnya akan melakukan isi pesan dengan senang hati tanpa ada unsur keterpaksaan, mengerjakan perbuatan dengan penuh kegembiraan. Pada sisi lain, informasi yang diberikan oleh orang tua juga disarankan berisi informasi yang menggembirakan.
Hal ini secara ekplisit tercermin dalam ayat Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 25 sebagai berikut.



Artinya: Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.[119]
Menjelaskan manfaat-manfaat berbagai hal yang akan dikomunikasikan, tujuan, dan menjelaskan tata-caranya secara benar akan mempermudah pelaku komunikasi menerima isi pesan dengan senang hati. Hal ini dapat terjadi karena ada keterlibatan diri dari setiap anggota pendidikan secara langsung, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam proses penyelesaian suatu masalah.
c.       Menimbulkan Pengaruh pada Sikap
Karakteristik komunikasi yang efektif dalam lingkungan pendidikan salah satunya adalah menimbulkan pengaruh yang positif pada diri komunikan. Ditinjau dari sumber ajaran Islam, tentang komunikasi yang berpengaruh pada sikap ini erat kaitannya dengan Al-Quran surat An-Nur ayat 51 sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.[120]
Perkataan "kami mendengar dan kami patuh" dari orang-orang mukmin itu karena di dalam dirinya telah memiliki pengertian bahwa Allah dan Rosul-Nya adalah benar sehingga apa yang disampaikan ditaati dan dipatuhi, ini adalah wujud komunikasi yang mempengaruhi sikap.
d.      Menimbulkan Hubungan Sosial yang Baik
Komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya hubungan yang baik di antara komunikator dengan komunikan, sehingga dapat menimbulkan interaksi yang positif sebagai kebutuhan social. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta kasih sayang (effection). Secara singkat, kita ingin bergabung dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, ingin dicintai dan ingin mencintai.[121]
Hubungan sosial yang baik sebagai hasil komunikasi yang efektif antara lain terwujud dalam tata pergaulan bermasyarakat yang saling menolong antara satu sama lain, menghargai pendapat, serta toleran terhadap perbedaan.
e.       Melakukan Tindakan
Persuasi sebagai salah satu tujuan komunikasi tidak lain dari upaya mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuatu yang dikehendaki. Mempengaruhi orang lain untuk bertindak memang sangat sulit, tetapi efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate. Indikator ini dikategorikan paling sulit, tetapi paling penting.
Untuk menimbulkan tindakan kita harus berhasil menanamkan pengertian, mempola dan mengubah sikap, dan menimbulkan hubungan yang baik, barulah akan terlaksana tindakan-tindakan. Jadi tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Konsep ini dapat diterapkan baik dalam komunikasi di sekolah, dalam rumah tangga maupun dalam komunikasi sosial bermasyarakat. Efektivitas dari komunikasi semacam ini dapat dirasakan sehingga akan mempola tindakan-tindakan positif, mempola kesadaran diri, dan mempola hubungan yang baik dengan sesama manusia.





DAFTAR REFERENSI
1.      Muhammad Saleh Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat  dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2 November 2010), h. 369.
3.      Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia, 2013), h. 2.
4.      MarzukiMemahami Ketentuan Poligami dalam Hukum Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 2012), h. 1
5.      Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). 2013. Hal 5
6.      Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. (Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h. 115.
7.      Rafid Abbas. Poligami Dalam Kajian Nash  Al-Qur’an  dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1  Maret 2012), h. 140.
8.      Arif Rohman. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Studi in Indonesia. (International Journal of Humanities and Social Science. ISSN (www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
9.      Heater Johnson. There are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future. (William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol. 11), p. 575.
10.  Abdul Gani Abdul Rohman Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet and Wisdom of Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
11.  Abu Salma Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat Syariat dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu salma. 2007), h. 10-13.
12.  Ahmad H. Sheriff. Why Polygamy is Allowed in Islam. (World Organization for Islamic Services Tehran. Iran. Revised Edition, 1977). P. 10-12..
