Jumat, 21 Maret 2014

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

PENDIDIKAN ISLAM


A. Landasan Teori
1. Hakikat Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata pedagogia (Yunani) yang terdiri dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing) yang menunjuk kepada seorang pelayan pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pendidikan berasal dari bahasa Latin, educare yang berarti membimbing[1] Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.[2]
Para ahli berbeda satu sama lain dalam memberikan arti pendidikan. Menurut Prayitno, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3] Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar[4]  mengartikan pendidikan sebagai memanusiakan manusia. Proses ini terdiri dari dua dimensi utama, yaitu dimensi statis dan dimensi dinamis. Dimensi statis adalah proses transfer nilai-nilai yang sudah ada dari generasi yang memilikinya kepada generasi baru. Adapun dimensi dinamis yaitu transfer dari berbagai bentuk karya, rasa, dan karsa dari budaya di mana proses pendidikan itu terjadi.
Adapun Sumadi Suryabrata[5] mendefinisikan pendidikan sebagai usaha manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Bila pendidikan dikaitkan dengan ajaran agama, maka ia, sebagaimana dikemukakan M. Arifin[6], diartikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik (jasmaniyah) yang  menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.
Definisi-definisi pendidikan di atas, pada hakikatnya, mengandung makna yang hampir sama. Kesemuanya memberi penekanan bahwa pendidikan dilaksanakan untuk mengantarkan anak didik dalam menghadapi masa depannya.[7] Dengan demikian, pendidikan selalu berorientasi untuk masa depan, dengan tanpa melupakan sejarah dan masa lalu.
Dalam konteks penelitian ini, latar belakang pendidikan juga terkait dengan fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan menurut Allan G. Johnson tidak hanya dilakukan untuk menyiapkan seseorang untuk mencapai pekerjaan yang prestisius; melainkan juga sebagai suatu simbol dari kebudayaan, status serta untuk memperbanyak tenaga kerja.[8]
Pandangan Johnson di atas diperkuat oleh John R. Kelly[9], yang menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya untuk mempersiapkan tenaga kerja, melainkan lebih ditekankan pada upaya mempersiapkan berbagai macam pemenuhan kebutuhan hidup.
Sementara itu, fungsi pendidikan di Indonesia, terutama untuk jenis pendidikan umum dijelaskan oleh Soedijarto sebagai berikut:
1.      fungsi untuk menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang berjiwa Pancasila;
2.      fungsi untuk membekali peserta didik yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya dengan kemampuan dan keterampilan fungsional,
3.      fungsi untuk membekali peserta didik agar dapat melanjutkan pelajarannya.[10]
Pendapat-pendapat di atas pada umumnya menyatakan bahwa pendidikan memiliki fungsi yang amat penting dalam membekali peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada pada dirinya. Kepercayaan pada fungsi pendidikan dengan berbagai perangkatnya itu, selanjutnya mendorong manusia dan masyarakat menyelenggarakan kegiatan pendidikan.[11]
J. Katz  mengidentifikasi perubahan-perubahan positif yang alami peserta didik di lembaga pendidikan: (1) adanya penurunan-penurunan sikap otoriterisme (authoritarianism declines); (2) pertumbuhan-pertumbuhan otonomi (autonomy grows); (3) peningkatan-peningkatan penghargaan diri (self-esteem increases); (4) perluasan-perluasan hubungan (the capacity for relatedness becomes enlarged); (5) pengalaman politik yang lebih matang (greater political sphistication is shown); (6) pertumbuhan-pertumbuhan kapasitas asketis (asthetic capacity grows); and (7) kemampuan siswa dalam menguasai isu-isu teoretis yang lebih luas (students have a broader grasp of theoretical issues).[12]
Hal yang sama dikemukakan oleh Harold R. Bowen yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki pengaruh penting dalam (1) peningkatan pengetahuan dan pengembangan kognitif (increase knowledge and cognitive development); (2) peningkatan hubungan antara pencapaian pendidikan, pengembangan karir, dan pendapatan (increased correlation between educational attainment, career development, and income); (3) peningkatan penemuan diri pribadi dan perubahan-perubahan sikap, konsep diri, nilai-nlai dan perilaku (increased personal self-discovery and changes in attitude, beliefs, self-concept, values, and behavior); dan (4) peningkatan kecakapan praktis siswa, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga (increased practical competence students, especially in the area of family life).[13]
Intinya, hampir semua temuan dalam kajian-kajian atas fungsi-fungsi pendidikan umumnya dan sekolah pada khususnya, menunjukkan tentang adanya peningkatan positif pada peserta didik[14]. Karena adanya penjenjangan pendidikan, di mana masing-masing jenjang pendidikan memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, maka secara teoretis, out put atau lulusan masing-masing dari jenjang pendidikan tersebut juga memiliki kemampuan yang berbeda pula[15].
Ketika menjelaskan tentang berbagai kelebihan yang dimiliki oleh mereka yang telah mengikuti jenjang pendidikan tinggi, dibandingkan dengan mereka yang hanya mengenyam pendidikan dasar dan menengah, A.W. Austin  menyebutkan empat kelebihan: Pertama, adanya peningkatan pengetahuan dan pengembangan kognitif. Pendidikan yang lebih tinggi secara nyata telah meningkatkan tingkat pengetahuan, watak intelektual, kekuatan kognitif peserta didik. Di samping itu, meningkatkan keterampilan verbal, penghayatan estetik, keterbukaan berpikir, dan kesadaran akan pentingnya belajar sepanjang masa. Bahkan, pendidikan tinggi akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik.[16]
Kedua, adanya peningkatan hubungan antara pencapaian pendidikan, pengembangan karir, dan pendapatan. Hubungan antara pencapaian atau tingkat pendidikan dengan pendapatan (income), bagaiamanapun telah diteliti dalam jangka waktu yang lama[17]. Berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang ada, ditemukan adanya hubungan antara prestasi dan pencapaian pendidikan dengan pengembangan karir dan tingkat pendapatan.[18]
Ketiga, peningkatan penemuan diri pribadi dan perubahan-perubahan sikap, konsep diri, nilai-nlai dan perilaku. Pendidikan yang lebih tinggi akan memungkinkan seseorang untuk memiliki kemampuan menemukan diri sendiri (self-discovery) dan konsep diri (self-concept), seperti bakat-bakat (aptitudes), kepentingan-kepentingan (interests), nilai-nilai (values), komitmen-komitmen (commitments), dan aspirasi-aspirasi (aspirations).[19]
Keempat, peningkatan kecakapan praktis, terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga[20]. Kebanyakan pendidikan yang lebih tinggi dipersiapkan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan individual dan dan kemampuan-kemampuan praktis yang dapat digunakan di lingkungan keluarga dan masyarakatnya.[21]
Robert E. Kennedy, Jr.[22] menyebutkan bahwa salah satu nilai penting dari pendidikan adalah untuk membantu seseorang agar memiliki kepribadian yang lengkap, dalam arti memiliki kemampuan berpikir yang mandiri, berprestasi, dan dapat menikmati kebudayaan.
Pendapat-pendapat serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di atas, hampir kesemuanya sepakat bahwa pendidikan yang lebih baik akan berguna bagi pengembangan individu, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik.
2. Konsep Pemikiran Pendidikan
Secara etimologis, kata ”pemikiran” menurut Kamus Bahasa Indonesia disamakan dengan kata pendapat, pikiran, anggapan, pemikiran atau perkiraan[23]. Pemikiran (thinking) telah mulai dikaji sejak zaman Plato dan Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki banyak persamaan dengan hewan. Fitur yang membedakan manusia dari hewan lain adalah rasionalitas, yaitu kemampuan berpikir. Pada abad kesembilan belas, pemikiran di definisikan sebagai satu jaringan ide yang berasosiasi. Definisi ini dapat menjelaskan beberapa jenis pemikiran, tapi tidak semua. John Dewey, 1921, mengemukakan tesis bahwa aktivitas berpikir adalah daya upaya reorganisasi pengalaman dan tingkah laku yang dilaksanakan secara sengaja. Definisi pemikiran yang paling berpengaruh sampai hari ini adalah oleh John Dewey, 1933, di mana ia melihat pemikiran sebagai perilaku menyelesaikan masalah. Konsep Dewey tentang pemikiran menekankan kemungkinan manusia mulai berpikir sebagai daya upaya untuk beradaptasi ke masalah yang sukar.
Dalam pandangan John Mayer[24], pemikiran melibatkan pengelolaan operasi-operasi mental tertentu yang terjadi dalam pikiran atau sistem kognitif seseorang yang bertujuan untuk pemecahan masalah. Selanjutnya Mayer menyatakan bahwa pemikiran adalah pembentukan ide-ide, pembentukan kembali pengalaman dan penyusunan informasi-informasi dalam bentuk tertentu. Menurut Mayer pula, pemikiran merupakan proses luar biasa yang digunakan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah. Pemikiran manusia telah berkembang sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai permasalahan yang sulit. Konsepnya itu menyebabkan para ahli psikologi memberi tekanan yang berlebihan pada pemikiran adaptif dan praktikal. Tujuan berpikir adalah untuk mengumpulkan informasi dan menggunakannya sebaik mungkin. Karena, cara pikiran bekerja untuk menghasilkan corak-pola konsep yang ditetapkan tidak menggunakan sepenuhnya informasi baru, melainkan dengan memodifikasi pola-pola pemikiran lama dan memperbaruinya. Proses pemikiran terjadi ketika konsentrasi daya usaha untuk mencapai sesuatu kesimpulan atau menyelesaikan seputar hal-hal tertentu untuk mendapatkan kesimpulan, usaha itu menggunakan fakultas kognitif untuk melaksanakannya tanpa dipengaruhi oleh emosi. Ada tiga jenis dalam proses keterampilan berpikir ini, di antara ketiga keterampilan ini tujuan utamanya adalah menuju ke arah membuat keputusan dan pemecahan masalah.
Karena masalah pemikiran pendidikan merupakan bagian dari disiplin filsafat pendidikan, maka dipandang perlu untuk meninjau konsep dan hakikat filsafat pendidikan.
Menurut Al-Syaibany[25], filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek­-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.[26]
Sementara John Dewey[27] menyampaikan bahwa filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia. Sementara menurut Thompson (Arifin, 1993: 2), filsafat artinya melihat suatu masalah secara total dengan tanpa ada batas atau implikasinya; ia tidak hanya melihat tujuan, metode atau alat-alatnya, tapi juga meneliti dengan saksama hal-hal yang dimaksud. Keseluruhan masalah yang dipikirkan oleh filosof tersebut merupakan suatu upaya untuk menemukan hakikat masalah, sedangkan suatu hakikat itu dapat dibakukan melalui proses kompromi.
Dalam pandangan Imam Barnadib filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisis filosofis terhadap bidang pendidikan.[28] Adapun menurut seorang ahli filsafat Amerika, Brubachen[29], filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum. Kendati kaitan ini tidak penting, tapi yang terjadi ialah suatu keterpaduan antara pandangan filosofis dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tahap.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Pemikiran pendidikan Islam adalah gagasan, ide, pandangan dalam bidang pendidikan yang dikemukakan oleh para ulama atau sarjana Islam[30]. Pemikiran pendidikan Islam meliputi aspek-aspek yang luas, yang meliputi komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dikenal sekarang ini.[31] Komponen pendidikan Islam merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem pendidikan Islam. Komponen pendidikan Islam berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan Islam, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan Islam.
Dengan demikian pemikiran pendidikan Islam setidaknya meliputi sembilan komponen pemikiran pendidikan Islam, yaitu:
1)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menjadi salah satu komponen pemikiran pendidikan Islam para ulama klasik[32]. Menurut Abdul Fatah Jalal[33], tujuan umum pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Maksud dari menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Al-An’am ayat 156 :
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[34]

Tujuan pendidikan menjadi salah satu komponen pemikiran pendidikan Islam karena tujuan pendidikan amat penting dan strategis bagi pengembangan pendidikan dan pembangunan manusia seutuhnya[35]. Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan[36]. Demikian juga halnya tingkah laku manusia yang bersifat dan bernilai pendidikan. Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh sifat ilmu pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah; norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia. Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwa pandangan hidup manusia menjiwai tingkah laku perbuatan mendidik. Tujuan umum atau tujuan mutakhir pendidikan tergantung pada nilai-nilai atau pandangan hidup tertentu. Pandangan hidup yang menjiwai tingkah laku manusia akan menjiwai tingkah laku pendidikan dan sekaligus akan menentukan tujuan pendidikan manusia.[37]
Abdul Fatah Jalal mengemukakan jenis-jenis tujuan pendidikan terdiri dari tujuan umum, tujuan tak lengkap, tujuan sementara, tujuan kebetulan dan tujuan perantara. Pembagian jenis-jenis tujuan tersebut merupakan tinjauan dari luas dan sempit tujuan yang ingin dicapai.[38]
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, urutan hirarkhis tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari: 1) Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945); 2) Tujuan Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional); 3) Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah); 4) Tujuan kurikuler atau standar kompetensi (pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajran atau kuliah); dan 6) Tujuan instruksional atau kompetensi dasar yang dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus[39]. Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapai guru dalam pembelajaran dikelas, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.[40]
2)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Peserta Didik
Komponen pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah berkenaan dengan peserta didik. Para pakar pendidikan Islam klasik dan kontemporer memberikan perhatian serius terhadap hakikat peserta didik ini.[41] Perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas pada anak usia sekolah saja yang berimplikasi pada pengertian peserta didik. Kalau dulu para pakar pendidikan mengasumsikan peserta didik terdiri dari anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk juga di dalamnya orang dewasa. Karena dalam Islam kewajiban mencari ilmu berlangsung sepanjang hayat.[42]
Persoalan yang berhubungan dengan peserta didik terkait dengan sifat atau sikap anak didik dikemukakan oleh Abdul Fatah Jalal bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, oleh sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang berbeda dengan sifat hakikat kedewasaan. Anak memiliki sikap menggantungkan diri, membutuhkan pertolongan dan bimbingan baik jasmaniah maupun rohaniah[43]. Sifat hakikat manusia dalam pendidikan adalah bahwa anak didik harus diakui sebagai makhluk individu dualitas, sosialitas dan moralitas. Manusia sebagai mahluk yang harus dididik dan mendidik.[44]
Sehubungan dengan persoalan anak didik ini, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah? Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
3)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Pendidik
Komponen ketiga dari pemikiran pendidikan Islam berkenaan dengan pendidik atau guru. Pendidik atau guru adalah komponen penting dalam pendidikan[45]. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan yang tidak terbatas pada pendidikan di lembaga pendidikan formal saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan muncullah beberapa individu yang tergolong pada pendidik. Guru sebgai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat[46]. Sehubungan dengan hal tersebut di atas Abdul Fatah Jalal menyatakan bahwa pendidikan meliputi: 1) orang dewasa, 2) orang tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan.