13.  Muhammad Rasyid Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj. Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h. 2.
14.  Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic Law. (Islam24.hours.yolasite.com/ resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.), p 3.
15.  Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 197-199.
16.  Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
17.       Ibid. h. 115.
18.  Imam Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy Ahlul Hadits. 774 h. www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
19.  Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media, Bandung, 2005), h. 7.
20.  Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
21.  Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 120.
22.  Opcit. Ibnu Katsir, h. 34.
23.  Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 56.
24.  Lajnah Min Ulama Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab. 62-63
25.  Al-Hamdani.  Risalah Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam. Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
26.  Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. (Rajawali Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
27.  Abu Aminah Bilal Philips and Jameelah Jones. Polygamy in Islam. (Tawheed Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
28.  Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
29.  Imam Bukhari. Matnu Al-Bukhori (Juz 3. Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa auladuhu. Darul Kitab Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
30.  Abi Abbas Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari,  (Darul Fiqr, jilid 11), h.150, hadits no: 4574.
31.  Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
32.  Ibid. 180
33.  Ibid. 181
34.  Opcit. Al-Hamdani, h. 79.
35.  http://www.womeninislam.ws. Polygami in Islam, p. 3
36.  Opcit. Al-Marogi, h. 182
37.  Maulana Wahiduddin Khan. Polygamy and Islam. (Da’wah booklets), h. 4.
38.  Ebookgratis. Poligami Bukti Keadilan Hukum Allah. (www.manisnyaiman.com. 2010), h. 7.
39.  Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
40.  Opcit. Rasyid Ridha, h. 72
41.  Ibid.
42.  Locit. Rafid Abbas, h. 146.
43.  Syeh Abdul Aziz bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah Muhammad Iqbal A. Gazali. Islamhouse. 2010), h. 1- 5.
44.  muslimahzone.arrahmah.com. Hak-hak Istri dalam Berpoligami. (Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h. 1-4
45.  Ali Alhamidy. Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif, 1983), 112- 115.
46.  UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2)
47.  Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57. Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
48.  Quraish Shihab. M. Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h.
49.  Lia Noviana. Persoalan Praktek Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2012.
51.  ibid
52.  Abdurrachman (1995), Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta.: Akademika Presindo
53.  Khadijah Shaleh. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
54.  Opcit. Alhamdani, h. 79-83.Lihat juga Ahmad H. Sheriff. H. 9 – 24.
55.  Opcit. Muhammad Rasyid Ridha, h.58. Lihat juga Ali Al-Hamidy, h. 113.
56.  Opcit. Ahmad Rofiq, h. 171.
57.  Opcit. Ali Al-Hamidy, h. 113
58.  Opcit. Rasyid Ridha, h. 59
59.  Soekanto, Sorjono. Pengantar Sosiologi, Jakarta : Rajawali. 1990. Hal. 1
60.  William J. Goode, 1985. Sosiologi Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
61.  Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1987), h. 346
62.  Ishak Solih. Manajemen Rumah Tangga. (Bandung: Angkasa, 1983), 11-12.
63.  MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Albabeta, 2001), h. 5-13.
64.  Penyunting Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 7-13.
65.  Op Cit. Hasan Langgulung.
66.  Abubakar Muhammad. Membangun Manusia Seutuhnya menurut Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
67.  Loc. Cit Al-Quran dan Terjemahnya.
68.  Ibid
69.  Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia. 1987), h. 24.
70.  Op Cit.
71.  Loc. Cit.
72.  Ibid.
73.  Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 56.
74.  Loc. Cit. Penyunting Jalaludin Rahmat. (Djuju Sudjana. Peran Kuluarga di Lingkungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 20-26.
75.  Op. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya.
76.  Op cit. Melly, h. 12
77.  Ibid. Melly, 11
78.  Op cit. Djuju, 21
79.  Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. (Jakarta: Logos. 1999), h. 5.