4)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Orang Dewasa
Berkaitan dengan pendidik sebagai salah satu komponen pendidikan, orang dewasa adalah bagian dari pendidik sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Fatah Jalal. Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Fatah Jalal bahwa: (1) orang dewasa  adalah manusia yang memiliki pandangan hidup dan prinsip hidup yang pasti dan tetap, (2) orang dewasa  adalah manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik, (3) orang dewasa  adalah manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri, (4) orang dewasa  adalah manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif, (5) orang dewasa  adalah manusia yang telah mencapai umur kronologs paling rendah 18 tahun, (6) orang dewasa  adalah manusia yang seharusnya berbudi luhur dan berbadan sehat, (7) orang dewasa  adalah manusia yang seharusnya berani dan cakap hidup berkeluarga, dan (8) orang dewasa  adalah manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.[47]
5)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Orang Tua
Elemen pendidik sebagai salah satu komponen pemikiran pendidikan Islam adalah kedudukan orang tua. Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka. Kedudukan orang tua sebagai pendidik sudah berlangsung lama, bahkan sebelum ada orang yang memikirkan tentang pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua orang tua adalah pendidik, namun tidak semua orang tua mampu melaksanakan pendidikan dengan baik. Kemampuan untuk menjadi orang tua sama sekali tidak sejajar dengan kemampuan untuk mendidik.


6)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Guru
Guru merupakan komponen penting dalam diskursus pemikiran pendidikan Islam.[48] Guru sebagai pendidik disekolah yang secara langsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasarkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yang ingin disampaikan maupun cara penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
7)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang tua dan guru, pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga.[49] Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktivitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagamaan sebagai pendidik, tampak pada aktivitas pembinaan atau pengembangan sifat kerohanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
8)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Interaksi Edukatif Pendidik dan Anak Didik
Pemikiran pendidikan Islam juga terkait dengan konsep interaksi edukatif pendidik dan peserta didik. Karena, proses pendidikan bisa terjadi apabila terdapat interaksi antara komponen-komponen pendidikan. Terutama interaksi antara pendidik dan anak didik. Interaksi pendidik dengan anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Tindakan yang dilakukan pendidik dalam interaksi tersebut mungkin berupa tindakan berdasarkan kewibawaan, tindakan berupa alat pendidikan, dan metode pendidikan.[50]
Pendidikan berdasarkan kewibawaan dapat dicontohkan dalam peristiwa pengajaran di mana seorang guru sedang memberikan pengajaran, diantara beberapa murid membuat suatu yang menyebabkan terganggunya jalan pengajaran. Kemudian guru tersebut memberikan peringatan, maka guru telah melaksanakan tindakan berdasarkan kewibawaan. Dengan demikian tindakan berdasrkan kewibawaan yaitu bersumber dari orang dewasa sebagai pendidik, untuk mencapai tujuan pendidikan.
Alat pendidikan adalah suatu situasi atau perbuatan dengan situasi atau perbuatan tersebut akan dicapai tujuan pendidikan. Tindakan pendidik untuk menciptakan ketenangan agar tercapai tujuan pendidikan tertentu dalam proses pengajaran, atau melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, umpamanya nasihat, teguran, hukuman dan ganjaran agar anak mau berbakti pada orang tua.
Dalam interaksi pendidikan tidak terlepas metode atau bagaimana pendidikan dilaksanakan. Terdapat beberapa metode yang dilakukan dalam mendidik yaitu metode diktatorial, metode liberal, dan metode demokratis[51]. Metode diktatorial bersumber dari teori empiris yang menyatakan bahwa perkembagan manusia semata-mata ditentukan oleh faktor di luar manusia, sehingga pendidikan bersifat maha kuasa. Sikap ini menimbulkan sikap diktator dan otoriter, pendidik yang menentukan segalanya.
Metode liberal bersumber dari pendirian naturalisme yang berpendapat bahwa perkembangan manusia itu sebagian besar ditentukan oleh kekuatan dari dalam yang secara wajar atau kodrat ada pada diri manusia. Pandangan ini menimbulkan sikap bahwa pendidik jangan terlalu banyak ikut campur terhadap perkembangan anak. Biarkanlah anak berkembang sesuai denan kodratnya secara bebas atau liberal.
Metode demokratis bersumber dari teori konvergensi yang mengatakan bahwa perkembangan manusia itu tergantung pada faktor dari dalam dan dari luar. Di dalam perkembangan anak, pendidik tidak boleh bersifat menguasai anak, tetapi harus bersifat membimbig perkembangan anak. Di sini tampak bahwa pendidik dan anak didik sama-sama penting dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan.
9)      Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Isi Pendidikan
Komponen pemikiran pendidikan Islam selanjutnya adalah berkenaan dengan isi pendidikan. Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut kurikulum dalam pendidikan. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan. Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama., pendidikan akhlak, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan, dan pendidikan jasmani.[52]
10)  Pemikiran Pendidikan Islam Berkenaan dengan Lingkungan Pendidikan
Komponen pemikiran pendidikan Islam terakhir adalah berkenaan dengan lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai aktivitas manusia, yang tidak membatasi pendidikan pada lembaga pendidikan formal semata. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan masyarakat yang terdiri dari lingkungan keagamaan, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial antropologis, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan iklim geografis. Ditinjau dari hubungan lingkungan dengan manusia dapat dikelompokkan menjadi lingkungan yang tidak dapat diubah dan lingkungan yang dapat diubah atau dipengaruhi, dan lingkungan yang secara sadar dan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari sudut tinjauan lain, lingkungan pendidikan menjadi lingkungan yang bersifat pribadi atau pergaulan dan lingkungan yang bersifat kelembagaan, segala sesuatu yang ada di sekeliling anak.