80.  Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
81.  Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
82.  Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
83.  Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
84.  William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
85.  Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
86.  M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
87.  Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
88.  Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
89.  Ibid.
90.  Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
91.  Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
92.  Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
93.  Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), h. 107.
94.  Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), h 84.
95.  [1] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: Dipanegoro, 1992), h. 162.
96.  Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 59.
97.  Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
98.  Baharuddin. Pendidikan Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
99.  Op Cit. Depag RI, 1984:1041
100. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
101. Ibnu Mustafa. Keluarga Islam Menyongsong Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
102. Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.
103. Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi tarbiyatul athfal, Sihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
104. Umar Hasyim. Anak Shaleh seri II.Cara Mendidik Anak dalam Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991), h. 22
105. H.R. Bazuri, dalam Umar hasyim, 1991), h. 24
106. Masy’ari Anwar. 1986. Membentuk Pribadi Muslim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1982), h. 14
107. Ibid.
108. Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya. (Bandung: Al-Ma’arif. 1986), h. 204.
109. Opcit. Umar Hasyim, h. 148
110. Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 201.
111. Loc. Cit. Umar Hasyim.
112. Loc. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya, h. 116.
113. Ahmad Isya 'Asyur, Hak dan Kewajiban Anak. (Birul Walidain Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988), h.  35
114. Op Cit. Ramayulis.
115. Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 1989), h. 38.
116. Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
117. Opcit.
118. Loc. Cit. Jalaludin.
119. Ibid
120. Ibid.
121. Op Cit. Jalaludin.




REFERENSI BAHASA ASING
Abdul Gani Abdul Rohman Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet and Wisdom of Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
Abi Abbas Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari,  (Darul Fiqr, jilid 11), h.150, hadits no: 4574.
Abu Aminah Bilal Philips and Jameelah Jones. Polygamy in Islam. (Tawheed Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
Ahmad H. Sheriff. Why Polygamy is Allowed in Islam. (World Organization for Islamic Services Tehran. Iran. Revised Edition, 1977). P. 10-12..
Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
Arif Rohman. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Study in Indonesia. Journal of Humanities and Social Science. ISSN (www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic Law. (Islam24.hours.yolasite.com/ resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.), p 3.
Heater Johnson. There are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future. (William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol. 11), p. 575.
Imam Bukhari. Matnu Al-Bukhori (Juz 3. Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa auladuhu. Darul Kitab Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
Imam Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy Ahlul Hadits. 774 h. www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
Lajnah Min Ulama Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab. 62-63
Maulana Wahiduddin Khan. Polygamy and Islam. (Da’wah booklets), h. 4.




REFERENSI BAHASA INDONESIA
Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: Dipanegoro, 1992), h. 162.
Abdurrachman (1995), Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta.: Akademika Presindo
Abu Salma Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat Syariat dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu salma. 2007), h. 10-13.
Abubakar Muhammad. Membangun Manusia Seutuhnya menurut Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
Ahmad Isya 'Asyur, Hak dan Kewajiban Anak. (Birul Walidain Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988), h.  35
Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. (Rajawali Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
Al-Hamdani.  Risalah Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam. Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
Ali Alhamidy. Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif, 1983), 112- 115.
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), h. 107.
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. (Jakarta: Logos. 1999), h. 5.
Baharuddin. Pendidikan Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
Ebookgratis. Poligami Bukti Keadilan Hukum Allah. (www.manisnyaiman.com. 2010), h. 7.
H.R. Bazuri, dalam Umar hasyim, 1991), h. 24
Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 201.
Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia, 2013), h. 2.
Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). 2013. Hal 5
Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1987), h. 346
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 59.
Ibnu Mustafa. Keluarga Islam Menyongsong Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
Ishak Solih. Manajemen Rumah Tangga. (Bandung: Angkasa, 1983), 11-12.
Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi tarbiyatul athfal, Sihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
Khadijah Shaleh. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
Lia Noviana. Persoalan Praktek Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2012.