Keseluruhan komponen-komponen pemikiran pendidikan Islam tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Selain itu, ada juga yang berpandangan bahwa wacana tentang pemikiran pendidikan Islam, setidak-tidaknya harus mencakup delapan hal, yaitu: pertama, hakikat pendidikan Islam. Kedua, tugas dan fungsi pendidikan Islam. Ketiga, dasar dan tujuan pendidikan Islam. Keempat, komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Kelima, kurikulum pendidikan Islam. Keenam, metode pendidikan Islam. Ketujuh, evaluasi pendidikan Islam. Kedelapan, kelembagaan pendidikan Islam.[53]
a. Hakikat Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat potensi insani untuk menumbuhkan kesadaran dalarn menemukan kebenaran[54]. Pendidikan Islam pada hakikatnya tidak bertujuan untuk meleburkan sifat dan potensi insani ke dalam sifat dan potensi malakiyah, karena ternyata praduga pada misi kekhalifahan manusia di muka bumi, yang akan menimbulkan penguasaan manusia atas manusia sehingga akhirnya menimbulkan pertumpahan darah dan perusakan di atas dunia ini, mendapatkan reaksi negatif dari Allah Swt. Misi kekhalifahan manusia di muka bumi salah satunya diaplikasikan dalam bentuk pendidikan sebagai wujud konsekuensi dari tanggung jawab intelektual Adam yang telah dididik oleh Allah Swt untuk menegakkan kebenaran. Pengakuan malaikat atas kebenaran ilmiah (kelebihan intelektualisme Adam) merupakan sikap ibadah (sujud), dan pengingkaran Iblis atas kebenaran ilmiah itu merupakan sikap arogansi dan kekufuran.[55]
Hakikat pendidikan Islam, menurut Amrullah Ahmad[56], dirumuskan dari ajaran tauhid yang menjadi unsur penting dan dominan dalam agama Islam dan agama-agama langit (dinus samaiyi) lainnya. Ia mengatakan bahwa proses pendidikan Islam diselenggarakan sebagaimana Luqman mendidik putra-putriya:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.[57]

Pertama, Luqman menyampaikan prinsip tauhid dan larangan syirik kepada putra-putrinya. Kedua, ia mengajarkan ilmu pengetahuan Islami (hikmah) dan batasan potensi manusia untuk mengetahui sesuatu. Ketiga, Islam mengajarkan sholat untuk menumbuhkan amal sholeh. Keempat, ia mendidik putra-putrinya akhlaqul karimah, baik pada diri sendiri, sesama manusia, alam dan terutama keapada Allah Swt. Kelima, ia mendidik untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Selanjutnya Amrullah Ahmad mengemukakan hakikat pendidikan Islam adalah keseluruhan aktivitas pendidikan telah terangkum dalam kisah Luqman seperti yang dikemukakan di atas, yaitu terdiri dari penyadaran potensi fitri al-dien, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap Islami, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal sholeh, berdakwah (berjuang) memenuhi tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.[58]
Dalam rumusan yang cukup simpel dan mencakup, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam itu adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.[59]
b. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum, tugas pendidikan menurut Arifin, adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai titik kesempumaan yang optimal. Bimbingan dan pengarahan di sini difokuskan untuk menumbuhkembangkan fisik dan psikis anak didik, serta mengembangkan potensi, predesposisi dan bakat yang dimilikinya.[60]
Secara operasional, pendidikan diselenggarakan untuk melakukan "bimbingan" yang lebih bersifat afektif dan menyangkut pembinaan moral peserta didik, "pengajaran" yang lebih bersifat kognitif dan menyangkut pengembangan intelektualitas peserta didik, dan "pelatihan" yang lebih bersifat psikomotorik dan menyangkut pembentukan skill dan ketrampilan peserta didik.[61] Selanjutnya, Muhaimin dan Abdul Mujib mengemukakan tugas pendidikan Islam secara spesifik, yaitu meliputi tiga hal. Pertama, membantu anak didik pada ketakwaan dan akhlaqul karimah, yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman dan multi-aspek keikhlasan. Kedua, meningkatkan kecerdasan dan kemampuan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, manfaat dan aplikasinya dalam meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan. Ketiga, mewujudkan pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia serta makhluk yang lainnya.[62]
Sedangkan fungi pendidikan Islam adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan dengan baik dan lancar. Penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi yang mengatur perjalanan proses pendidikan, baik vertikal maupun horisontal, dan melembagakan struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang konsisten, berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.[63]
Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga pendidikan Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan tranformasi kebudayaan Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan umat Islam. Proses transimisi dan trasnformasi kultural itu dapat berlangsung dengan haik, apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisir dan terlembaga dengan baik pula.[64]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam, menurut Jusuf Amir Faisal, bertitik tolak pada prinsip atau aqidah-ibadah-akhlaq untuk mencapai kemuliaan manusia dan budaya yang diridlai Allah Swt. Oleh karena itu, fungsi pendidikan Islam, menurutnya terdiri dari: Individualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dan bersikap, berpikir dan berperilaku. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam. Rekayasa kultur Islam demi terbentuknya dan berkembangnya peradaban Islam. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan demi terbentuknya para manager dan manusia profesional. Pengembangan intelektual muslim yang mampu mencari, mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi.[65] Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olah raga, kesehatan dan
sebagainya. Pengembambangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.[66]
c. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Jusuf Amir Faisal membagi dasar pendidikan Islam pada: pertama, hukum tertulis, berupa Al-Qur'an dan as-Sunnah, dan kedua, hukum tidak tertulis berupa basil pemikiran manusia.[67]
Dasar-dasar teori pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir terdiri dari: pertama, Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, kedua, hadits sebagai sumber ajaran agama Islam kedua, dan ketiga, akal disuruh untuk dipergunakan oleh Al-Qur'an dan hadits.[68]
Sedangkan menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, dasar pendidikan Islam ada dua, yaitu: pertama, dasar ide antara lain Al-Qur'an, Sunnah Nabi Saw, kata sahabat, kemasyarakatan dan hasil pemikiran pars pemikir Islam[69]; kedua, dasar operasional terdiri dari dasar historis, sosial, ekonomi, politik dan administrasi, psikologi dan fisiologis.[70]
M. Arifin memandang bahwa pembicaraan tentang tujuan pendidikan Islam, adalah sama halnya dengan pembicaraan tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal itu berarti bahwa tujuan pendidikan Islam itu tidak lain adalah idealitas Islami, yang mengandung nilai-nilai sikap dan perilaku manusia yang dilandasi dan dijiwai oleh iman dan tagwa kepada Allah Swt. Idealitas Islami yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan tujuan Allah Swt menciptakan manusia dan menurunkannya ke muka bumi[71]. Pertama, manusia diciptakan oleh Allah Swt supaya menjadi abdullah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[72]
Kedua, Allah menurunkan manusia ke muka bumi untuk menjadi khalifah fil ardh.