M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
MarzukiMemahami Ketentuan Poligami dalam Hukum Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 2012), h. 1
Masy’ari Anwar. 1986. Membentuk Pribadi Muslim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1982), h. 14
MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Albabeta, 2001), h. 5-13.
Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
Muhammad Rasyid Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj. Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h. 2.
Muhammad Saleh Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat  dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2 November 2010), h. 369.
muslimahzone.arrahmah.com. Hak-hak Istri dalam Berpoligami. (Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h. 1-4
Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
Penyunting Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 7-13.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57. Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya. (Bandung: Al-Ma’arif. 1986), h. 204.
Quraish Shihab. M. Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h.
Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 197-199.
Rafid Abbas. Poligami Dalam Kajian Nash  Al-Qur’an  dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1  Maret 2012), h. 140.
Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia. 1987), h. 24.
Soekanto, Sorjono. Pengantar Sosiologi, Jakarta : Rajawali. 1990. Hal. 1
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.
Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), h 84.
Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
Syeh Abdul Aziz bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah Muhammad Iqbal A. Gazali. Islamhouse. 2010), h. 1- 5.
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. (Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h. 115.
Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media, Bandung, 2005), h. 7.
Umar Hasyim. Anak Shaleh seri II.Cara Mendidik Anak dalam Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991), h. 22
UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2)
William J. Goode, 1985. Sosiologi Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 56.
Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 1989), h. 38.





[1] Muhammad Saleh Ridwan. Poligami di Indonesia. (Dimuat  dalam Jurnal Al-Risalah Volume 10 Nomor 2 November 2010), h. 369.
[3] Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia, 2013), h. 2.
[4] MarzukiMemahami Ketentuan Poligami dalam Hukum Islam. (Junal Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. 2012), h. 1
[5] Hanafi Martadikusumah, Stigma Poligami dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia). 2013. Hal 5
[6] Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. (Departemen Agama RI. Jakarta. 1984), h. 115.
[7] Rafid Abbas. Poligami Dalam Kajian Nash  Al-Qur’an  dan Hadits. (Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1  Maret 2012), h. 140.
[8] Arif Rohman. Reinterpret Polygamy in Islam: A Case Studi in Indonesia. (International Journal of Humanities and Social Science. ISSN (www,ijhssi.org. volume 2 Issue 10. October. 2013), p. 69.
[9] Heater Johnson. There are Worse Thing Than Being Aline: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future. (William & Mary Jurnal of Women and the Law. Vol. 11), p. 575.
[10]Abdul Gani Abdul Rohman Muhammad. Wives of Mohammad the Prophet and Wisdom of Poligamy.(Al-Azhar. Kairo. Mesir. 1982), h. 29.
[11] Abu Salma Al-Atsari. Poligami Dihujat Jawaban Rasional Bagi Para Penghujat Syariat dan Sunnah Nabi: Poligami.(Maktabah Abu Salma Al-Atsari. http://dear.to/abu salma. 2007), h. 10-13.
[12] Ahmad H. Sheriff. Why Polygamy is Allowed in Islam. (World Organization for Islamic Services Tehran. Iran. Revised Edition, 1977). P. 10-12..
[13] Muhammad Rasyid Ridha. Nida’ Li al-Latif. (Terj. Apip Muhmmad. Panggilan Islam terhadap Kaum Wanita. Bandung: Pustaka, 1986), h. 2.
[14] Gamal A. Badawi. Polygamy in Islamic Law. (Islam24.hours.yolasite.com/ resources/Polygamy. in.Ilsmic.law.pdf.), p 3.
[15] Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 197-199.
[16] Tim Penerjemah Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya, (Departemen Agama RI. Jakarta. 1997), h. 429.
[17]Ibid. h. 115.
[18] Imam Hafidz Imaduddin Abu al-Fadai Ismail ibn Katsir Al-Qurasy Addimasyiqi Tasfir Al-Quran Al-‘Adiim.( Juz Tsani. Multaqy Ahlul Hadits. 774 h. www.ahlalhdeeth.com.), h. 4.