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[73]

Jadi secara sederhana, tujuan pendidikan Islam itu adalah untuk meningkatkan kualitas ke-abdullah-an dan ke-khalifah-an manusia di muka bumi. Namun demikian, dalam Konferensi Pendidikan se-Dunia yang pertama di Mekkah pada tahun 1977, tujuan pendidikan Islam berhasil dirumuskan secara sistematik dan komprehensif, yaitu: Pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh dan seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera[74]. Karena itu pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak dalam perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat manusia.[75]
d. Komponen Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikut adalah komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Sebagaimana pendidikan pada umumnya, komponen dasar pelaksanaan pendidikan Islam terdiri dari pendidik dan anak didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik adalah murabbi, mu'alim, dan muaddib sekaligus. Artinya seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat rabbani, bijaksana, terpelajar, tanggung jawab, kasih sayang terhadap peserta didik, dan harus menguasai ilmu teoritik, kreatif, memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu dan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta mampu mengintegrasikan ilmu dan aural sekaligus.[76]
Selaku murabbi, pendidik atau guru dalam pendidikan Islam harus memenuhi syarat-syarat: pertama, guru harus bertakwa kepada Allah Swt. Kedua, guru harus berilmu. Ketiga, guru harus sehat jasmani. Keempat, harus berkelakuan baik, yaitu cinta pada jabatannya sebagai guru, berlaku adil kepada semua murid, sabar dan tenang, berwibawa, bersikap manusiawi, dan dapat bekerja sama dengan guru-guru lainnya dan masyarakat.[77]
Syarat-syarat itu berkaitan erat dengan unsur keilmuan dan kemampuan intelektual yang harus inheren dalam diri pribadi guru, di samping nilai-nilai ketakwaan dan integritas kepribadian yang bersenyawa dan menyatu dalam dirinya.
Sebagai seorang mulallim, guru dalam pendidikan Islam memiliki tugas: pertama, membuat persiapan mengajar, kedua, mengajar, dan ketiga, mengevaluasi hasil pengajaran[78] Tugas-tugas tersebut berhubungan dengan tuntutan profesionalisme guru dalam menyelenggarakan interaksi belajar-mengajar dengan murid di kelas agar proses belajar mengajar berlangsung dengan baik, lancar dan produktif. Untuk itu, seorang guru harus mempersiapkan sebaik mungkin segala sesuatu yang dibutuhkan demi sukses dan lancarnya proses belajar-mengajar, baik mental, fisik, psikis, materi pelajaran, metode maupun media pengajaran yang akan dipergunakan. Guru sebagai mu'allim lebih berkonotasi profesionalisme keguruan dan bersifat pengajaran.
Guru sebagai muaddib harus didukung oleh sifat: pertama, kasih sayang kepada anak didik; kedua, lemah lembut; ketiga, rendah hati; keempat, menghormati ilmu yang menjadi pegangannya; kelima, adil; keenam, menyenangi ijtihad; ketujuh, konsekuensi, perkataan sesuai dengan perbuatannya; kedelapan, sederhana. Sifat-sifat tersebut berhubungan dengan guru sebagai "public figur" yang selalu menjadi sorotan dan perhatian murid-murid.[79] Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi "uswatun hasanah" dalam setiap sikap dan perilakunya bagi mereka, di samping sebagai pembimbing moral dan spiritual yang konsisten.
Dalam perspektif pendidikan Islam, anak didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikis, untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Anak didik pada hakikatnya adalah: pertama, anak didik bukan miniatur orang dewasa, melainkan ia mempunyai dunia tersendiri; kedua, anak mengikuti periode perkembangan tertentu dan memiliki pola perkembangan, tempo dan irama tersendiri; ketiga, anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut pemenuhan secara maksimal, keempat, anak didik memiliki perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, kelima, anak didik merupakan obyek pendidikan aktif, kreatif, dan produktif.[80]

e. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam sebagai salah satu unsur dalam pemikiran pendidikan Islam memiliki tempat yang teramat penting. Fadil al-Jamaly, seperti yang dikutip oleh M. Arifin, mengemukakan bahwa ilmu-ilmu yang dikehendaki diajarkan oleh Al-Qur'an kepada anak didik meliputi: ilmu agama, sejarah ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hukum dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah dan adab, ilmu pertahanan negara dan lain-lain.[81]
Secara atomik, kurikulum pendidikan Islam oleh Syed Muhammad al-Naquib al-Attas dibagi pada dua macam ilmu, yaitu: pertama, ilmu-ilmu agama, terdiri dari Al-Qur'an, as-Sunnah, asy-Syari'ah, teologi (tauhid), metafisika Islam (tasawuf) dan ilmu-ilmu linguistik; kedua, ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, terdiri dari ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, ilmu terapan, dan ilmu-ilmu teknologi.[82]
Dalam perspektif historis, Sayyed Hossein Nasr mengetengahkan teks-teks tradisional yang dipergunakan di madrasah-madrasah Persia, yang tetap diajarkan sampai sekarang, meliputi sains-sains yang ditransmisi (at-naqliyah) dan sains intelektual (al-aqliyah), walaupun semenjak abad ke-8 H/14 M dan abad-abad selanjutnya sekolah-sekolah tradisionai Islam membatasi kurikulumnya pada sain-sains yang ditransmisi (al-naqliyah).[83] Teks-teks tersebut meliputi: perform, sains-sains yang ditransmisi (al-naqliyah) terdiri dari morfologi (sharf), sintaksis (nahw), kesusastraan (ma'ani wa bayan) dan seni metafora (badi), prinsip-prinsip yurisprudensi (fiqh), sains hadits dan sejarahnya (dirayah), dan sains-sains irttelektual (Al-Qur'an, tafsir); Kedua, sains-sains intelektual (al-aqliyah) terdiri dari logika (mantiq), filsafat dan teologi (falsafah dan kalam), sufisme dan gnosis (tashawwuf dan irfan), ilmu kedokteran (thibb), dan sains-sains matematika (riyadiyah) mencakup geometri, aritmatika (hisab), dan astronomi (baiat).[84]
Kurikulum pada masa kejayaan pendidikan Islam, menurut Mahmud Yunus, diklasifikasikan pada: pertama, rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar), yaitu meliputi:
1)      Membaca Al-Qur'an dan menghafalnya
2)      Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu', sholat, puasa dan sebagainya.
3)      Menulis
4)      Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam
5)      Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar (prosa)
6)      Berhitung
7)      Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadamya.[85]

Kedua, rencana pengajaran tingkat menengah, yaitu meliputi:
1)      Al-Qur'an
2)      Bahasa Arab dan kesusatraannya
3)      Fiqh
4)      Tafsir
5)      Hadits
6)      Nahwu/sharaf/balagah
7)      Ilmu-ilmu pasti
8)      Mantiq
9)      Ilmu Falaq
10)  Tarikh (sejarah)
11)  Ilmu-ilmu alam
12)  Kedokteran
13)  Musik[86]
Ketiga, rencana pengajaran pada pendidikan tinggi, yaitu terdiri dari dua jurusan:
1)      Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa dan sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu naqliyah yang meliputi: Tafsir Al-Qur'an, Hadits, Fiqh dan ushul fiqh, Nahwu/sharaf, Bahasa Arab dan kesusastraannya.