[19] Tim Redaksi Fokus Media. Kompilasi Hukum Islam. (Fokus Media, Bandung, 2005), h. 7.
[20] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 40.
[21] Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 120.
[22] Opcit. Ibnu Katsir, h. 34.
[23] Locit Al-Quran dan Terjemahnya, h. 56.
[24] Lajnah Min Ulama Al-Azhar. Tafsir Al-Muntakhab. 62-63
[25] Al-Hamdani.  Risalah Al-Nikah (Terjemah Agus Salim. Risalah Nikah Hukum Perkawinan dalam Ilsam. Pustaka Amani. Jakarta, 1989), h. 19.
[26] Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. (Rajawali Press. Jakarta. 1997), h. 171 – 172.
[27] Abu Aminah Bilal Philips and Jameelah Jones. Polygamy in Islam. (Tawheed Publications. Buraiydah. 1999),p. 33-46.
[28] Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
[29] Imam Bukhari. Matnu Al-Bukhori (Juz 3. Maktabah Syeh Muhammad Ibnu Ahmad bin Nabhaan wa auladuhu. Darul Kitab Al-Islami. Surabaya, t.t.), h. 262-263.
[30] Abi Abbas Shihabudin Ahmad Al-Qisthalani. Irsyadu Syaary Lisyarhi Shahih Bukhari,  (Darul Fiqr, jilid 11), h.150, hadits no: 4574.
[31] Ahmad Mustafa Al-Marogy. Tafsir Al-Marogi. (Jilid 2. Darul Fiqr. Mesir), h. 180.
[32] Ibid. 180
[33] Ibid. 181
[34] Opcit. Al-Hamdani, h. 79.
[35] http://www.womeninislam.ws. Polygami in Islam, p. 3
[36] Opcit. Al-Marogi, h. 182
[37] Maulana Wahiduddin Khan. Polygamy and Islam. (Da’wah booklets), h. 4.
[38] Ebookgratis. Poligami Bukti Keadilan Hukum Allah. (www.manisnyaiman.com. 2010), h. 7.
[39] Opcit. Al-Quran dan Terjemahnya.
[40] Opcit. Rasyid Ridha, h. 72
[41] Ibid.
[42] Locit. Rafid Abbas, h. 146.
[43] Syeh Abdul Aziz bin Baz. Hukum Poligami. (Terjemah Muhammad Iqbal A. Gazali. Islamhouse. 2010), h. 1- 5.
[44] muslimahzone.arrahmah.com. Hak-hak Istri dalam Berpoligami. (Selasa, 22 Rabiul Akhir 1434), h. 1-4
[45] Ali Alhamidy. Islam dan Perkawinan. (Bandung, Al-Ma’arif, 1983), 112- 115.
[46] UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2)
[47] Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57. Pasal 5 Undang-undang Perkawinan.
[48] Quraish Shihab. M. Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h.
[49] Lia Noviana. Persoalan Praktek Poligamai dalam Masyarakat Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2012.
[51] ibid
[52] Abdurrachman (1995), Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta.: Akademika Presindo
[53] Khadijah Shaleh. Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam. (Kualalumpur. Darul Fikr, 1988), h. 7
[54] Opcit. Alhamdani, h. 79-83.Lihat juga Ahmad H. Sheriff. H. 9 – 24.
[55] Opcit. Muhammad Rasyid Ridha, h.58. Lihat juga Ali Al-Hamidy, h. 113.
[56] Opcit. Ahmad Rofiq, h. 171.
[57] Opcit. Ali Al-Hamidy, h. 113
[58] Opcit. Rasyid Ridha, h. 59
[59] Soekanto, Sorjono. Pengantar Sosiologi, Jakarta : Rajawali. 1990. Hal. 1
[60] William J. Goode, 1985. Sosiologi Keluarga Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 7
[61] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1987), h. 346
[62] Ishak Solih. Manajemen Rumah Tangga. (Bandung: Angkasa, 1983), 11-12.
[63] MI. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Albabeta, 2001), h. 5-13.
[64] Penyunting Jalaludin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja. Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Melly Sri Sulastri Rifai. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 7-13.
[65] Op Cit. Hasan Langgulung.
[66] Abubakar Muhammad. Membangun Manusia Seutuhnya menurut Al-Quran. (Surabaya: Al-Ikhlas,t.t.), h. 242.
[67] Loc. Cit Al-Quran dan Terjemahnya.
[68] Ibid
[69] Ramayulis. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia. 1987), h. 24.
[70] Op Cit.
[71] Loc. Cit.
[72] Ibid.
[73] Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 56.
[74] Loc. Cit. Penyunting Jalaludin Rahmat. (Djuju Sudjana. Peran Kuluarga di Lingkungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 20-26.
[75] Op. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya.
[76] Op cit. Melly, h. 12
[77] Ibid. Melly, 11
[78] Op cit. Djuju, 21
[79] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru. (Jakarta: Logos. 1999), h. 5.
[80] Syed Naquib Al. Attas. Konsep Pendidikan Islam. (Mizan, Bandung, 1984), hal. 51.
[81] Hasan Langguling, Asas-Asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), hlm. 3
[82] Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 675.
[83] Soerjono Soekanto. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, remaja dan Anak. (Jakarta:Ribeka Cipta, 1990), hlm. 1.
[84] William J. Goode. Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 7.
[85] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 346.
[86] M.I. Soelaeman. Pendidikan dalam Keluarga. (Bandung: Alfabeta, 2001), hlm. 9
[87] Anonimous. UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Nuansa Aulia, 2003), hlm. 3.
[88] Oemar M. Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 399
[89] Ibid.
[90] Muhammad Qutb. Sistem Pendidikan Islam (Bandung: AL-Ma’arif, 1980), hal. 14
[91] Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 55.
[92] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 64.
[93] Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka, 1987), h. 107.
[94] Syed M. Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1984), h 84.
[95] Abdurahman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: Dipanegoro, 1992), h. 162.
[96] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 59.
[97] Athiyah Al-Abrasyi. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 1
[98] Baharuddin. Pendidikan Humanistik. (Jogjakarta: Arruz Media. 2009), h. 170-179.
[99] Op Cit. Depag RI, 1984:1041
[100] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 46.
[101] Ibnu Mustafa. Keluarga Islam Menyongsong Abad 21. (Bandung: Al-Bayan, 1993), 87.
[102] Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.t.), 48.
[103] Jaudah Muhammad Awwad. Mendidik Anak Secara Islami. (terjemah. Minhajul Islam fi tarbiyatul athfal, Sihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 29.
[104] Umar Hasyim. Anak Shaleh seri II.Cara Mendidik Anak dalam Islam. (Surabaya: Bina Ilmu,1991), h. 22
[105] H.R. Bazuri, dalam Umar hasyim, 1991), h. 24
[106] Masy’ari Anwar. 1986. Membentuk Pribadi Muslim, (Bandung : Al-Ma’arif, 1982), h. 14
[107] Ibid.
[108] Qomarulhadi. Membangun Insan Seutuhnya. (Bandung: Al-Ma’arif. 1986), h. 204.
[109] Opcit. Umar Hasyim, h. 148
[110] Hamka. Tasauf Modern. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 201.
[111] Loc. Cit. Umar Hasyim.
[112] Loc. Cit. Al-Quran dan Terjemahnya, h. 116.
[113] Ahmad Isya 'Asyur, Hak dan Kewajiban Anak. (Birul Walidain Hukukul Aba Wa Abna Wa Arham, Terj. Bandung: Dipanegoro. 1988), h.  35
[114] Op Cit. Ramayulis.
[115] Zakiyah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang. 1989), h. 38.
[116] Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000), h. 175.
[117] Opcit.
[118] Loc. Cit. Jalaludin.
[119] Ibid
[120] Ibid.
[121] Op Cit. Jalaludin.