2)      Jurusan umum, yang disebut sebagai ilmu aqliyah yang meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu alam dan kimia, Musik, Ilmu pasti, Ilmu ukur, Ilmu falak, ilmu-ilmu ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu kedokteran.[87]

 Dalam Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua di Islamabad, Pakistan pada tahun 1980, berhasil dirumuskan pola kurikulum pendidikan Islam, yaitu: kelompok I, pengetahuan abadi, terdiri dari: pertama, Al-Qur'an, mencakup bacaan (qira’ah), hafalan (hifdh) dan tafsir (tafsir), kedua, Sunnah, ketiga, sirah Nabi mencakup sahabat-sahabat Nabi, dan para pengikut mereka pada awal sejarah Islam, keempat, tauhid, kelima, ushul fiqh, dan keenam, bahasa Arab Al-Qur'an mencakup fonologi, sintaksis dan simantik.
Dan kelompok II pengetahuan yang diperoleh, terdiri dari: pertama, imajinatif mencakup seni, arsitektur Islam, bahasa dan sastra, kedua, ilmu-ilmu intelektual mencakup studi sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguisfik, psikologi, dan antroipologi, ketiga, ilmu-ilmu alam mencakup filsafat ilmu pengetahuan, matematika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi, dan lain-lain sebagainya, keempat, ilmu-ilmu terapan mencakup rekayasa dari teknologi (sipil, misan), obat-obatan (tibb, aleopati, homeopati dan fauna) dan lain sebagainya, kelima, ilmu-ilmu praktis mencakup perdagangan, ilmu-ilmu administrasi (perusahaan, administrasi umum), ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu komunikasi dan lain sebagainya.[88]
f. Metode Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam berikutnya adalah berkenaan dengan metode pendidikan Islam. M. Arifin mengemukakan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an apabila dikaji secara filosofis, mengandung nilai-nilai metodologis dalam pendidikan, yaitu: pertama, mendorong manusia berpikir analitik dan sintetik melalui proses berpilkir induktif dan dedukfif, kedua, metode perintah dan larangan serta praktek, ketiga, metode motivatif, baik motivasi teogenetik, sosiogenetik maupun motivasi biogenetik, keempat, metode situsional, dan kelima, metode instruksional.[89]
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, metode pendidikan Islam meliputi: pertama, metode diakronis, kedua, metode singkronik-analitik, ketiga, metode problem-solving (hulul musykilat), keempat, metode empiris (tajribiyah), kelima, metode induktif (al-istiqraiyah), dan keenam, metode dedukfif (al-istinbathiyah).[90]
Secara spesifik, An-Nahlawi, seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, mengemukakan metode pembinaan rasa beragama sebagai berikut:
1)      Metode hiwar (percakapan) qur’rani dan nabawi
2)      Metode kisah qur’ani dan nabawi
3)      Metode amtsal (perumpamaan) qur’ani dan nabawi
4)      Metode keteladanan
5)      Metode pembiasaan
6)      Metode ibroh dan mau’izah
7)      Metode targhib dan tarhib[91]

g. Evaluasi Pendidikan Islam
Sebenarnya, evaluasi pendidikan Islam bukan sekedar suatu aktivitas untuk mengakhiri proses pendidikan dan pengajaran. Evaluasi ini dilakukan untuk mengkontrol dan melakukan "feed-back" terhadap setiap langkah dari proses manajemen pendidikan.
Dalam merancang evaluasi pendidikan Islam, menurut H.M. Chabib Thoha, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan evaluasi, artinya, dalam merancang evaluasi harus memperhatikan tujuan evaluasi itu sendiri, yaitu bertujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa, kelebihan dan kekurangan guru dalam mengajar, pencapaian target kurikulum, serta untuk mengetahui kontribusi program pendidikan pada masyarakat. Kedua, alat ukur yang dipergunakan, maksudnya evaluasi itu dirancang dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan alat ukur yang dipergunakan, baik tes tulis, tes lisan maupun tes tindakan. Ketiga, acuan yang dijadikan standar, artinya dalam merancang evaluasi harus memperhatikan acuan yang dijadikan standar, yaitu acuan nilai rata-rata jelas, patokan kurikulum dan nilai etis dan normatif yang berlaku. Keempat, pelaksanaan pengukuran, apakah berlangsung secara alami atau justru sebaliknya.
Dalam melakukan pendidikan agama, menurut Abu Ahmadi, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, terus-menerus (continue), artinya evaluasi itu dilakukan tidak hanya sewaktu-waktu melainkan terus menerus, kedua, keseluruhan, artinya evaluasi dilakukan secara integral dan tidak parsial, dan ketiga, ikhlas, artinya, evaluasi dilakukan dengan tujuan dan niat yang baik suci. Dalam membuat tes, ada beberapa syarat tes yang baik, meliputi: pertama, valid, tes yang dibuat harus memiliki ukuran dan standar yang benar dan sah, kedua, relieble, tes yang dibuat harus dapat dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan, dan ketiga, objektif, artinya soal-soal tes yang dibuat harus jelas, tidak kabur dan membingungkan, serta memiliki jawaban yang pasti.
Evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam memiliki dua sifat, yaitu: pertama, kuantitatif, hasil evaluasi berbentuk angka dalam memberikan skor penilaian, kedua, kualitatif, hasil evaluasi berbentuk pernyataan verbal dalam memberikan penilaian.
Sedangkan jenis evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan Islam ada tiga, yaitu: pertama, tes tertulis (writing test), kedua, tes lisan (oral test), dan ketiga, tes perbuatan (performance test). Evaluasi pendidikan Islam terdiri dari: pertama, evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan program satuan pelajaran dalam bidang studi tertentu, kedua, evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang diselenggarakan setelah siswa menyelesaikan semua bidang studi dalam satu catur wulan, satu semester atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya, ketiga, evaluasi penempatan (placement), yaitu evaluasi yang dilakukan untuk kepentingan penempatan pada jurusan atau fakultas tertentu, sebelum siswa mengikuti proses belajar-mengajar, keempat, evaluasi diagnosis, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kesulitan kesulitan atau hambatan belajar yang dialami oleh siswa, guna dicari solusi-altematifnya.
h. Kelembagaan Pendidikan Islam
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, lembaga pendidikan Islam menurut Zakiah Daradjat, terdiri dari: pertama, keluarga, kedua, sekolah, dan ketiga, masyarakat. "Keluarga" adalah lembaga pendidikan Islam yang pertama, sedangkan orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi anak mereka. Aspek-aspek pendidikan Islam dalam keluarga yang urgens untuk direalisasikan oleh orang tua dalam mendidik anak-anak mereka, adalah meliputi: pertama, pendidikan ibadah, kedua, pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al-Qur'an, ketiga, pendidikan akhlakul karimah, dan keempat, pendidikan akidah Islamiyah.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, kurikulum pendidikan di dalam keivarga adalah meliputi: pertama, pendidikan kesehatan dan ketrampilan, kedua, pendidikan akal, ketiga, pendidikan rohani atau pendidikan agama.
"Sekolah" atau lembaga-lembaga perguruan agama Islam adalah lembaga pendidikan yang paling strategis ketimbang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lainnya, karena lembaga ini diselenggarakan secara sistemik-organisatoris dan dikelola secara profesional. Di lembaga ini, guru oleh Zakiah Daradjat dikatakan sebagai guru profesional yang memikul tanggung jawab pendidikan pada anak didik, setelah orang tua mereka menyerahkan tanggung jawab pendidikannya padanya. Lembaga-lembaga perguruan Islam mencakup madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, madrasah diniyah, sekolah guru agama pondok pesantren, dan perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta.
"Masyarakat" memiliki pengaruh yang besar dalam mengarahkan pendidikan anak, terutama pemimpin masyarakat, seperti yang diakui oleh Zakiah Daradjat. Dalam kerangka tanggung jawab social, setiap anggota masyarakat mempunyai tanggung jawab pendidikan, tak terkecuali pendidikan Islam. Salah satu rekomendasi.
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia di Mekkah pada tahun 1977, adalah untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, sehat dan bersih dari kotoran-kotoran ideologi dan nilai-nilai yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam berupa masyarakat ini antara lain instansi-instansi pemerintah, kursus-kursus, rumah-rumah ibadah, badan-badan masyarakat dan media massa.

2. Konsep Sumber dan Dasar Pendidikan      
Secara konseptual, sumber pendidikan pendidikan menempati tempat yang teramat strategis dalam diskursus pendidikan. Sumber pendidikan menurut Allan Mahoney merupakan hal yang terkait dengan bagaimana proses pendidikan berasal.[92]. Pada umumnya para ahli pendidikan mengatakan bahwa sumber pendidikan adalah rumah (keluarga), sekolah, dan lingkungan. Sementara itu, dalam konteks pendidikan Islam sumber pendidikan adalah Al-Qur’an, Hadis, dan ijtihad.[93]
Adapun dasar pendidikan berkaitan dengan bagaimana meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar sehingga meski sudah selesai sekolah akan tetap belajar.[94] Sementara dalam Islam dasar pendidikan adalah tauhid.[95]
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang dipandang relevan dengan penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Saifuddin (2010) yang berjudul: ”Konsep Pendidikan Keluarga Menurut An-Nahlawi”. Dalam penelitian ini, peneliti mengeksplorasi pemikiran An-Nahlawi tentang peran keluarga sebagai fondasi pelaksanaan pendidikan. Penelitian ini memiliki bobot kualitas yang unik karena peneliti melakukan komparasi antara pandangan An-Nahlawi dengan pandangan John Dewey. Akan tetapi, penelitian ini kurang memberikan porsi yang memadai terhadap pemikiran An-Nahlawi sendiri.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Dina Nuriani Iskandar (2011), dengan judul: Analisis Perbandingan terhadap Tujuan Pendidikan Menurut An-Nahlawi dan Hasan Langgulung. Penelitian berusaha menggali dua pemikiran tokoh pendidikan Islam, yaitu An-Nahlawi dan Hasan Langgulung. Keduanya dipandang ahli karena keduanya banyak melakukan pembahasan di seputar pendidikan Islam. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kedua tokoh memiliki pandangan yang hampir sama, yaitu bahwa pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Bedanya adalah karena keduanya hidup dalam konteks sosial budaya yang berbeda, sehingga memberikan aksentuasi yang berbeda pula dalam melihat strategi pencapaian tujuan.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Siti Jubaedah (2009), yang berujudul: ”Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer (Studi terhadap Pemikiran Pendidikan Al-Attas dan An-Nahlawi)”. Penelitian ini berusaha membandingkan dua tokoh pemikiran, yaitu Al-Attas dan An-Nahlawi. Berbeda dengan An-Nahlawi, al-Attas  memiliki pemikiran yang lebih radikal dan berujuan untuk melakukan islamisasi segala teori dan konsep yang sekuler. Sementara itu, An-Nahlawi lebih berpikiran evolusioner dan bertahap dalam mengembangkan gagasan ilmu Islam.


C. Kerangka Berpikir
Kajian tentang sumber dan dasar pendidikan Islam pada hakikatnya adalah kajian tentang filsafat atau pemikiran pendidikan. Filsafat pendidikan atau pemikiran pendidikan menempati posisi sentral sebagai dasar, asas, dan landasan bidang pendidikan. Sebagai asas, dasar, dan landasan pendidikan, maka pemikiran pendidikan memiliki kedudukan yang menentukan arah perjalanan suatu teori pendidikan. Pemikiran pendidikan Kristiani sudah pasti akan berimplikasi pada praktik dan operasionalisasi pendidikan berbasis Kristiani. Pemikiran pendidikan Barat akan menghasilkan berbagai teori pendidikan bercorak Barat. Demikian pula dengan pemikiran pendidikan sekuler juga akan menghasilkan teori dan praktik pendidikan sekuler.
Oleh karena itu, pendidikan Islam, baik sebagai perangkat teori maupun sebagai pedoman operasional, hanya akan benar-benar Islami apabila pendidikan Islam itu didasarkan pada pemikiran pendidikan Islami. Apabila pendidikan Islam didasarkan pada pemikiran pendidikan Barat, maka pendidikan Islam hanya akan berisi simbol Islam tetapi substansinya adalah pendidikan Barat. Ibarat sebuah sungai, maka pemikiran pendidikan berada di ujung hulu sungai yang airnya akan mengalir hingga ke hilir praktik pendidikan.
Filsafat pendidikan atau pemikiran pendidikan Islam adalah pemikiran pendidikan yang didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pemikiran pendidikan Islami juga dapat diasosiasikan dengan pemikiran para ulama Islam yang kesalehan dan ketaatan beragamanya tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, pemikiran pendidikan Abdurrahman An-Nahlawi tentang sumber dan dasar pendidikan amat penting dikaji bukan hanya karena ia adalah seorang muslim melainkan juga pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Skema kerangka berpikir tersebut menjelaskan bahwa pemikiran pendidikan Islam memiliki acuan utama, yaitu sumber-sumber ajaran Islam, terutama Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua kitab suci itulah yang menjadi landasan  pemikiran pendidikan Islam, sehingga pemikiran pendidikan Islam senantiasa disemangati oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Selain mengacu kepada kedua landasan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi itu, pemikiran pendidikan Islam juga sangat bergantung kepada latar belakang keagamaan dan pendidikan sang tokoh. Pemikiran pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pribadi sang tokoh. Latar belakang keagamaan dan pendidikan sang tokoh ini memberi warna dan andil terhadap corak pemikiran pendidikan Islam. Faktor berikutnya yang diyakini memberi corak dan warna pemikiran pendidikan Islam adalah kondisi lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, geografi semasa tokoh hidup. Situasi dan kondisi lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, geografi inilah yang menjadi salah satu faktor membentuk pemikiran pendidikan Islam. Tidak kalah pentingnya adalah faktor perkembangan pendidikan pada masa tokoh hidup. Faktor-faktor inilah yang secara berjalin-berkelindan membentuk dan mempengaruhi warna dan corak pemikiran pendidikan Islam setiap tokoh termasuk Abdurrahman An-Nahlawi.



[1] A. S. Seetharamu (1978). Philosophies of Education. New Delhi: S.B. Nangia, hal. 11
[2] Hamm, Correl M. (1989). Philosophical Issue in Education: An Introduction. London: RoutledgeFalmer, hal. 7
[3] Prayitno (2003). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo, hal. 259
[4] Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, PT Rosda Karya, Bandung, 1993, hal. 189
[5] Sumadi Suryabrata (1995). Psikologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 317.
[6] H.M. Arifin (1996). Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, hal.10
[7] Hamm, Correl M. (1989). Philosophical Issue in Education: An Introduction. London: RoutledgeFalmer, hal. 34
[8] Allan G. Johnson. (1985). Human Arangements: An Introduction to Sociology, Harcourt Brace Jovanovich, Inc, Orlando-Florida, hal. 500.
[9] John R. Kelly (1982). Leisure, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc, hal. 208
[10] Soedijarto (1993), Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional, PT Grasindo, Jakarta, hal. 12
[11] Brighouse, Harry (2006). On Education. London: Routledge, hal. 3
[12] John N. Gardner & Jewler A. Jerome (Ed.). (1985) College is Only the Beginning: A Student Guide to Higher Education, Wardsworth Publishing Company, Belmont California, hal. 318
[13] Heyting, Frieda, Dieter Lenzen, John White (2002). Methods in Phiolosophy of Education. London: Routledge, hal. 31
[14] Winch, Christopher and John Gingell (2008) Philosophy of Education: The Key Concepts. London: Routledge, hal. 64
[15] Raley, Yvone & Gerhard Preyer (2010). Philosophy of Education in the Era of Globalization. London: Routledge, hal. 156
[16] Ibid, hal. 317
[17] Raley, Yvone & Gerhard Preyer (2010). Philosophy of Education in the Era of Globalization. London: Routledge, hal. 123
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal. 318
[20] Sahu, Bhagirathi (2002). The New Educational Philosophy. New Delhi: Sarup & Sons, hal. 6
[21] Ibid.
[22] Robert E. Kennedy Jr.,(1986) Life Choice: Applying Sociology CBS College Publishing, Madison Avenue, New York, hal. 35
[23] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal. 314
[24] John Meyer,
[25] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, (1979), Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 17
[26] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, hal. 6-9
[27] Jalaluddin dan Abdullah Idi, (2007), Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, hal. 32
[28] Imam Barnadib (2002). Filsafat Pendidikan. Jakarta: AdiCita, hal. 17
[29] HM Arifin, op.cit., hal. 18
[30] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, hal. 12
[31] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib (1989). The Concept of Education in Islam. Kualalumpur: ISTAC, hal. 4
[32] Makdisi, George (2000). Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Reneisans Barat. Terjemahan oleh A. Syamsu Rizal. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hal. 92
[33] Abdul Fatah Jalal (1987) Azas-Azas Pendidikan Islam. Bandung: CV. Diponegoro,  hal. 27.
[34] Q.S. Al-An’am 6: 165
[35] Qomar, Mujamil (2009). Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 19
[36] Kartanegara, Mulyadi (2007). Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga, hal. 82
[37] Abdul Fatah Jalal, op.cit., hal. 34
[38] Ibid., hal. 35
[39] Surakhmad, Winarno & St Sularto (2009) Pendidikan Nasional, Strategi, dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 75
[40] H. A. Tilaar, (2004) Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya, hal. 56
[41] Abuddin Nata (1997) Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I/ Jakarta:  Logos Wacana Ilmu, hal. 29
[42] Winarno Surakhmad & St Sularto (2009) Pendidikan Nasional, Strategi, dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 78
[43] Qomar, Mujamil (2009). Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 32
[44] Abdul Fatah Jalal, op.cit., hal. 39
[45] Soedijarto (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas Gramedia, hal. 54
[46] Ibid., hal. 40
[47] Ibid., hal. 60-61
[48] Ramayulis (2004). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, hal. 56
[49] Ibid., hal. 56
[50] Mulyadhi Kartanegara (2007) Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Manusia, dan Alam. Jakarta: Erlangga, hal. 83
[51] Nur Uhbiyati (1998) Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, hal. 69
[52] Zuhairini (1995) Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II. Jakarta:  Bumi Aksara, hal. 78
[53] Moh. Roqib (2009) Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS, hal. 18
[54] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: CitaPustaka Media Perintis, hal. 23
[55] Mujamil Qomar (2008) Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, hal. 207
[56] Amrullah Ahmad (2007) Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Dian, hal. 23
[57] QS.Luqman 31:14
[58] Amrullah Ahmad, op.cit., hal. 29
[59] Muhaimin dan Abdul Mujib (1993) Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional. Bandung: Trigenda Karya, hal. 136
[60] M. Arifin (1991) Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 33
[61] Al Rasyidin (2008). Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: CitaPustaka Media Perintis, hal. 213
[62] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 67
[63] Ibid., hal. 143
[64] Prayitno (2007) Dasar, Teori, dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo, hal. 13
[65] Fajar, A. Malik (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Rajawali, hal. 63-67
[66] Jusuf Amir Faisal (1995) Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press, hal. 95-96
[67] Ibid., hal. 118
[68] Ahmad Tafsir (1994) Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, hal. 22
[69] Quthb, Muhammad (1993). Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, hal. 330
[70] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 151
[71] Mutahhari, Murtadha (1992). Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, hal. 119-123
[72] Q.S. Adz-Dzariyat 51:56
[73] Q.S. Al-An’am 6: 165
[74] Daud, Wan Moh Wan (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: Mizan, hal. 165-169
[75] Ali Ashraf (1986) Horizon Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, hal. 107
[76] Ibid., hal. 109
[77] Zakiyah Darajat (1992) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 44
[78] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 86
[79] Ibid, hal. 87
[80] Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit., hal. 177
[81] M. Arifin, op.cit., hal. 94
[82] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1994) Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, hal. 90
[83] Sayyed Hossein Nasr (1994) Islam: Tradisi di Tengah Kancah Modern. Bandung: Mizan, hal. 181
[84] Ibid., hal. 181
[85] Zuhairini (1992) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 102
[86] Ibid., hal. 103
[87] Ibid., hal. 104
[88] Ali Ashraf, op.cit., hal. 116
[89] M. Arifin, op.cit., hal. 113
[90] Muhaimin-Abdul Mjib, op.cit., hal. 247
[91] Ahmad Tafsir, op.cit., hal. 135
[92] Allan Mahoney (2008) The Educational Philosophy. London: Routledge, hal. 23
[93] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, (1979), Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 17
[94] Sudyarmo (2003) Landasan Pendidikan. Jakarta: Grasindo, hal. 31
[95] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, op.cit., hal. 19